Saturday, December 29, 2007

Obituari KH. Ilyas Ruhiyat

Seorang Ajengan dari Cipasung Kiai Ilyas Ruhiyat telah pergi. Sosok berhati lembut, tak silau dengan kedudukan, dan konsisten dalam bersikap.
Ia seorang ajengan—sebuah istilah Sunda untuk seorang kiai besar, penuh karisma. Ketika jenazahnya dikebumikan di kompleks pemakaman Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, ribuan orang melayat.

Kiai Haji Ilyas Ruhiyat, 74 tahun, berpembawaan kalem, nada bicaranya datar seolah-olah tak ada yang dramatis dari hidup ini, dan—ini yang susah dilupakan—selalu ada senyum di bibirnya. Ia seperti sosok yang telah berdamai dengan hatinya, juga dengan orang lain.

KH Ilyas Ruhiyat putra seorang kiai besar di Cipasung, KH Ruhiyat. Ilyas hidup di dua dunia: pesantren dan organisasi Nahdlatul Ulama. Di kalangan pesantren, penampilannya cukup mengejutkan. Ia menguasai isi kitab Al-Fiyah Ibnu Malik (ilmu sharaf yang dirakit dalam seribu bait syair) pada usia 15 tahun.

KH Ilyas Ruhiyat mempunyai hidup yang sibuk. Sejak terpilih sebagai Ketua Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya pada 1954, ia aktif dalam organisasi. Bahkan, pada 1994, ia menjabat Rais Am PB NU untuk mendampingi KH Abdurrahman Wahid hasil muktamar di Cipasung. KH Ilyas Ruhiyat dikenal berwibawa besar, tapi juga selalu memandang orang lain sebagai satu entitas yang memiliki kebebasan menentukan jalan sendiri.

Mungkin karena itulah ia ”melanggar” kebiasaan menjodohkan anak perempuannya dengan anak lelaki kiai besar lain—bagian dari tradisi para kiai NU. Dua anak perempuannya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah, kuliah di IKIP Bandung dan bersuami dari keluarga nonpesantren— kendati pada akhirnya anak-anak beserta para menantunya bahu-membahu meneruskan pengelolaan Pesantren Cipasung.

Sementara itu, Acep Zamzam Noor, anak lelakinya, lulusan Seni Rupa ITB dan memilih dunianya di luar pesantren: menjadi seniman-penyair.

KH Ilyas Ruhiyat sangat menguasai kitab kuning, tapi seumur-umur mengembangkan ruang toleransi yang luas terhadap ”yang lain”. Di Cipasung, pesantrennya hanya dipisahkan oleh jarak 500 meter dengan kompleks permukiman Ahmadiyah. Dan sejauh ini, tak ada yang membuat hubungan dua tetangga itu bermasalah. Bahkan, ketika berlangsung muktamar NU di Cipasung, permukiman mereka dijadikan tempat menginap sebagian peserta.

KH Ilyas Ruhiyat punya pendapat sendiri, tapi tidak berdakwah—apalagi memaksa—meluruskan akidah para penganut Ahmadiyah.

Ahmadiyah di Cipasung memang kemudian diserang. Tepat pada saat keluarga KH Ilyas Ruhiyat berduka melepas kepergian istri sang Kiai, Hajah Dedeh Fuadah, ke pangkuan Sang Khalik enam bulan lalu, Ahmadiyah dihantam. Ketika itu, sang Kiai juga sedang terbaring sakit. Tapi bukti-bukti menunjukkan bahwa para penyerang bukan warga Tasikmalaya dan sekitarnya.

KH Ilyas Ruhiyat berhati lembut, tapi itu tak membuatnya ragu-ragu manakala ia harus berbenturan dengan kekuatan penguasa yang luar biasa. Sejarah mencatat bagaimana Ilyas Ruhiyat tidak mau terkooptasi kekuasaan saat menjadi Rais Am PB NU mendampingi Abdurrahman Wahid.

Di tangan KH Ilyas dan Gus Dur, NU bisa tetap bersikap independen meski harus menghadapi aneka rongrongan rezim Orde Baru. Pada pengujung masa jabatannya, ia menunjukkan kepribadiannya yang tidak haus kekuasaan. Kemungkinan untuk menduduki posisi rais am tetap terbuka baginya, tapi ia memilih berhenti. Ia menyerahkan posisi itu kepada KH Sahal Mahfudz dan kembali ke pesantren, dunia tempat ia mengawali semua ini.

Nong Darol Mahmada (Bekas santriwati Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, kini bekerja di Freedom Institute)

Thursday, July 12, 2007

No Point To Return

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika serangga-serangga itu terperangkap nasibnya sendiri
Ketika hasrat hanya bisa disalurkan dengan masturbasi

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika tanah Cirebon mulai menghitam
Ketika lawang gada penuh duit recehan

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika bahkan tuhan menakdirkan demikian

Pahit getir tak mengapa
Susah payah sudah biasa

Jangan paksa aku pulang
hanya untuk menyatakan
sebungkus nasi lebih berharga
dari pada sederet buku di pustaka

Cipt. Ali Mursyid. di ruang rapat Fahmina yang pengap

Tuesday, July 10, 2007

Poligami Lengkapi Derita TKW

Ali Mursyid

“Waktu kita ning Arab, anak-anak karo lakine kita ning umah. Yah adate ga wong lanang laka kitane, yah wajar bae baka sekali-kali luru wadon. Malah srog-srog bae tek kongkon. Asal pas kitane balik, karo kita”, kata Rf, mantan TKW asal Marga Mulya, Bongas, Indramayu. Tentu saja dalam kondisi normal, tidak ada istri yang rela bila suaminya pergi ke tempat ‘jajan’. Karena kondisi ekonomi yang mendesak, Rf rela menahan sakit dan derita meninggalkan anak dan suami, meski dengan kekhawatiran suaminya pergi ke PSK (Pekerja Seks Komersil). Ini semua ia lakukan demi perbaikan ekonomi keluarganya, karena itu ia tetap berharap, bahwa sepulangnya ke tanah air segalanya menjadi lebih baik.

Tetapi siapa dapat memastikan segalanya berjalan baik-baik saja. Siapa dapat memastikan hati yang sepih, kasih yang terbagi, dapat kembali seperti semula. Tidak ada jaminan sama sekali. Mungkin Rf masih beruntung karena suaminya masih kembali ke pangkuan sewaktu ia pulang. Tetapi tidak sedikit TKW yang kecewa berat, ketika pulang ke kampung halaman, suaminya sudah pindah ke pelukan orang. Bagaimana tidak lara ati, kucuran keringatnya, kesepiannya, derita yang ditahannya selama dua tahun demi membantu laki dan anak-anak terkasih, dibalas dengan semena-mena oleh laki pujaane ati.

“Maling-malingane lanang, seenake dewek bae. Kita kirim duit tiap bulan, bli ditabung malah dianggo kawin maning. Kita balik, deweke njaluk maaf terpaksa kudu wayuan. Karena lara ati kita mangkat dadi TKW maning. Rabi kelorone ga mangkat dadi TKW. Eh tetep bae, wong lanang luru rabi anyar maning” Keluh Saeni, bukan nama aslinya, TKW asal Cirebon yang dipoligami suaminya.

Rf dan Sn adalah sekedar contoh perempuan-perempuan pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Yang jasanya dibalas air tuba, karena suaminya selingkuh atau kawin lagi. Kenapa semua ini terjadi? Mengapa ini terus berlangsung? Siapa yang salah? Apakah sudah demikian adanya?

Pemerintah Abai, Perempuan Tergadai

Rakyat, khususnya masyarakat lapisan bawah, sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha-khususnya dalam sekala kecil dan menengah- juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Tentu untuk tidak menyatakannya tidak berdaya sama sekali. Dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Ini disampaikan oleh Menteri Nakertrans Erman Suparno beberapa waktu lalu,” Angka pengangguran 10,9 juta tahun ini tidak dapat diturunkan. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran sebesar 5,1 persen hingga tahun 2009 tak akan terpenuhi, karena lapangan kerjanya terbatas, bahkan tidak ada. Belum lagi tambahan tenaga kerja terdidik hingga 1,5-2 juta.” Angka pengangguran yang tinggi tersebut mencapai 14 % dari angka penggangguran dunia yang mencapai 74 juta jiwa.

Itu semua menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah gagal menjalankan fungsinya dalam menyediakan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Sehingga rakyat negeri ini berbondong-bondong menyerbu sumber-sumber ekonomi di luar negeri. Rakyat tahu betul kondisi perekonomian negeri ini. Mereka terpaksa kerja ke luar negeri agar tidak terlalu membebani negara. Sejatinya, mereka adalah pahlawan negara.

Dengan banyaknya rakyat yang menjadi TKI, pemerintah mendapatkan untung. Tetapi TKI sendiri banyak yang buntung. Menjadi TKI rentan terancam bahaya, mulai rentan ditipu saat perekrutan, diperlakukan tidak manusiawi di penampungan, ketidakjelasan pada saat penempatan di tempat kerja, sampai pun sudah pulang di tanah air. Sepulangnya TKI di tanah air, selain mereka masih rentan menjadi korban pungli, juga terkadang mereka juga rentan jadi korban perilaku tidak manusiawi dari keluarga, kerabat dan bahkan orang-orang tercintanya. Inilah yang dialami Saeni, TKW yang dipoligami suaminya.

Sebagai penerima hasil devisa yang dikirim TKI, pemerintah mestinya membikin sistem save migration (jadi TKI aman), yang bukan hanya melindungi TKI sewaktu di luar negeri tetapi juga mulai memperhatikan nasib TKI dan keluarganya sepulangnya di tanah air.

Islam Tidak Menganjurkan Poligami

Islam, sekilas memberi peluang lebar bagi umatnya yang laki-laki dalam melakukan poligami, bahkan sebagian menyatakan bahwa ‘poligami itu sunnah’, toh itu juga yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Inilah mungkin menjadi salah satu sebab kenapa perempuan, lebih-lebih TKW rentan dipoligami. Tetapi benarkah poligami sunnah?

Dalil bahwa poligami sunnah biasanya bersandar pada QS An-Nisa, 4:2-3. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami ini sejatinya tidak sedang menganjurkan poligami, apalagi menghargainya. Tetapi ayat ini sekedar meletakkan poligami untuk tujuan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Ayat ini juga memberi syarat yang ketat dalam berpoligami, yaitu mesti adil. Berlaku adil ini adalah keharusan, mesti sulit untuk dilakukan (QS, An-Nisa: 129)

Dalam fiqh, sunnah berarti tindakan yang baik dan mendapat pahala bila dilakukan, karena ia mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, poligami yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas cara berfikir yang serampangan. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayat, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, Nabi SAW berkeluarga dengan bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari hitungan ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Bahkan Nabi SAW marah pada praktek poligami. Beliau marah besar ketika mendengar putrinya, Fathimah akan dipoligami Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Nabi langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sebagaimana Nabi yang tidak rela putrinya dimadu, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunnah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Jadi sangat tidak beralasan bila ada suami, khususnya suami TKW melakukan poligami dengan dalih agama, baik karena alasan sunnah atau pun yang lainnya. Sudahlah, jangan sakiti permpuan, khususnya TKW dengan berpoligami. Wallahu a’lam bi al-shawab

Thursday, July 5, 2007

Al-Qur'an Berpihak Pada Kaum Lemah

D

alam kenyataan hidup sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang kuat dan ada orang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang kuat, besar, kaya karena hasil usahanya sendiri, tetapi juga ada yang kuat disebabkan faktor-faktor lain di luar diri seseorang. Ada yang lemah, miskin, bodoh karena memang malas, tetapi juga banyak yang menjadi lemah, miskin dan bodoh karena situasi dan kondisinya yang menjadikannya demikian. Bahkan ada pula yang meyakini kalau kuat-lemah, kaya-miskin, pintar-bodoh itu takdir alias dari sononya.

Adanya keniscayaan fenomena lemah-kuat, kaya-miskin dan pintar-bodoh saja tidak masalah selagi tidak ada kedzaliman, penganiayaan dan penindasan yang terjadi sebagai akibatnya. Dalam kenyataanya kita sering menyaksikan orang atau pihak lemah dianiaya oleh pihak kuat. Akibatnya yang lemah-lemah makin lemah, yang kuat makin kuat. Sebagai umat Islam tentu kita akan kembalikan semuanya ke ajaran Islam. Lalu bagaimana Al-Qur’an melihat ketertindasan? Adakah ia membela kaum tertindas (mustadh’afin)?

Dalam Al-Qur’an, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan mustadh’afin (kaum lemah dan dilemahkan)? Bagaimana keberpihakan al-Qur’an kepada nasib mereka? Secara tekstual di salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa mustadh’afin dikaitkan dengan mereka yang tidak bisa berperang dikarenakan sakit atau umurnya terlalu tua.

Beberapa kalangan mufassir (para ahli tafsir) telah mencoba menafsirkan kata-kata mustadh’afîn ini. Jika kita menggali dari peristilahan yang digunakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang dikatakan mustadh’afîn atau pihak lemah atau yang dilemahkan, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan, dan juga dalam konteks fisik. Setidak-tidaknya tiga hal itulah yang bisa kita dipahami dari kata mustadh’afin yang ada dalam Al-Qur’an.

Berkenaan dengan mustadh’afin dalam konteks kelemahan ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqarâ (orang-orang fakir), masâkin (orang-orang miskin), sâilîn, al-mahrûm (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya). Untuk yang terkahir ini, ada ayat Al-Qur’an yang berbunyi wa fi amwâlikum haqqun li sâilîn wa al- mahrûm.Artinya: Dan di dalam harta-harta kalian, terdapat hak bagi orang yang memintanya dan juga bagi yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya.

Terkait dengan makna tidak memiliki kehormatan, Allah SWT menyebutnya dengan beberapa istilah. Seperti: “Wamâ malakat aymânukum. Dalam ayat yang lain Allah SWT menyebutnya dengan al-râqib. Allah SWT juga menyebutnya dengan raqabah, al-‘abd. Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan. Tentu ini akan dipahami lebih baik jika kita mau meneliti lebih jauh. Istilah-istilah tersebut jika kita terjemahkan akan mempunyai makna yang sama namun jika dijabarkan akan memiliki indikasi dan spesifikasi yang berbeda-beda.

Begitu pula ketika kita ingin memahami suatu karya ulama atau kitab tertentu, kita harus tahu persis dengan dzauq al-lughah (perasaan bahasa), menguasai mustalahan (istilah-istilah) yang digunakan dalam kitab bersangkutan. Kendati istilah yang dipakai sama namun jika dipakai dalam ilmu fiqh akan berbeda dengan istilah yang dipakai dalam ilmu tauhid, begitu pula kalau digunakan dalam ilmu filsafat. Jika kita tidak mampu mendalami, hanya mengandalkan dari terjemahan, maka kita akan salah memahami karena kita salah dalam memahami syiâq al-kalâm (konteks pembicaraan) yang ada pada isi suatu kitab.

Oleh karena itu dalam memahami khazanah keislaman yang banyak berbahasa Arab, kita harus betul-betul memahami konteks bahasa Arab-nya. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan bantuan kamus yang sederhana, tetapi perlu dari rujukan kamus memadai dan mendalam. Maka wajar kalau ada ahli tafsir menafsirkan ayat menggunakan syair-syair masa dahulu, karena pada masa pra-Islam sendiri istilah-istilah itu banyak digunakan. Sampai kemudian Al-Qur’an memakainya. Untuk itulah kata-kata yang terkait dengan syair-syair itu mesti juga ditinjau maknannya dari syair-syair Arab.

Timbul pertanyaan apakah makna dan maksud ayat yang kita baca sekarang sama seperti apa yang dimaksud pada saat itu? Para mufassir mencoba memahami dari teks-teksnya dan didukung dengan penguasaan yang begitu luas baik menyangkut fiqh al- lughah, tarikh al-lughah, dzauq al-lughah, maupun semantiknya. Sehingga kata-kata mustadh’afin, dhu’afâ, dan dha’if, serta lain-lainnya dipahami oleh Hamid Al-Qurri yang mengedepankan secara semantik, menegaskan dalam kaitannya dengan keberpihakan al-al-Qur’an bahwa kata-kata tersebut dimaknai sebagai orang yang mengalami salah satu atau keempat kondisi berikut: Lemah Ekonomi, lemah Fisik, lemah ilmu dan lemah karena tidak memiliki otonomi diri, kebebasan dan kemerdekaan.

Beberapa kisah menyebutkan bagaimana Islam membela Abu Bakar, yang secara ekonomi tergolong sebagai orang kaya. Ini karena, meski Abu Bakar mampu secara ekonomi, tetapi belaiu selalu didzalimi oleh mereka yang tidak seiman. Al-Qur’an pun membelanya. Demikian pula orang-orang kaya di zaman Nabi Musa, karena mereka dijajah oleh Fir’aun, Nabi Musa pun membela mereka. Al-Qur’an secara apik menggambarkan bagaimana Allah SWT memerdekakan mereka.

Adapun kepada pihak yang lemah secara biologis, Allah SWT memberikan berbagai dispensasi (rukhshah atau keringanan) kepada mereka. Contohnya ibadah puasa diperkenankan ditinggalkan dan diganti dengan membayar fidyah.

Selain itu semua, yang wajib dibela dan diberdayakan adalah mereka yang lemah dari sisi ilmu pengetahuan. Meski seseorang memiliki harta, kuat secara fisik, tetapi jika ia bodoh. maka ia bisa digolongkan dalam kelompok dhu’afâ dan atau mustadh’afîn. Allah SWT mewajibkan orang-orang ‘âlim (berilmu) untuk memberikan ilmunya kepada kelompok ini.

Yang penting dicatat, adalah bahwa Al-Qur’an kita untuk memihak, membela dan memberdayakan kaum mustadh’afîn. Dalam melakukan pembelaan, pemihakan dan pemberdayaan mestinya tidak membeda-bedakan perbedaan yang ada, baik agama, etnis dan jenis kelamin Wallahu’alam bi al-shawab

Jadi TKI Kiat Rakyat Hadapi Kemiskinan

N

egara ini ada untuk mensejahterakan rakyat. Ini secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, pasal 34 yang menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dan sebagai negara yang telah menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, maka Indonesia berkewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warganya atau hak-hak rakyatnya. Hak-hak rakyat ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sosial dan politik.

Artinya, bukanlah merupakan kebaikan, jika negara berusaha mensejahterakan rakyatnya. Itu sudah menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya. Maka jika rakyat mengalami kemiskinan, kebodohan dan keteringgalan, maka yang paling bertanggungjwab atas ini dan mestinya melakukan usaha penanggulangannya adalah negara.

Selain itu, pada 8 September 2000, 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia menyepakati “Millenium Development Goals” (MGDs), yaitu target-target pembangunan di era milinium. Diantara isi kesepakatan ini adalah bahwa maksimal pada th. 2015, pembangunan negara harus dapat mencapai hal-hal berikut: Mengentaskan kemiskinan dan kelaparan mutlak, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi ketimpangan gender dan pendidikan paling lambat pada tahun 2005 untuk tingkat dasar dan menengah, dan pada tahun 2015 untuk seluruh tingkatan, dan target-target lainnya.

Kenyataannya, rakyat khususnya masyarakat lapisan bawah sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha-khususnya dalam sekala kecil dan menengah- juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Tentu untuk tidak menyatakannya tidak berdaya sama sekali. Dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Ini disampaikan oleh Menteri Nakertrans Erman Suparno beberapa waktu lalu,” Angka pengangguran 10,9 juta tahun ini tidak dapat diturunkan. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran sebesar 5,1 persen hingga tahun 2009 tak akan terpenuhi, karena lapangan kerjanya terbatas, bahkan tidak ada. Belum lagi tambahan tenaga kerja terdidik hingga 1,5-2 juta.” Angka pengangguran yang tinggi tersebut mencapai 14 % dari angka penggangguran dunia yang mencapai 74 juta jiwa.

Di tengah tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI, red. ) adalah salah satu alternatif yang dipilih sebagian angkatan kerja kita. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka. Namun nada pesimis itu tidak terjadi di sebagian rakyat kita. Setelah sektor formal terbatas, menjadi TKI adalah satu upaya. Pesimisme pemerintah adalah bukti kegamangan atas ketidakmampuan menata ekonomi negeri ini. Angka penggangguran yang tinggi seperti yang disebutkan adalah konkretnya, betapa terbatasnya lapangan pekerjaan di negeri ini.

Sebagai solusi yang dipilih sebagian rakyat kita, dalam catatan Depnakertrans, buruh migran Indoesia resminya mencapai 400.000 jiwa, dan yang tak resminya bisa mencapai beberapakali lipatnya, tengah berada di luar negeri. Jalan berliku yang dihadapi buruh migran Indonesia mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan. Baik cerita sukses maupun buram.

Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Mereka tahu bahwa itu seperti berjudi. Bertaruh dengan penuh harapan karena di negeri seberang berharap hidup akan berubah, bisa bayar utang, membantu keluarga, bikin rumah atau jika masih lebih untuk modal usaha. Pasrah, karena sebenarnya tak tahu harus kemana. Mengapa mesti keluar negeri? Seolah negeri ini tak ada lagi tempat berpijak, tak tahu apa yang akan mereka kerjakan dan nasib apa yang akan menimpa.

Dengan alasan itulah kemudian Blakasuta memilih untuk menampilkan wajah buruh migran di Marga Mulya Indramayu. Disamping juga di sana berdiri radio Komunitas Serra FM.

Perlindungan Negara Masih Lemah

Ironinya pemerintah atau negara bukan saja tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya, tetapi negara juga lemah dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Kasus Watem misalnya. Baru-baru ini, sejumlah aparat Kab. Indramayu blingsatan. Perempuan asal Bongas Indramayu itu, berangkat ke Arab Saudi untuk mengubah nasib ternyata pergi hanya untuk mengantar nyawa. Tiga hari setelah tiba di Arab Saudi untuk bekerja, setidaknya menurut dokumen kematianya, ia meninggal. Belum jelas karena bunuh diri, dibunuh atau terbunuh. Hingga tulisan ini dicetak belum ada kabarnya.

”Saya diberitahu oleh salah satu temannya Watem. Bahwa dia telah meninggal,” tutur Ralim, sepupu Watem, “Dengan suaminya, kami mengecek kembali. Berita itu ternyata benar. Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemberitahuan majikannya.”

Ketika dikonfirmasikan kepada pihak PJTKI, surat itu malah dianggap surat kaleng. Kemudian disusul dengan surat pemberitahuan majikannya. Barulah pihak PJTKI percaya. Namun upaya pemulangannya awalnya agak berbelit. Untunglah dibantu Pak Toni Gunawan dari Deplu, akhirnya Watem bisa dipulangkan. Watem sendiri meninggal lebih dari tiga bulan sebelum keluarganya tahu. Hal itu terjadi karena identitas Watem diubah oleh sponsornya ( sebutan untuk calo perekrut, red.).

Kasus Watem merupakan bukti betapa lemahnya perlindungan negara terhadap warganya yang bekerja di luar negeri. Soal penempatan misalnya, semuanya diserahkan kepada PJTKI, negara tak mengatur apakah calon majikan itu layak atau tidak. Tentang identitas, betapa mudahnya mengubah identitas di negeri ini. Padahal resikonya besar. Lambatnya pemberitahuan meninggalnya Watem karena identitasnya telah berubah menjadi perempuan asal Sukabumi.

“Kami tidak tahu menahu soal keberangkatan Watem,” jelas Pak Kartama, Kuwu Marga Mulya, ”Para sponsor biasanya tak mau berurusan dengan aparat desa karena semua yang berangkat harus sesuai prosedur. Soal umur misalnya.”

Nampaknya dikalangan sponsor nakal mengubah identitas entah dengan alasan apapun sangat mudah dilakukan. Sepertinya sudah ada jaringan tertentu yang menyediakan layanan pemalsuan identitas ini. Makanya jika mereka menemukan hambatan di desa seperti yang dipimpin oleh Pak Kuwu Kartama ini mereka mencari upaya. Negara mesti melakukan sesuatu langkah agar proses pengubahan identitas ini bisa diminimal sedikit mungkin. misalnya dengan menyediakan sistem satu identitas abadi tingkat nasional.

Perlindungan terhadap TKI yang tidak digaji juga masih lemah. Tentu untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Seperti yang dialami oleh Sn (27th) yang berangkat ke Arab Saudi, yang sempat berpindah majikan. Di majikan yang kedua, walaupun mendapat perlakuan baik dan kesehatannya diperiksa rutin tiap bulan, namun gajinya selama 2,7 tahun tidak dibayar. Modusnya seolah gaji sudah di bayar, ketika mau pulang ke tanah air, gaji malah ditahan majikan.

Tindakan pemerintah kepada PJTKI yang menelantarkan calon TKI juga tidak tegas. Seperti yang dialami Wst (30), hampir 7 bulan di penampungan bukannya mendapatkan latihan kerja malah seperti di penjara. Ia pun dipungut biaya oleh sponsor Rp 700.000 tanpa penjelasan peruntukannya. Di tempat kerja, meski majikannya baik, kerjanya terus-menerus, kadang tidak ada waktu istirahat.

Perlindungan TKI yang dianiaya juga dinilai masih lemah. Seperti yang dialami Nrs (28 th) , ia sering dianiaya majikan, terutama ketika majikannya ada masalah. Gajinya juga tidak dibayar. Karena tidak tahan, ia mengadu ke kedutaan, kemudian bisa pulang. Tetapi soal penganiayaan dan gajinya yang tidak dibayar, tidak ada yang menyelesaikan .

Negara Tak Mampu, Rakyat Jadi Korban

Padahal baik Wtm, Sn, Wst dan Nrs adalah segelintir dari ribuan TKI kita yang terpaksa bekerja di luar negeri. Ketika negara tak mampu menyediakan penghidupan layak, mereka berkorban menghasilkan devisa. Walaupun dijuluki pahlawan devisa, perjuangan mereka tak diberi penghargaan yang layak, seperti perlindungan hukum dan hak-hak mereka.

Kisah di atas jelas menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI.

Berangkatnya Wtm, Sn, Wst dan Nrs tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.

Dikatakan oleh Wst, “ Saya tak mau kembali jadi TKI. Biarlah hidup seadanya. Anak-anak sangat membutuhkan saya. Saya gak tega ninggalin mereka.” Wst merasa sangat bersalah ketika jadi TKI. Tiga tahun dia meninggalkan keluarga, walau diurus suami dan orangtuanya, kondisi anak-anaknya menyedihkan dan tidak terurus ketika Wst kembali ke kampungnya.

Mereka Yang Kreatif Sepulang Jadi TKI

Ketika pulang jadi TKI, bagaimana menyiasati kehidupan selanjutnya, ini perlu keseriusan. Kreatif sepulang jadi TKI memang tidak mudah, karena tidak semua orang bisa menggunakan uang yang ada untuk keperluan usaha. Memang paling mudah dengan membeli sawah. Karena alasan utama menjadi TKI adalah ekonomi, membuat hidup lebih baik, untuk bayar utang dan sisanya bisa dijadikan modal. Tapi tidak semua TKI bisa melakukannya. Terlepas dari banyaknya nasib TKI yang kurang beruntung, ada baiknya kita menengok mereka yang kreatif dan berhasil melanjutkan hidup setelah menjadi TKI. Mereka ini pribadi-pribadi tegar, mengingat desa Marga Mulya merupakan daerah pertanian tradisional dan terletak jauh dari jalan utama Kabupaten Indramayu (sekitar 6-7 KM), dimana membuka usaha bukan perkerjaan mudah.

Seperti yang dilakukan oleh Tarkim (39th) mantan TKI Taiwan. Ia bekerja di sebuah pabrik pelek mobil sepanjang tahun 1998-2001, dengan gaji mencapai Rp 4.800.000 per bulan. Meski ketika berangkat dia harus mengeluarkan uang hampir 25 juta rupiah, namun ketika pulang dari Taiwan, dengan tabungannya dia membuka usaha dealer motor, membeli sawah dan rumah. Modal awal usaha dealernya sekitar 75 juta rupiah. Tempatnya strategis, di persimpangan utama desa Marga Mulya, dengan omzet mencapai 3 juta rupiah per bulan.

” Ini kan desa kecil, Mas. Awalnya berat juga memulai usaha ini. Apalagi modalnya cukup besar,” kata Tarkim. ” Segala kerja keras saya selama di Taiwan tak akan saya sia-siakan. Apalagi saya sempat mengalami kecelakaan yang mengenai tangan saya,” lanjutnya, sambil memperlihatkan bekas luka di tangannya, berupa bekas jahitan sepanjang 15 cm.

Rafiah (32 th), ibu dua anak, pernah menjadi TKI di Abu Dhabi selama 2 tahun 4 bulan. Ia bekerja sebagai PRT, dengan gaji sekitar 1,3 juta per bulan. Semua hasil kerjanya ia kirimkan ke kampung dengan jumlah sebesar Rp 36 juta. Sepulangnya ke tanah air, uang kirimannya tersisa di rekening keluarganya sebesar Rp 24 juta. Uang itu ia belanjakan untuk rehab rumah, perabotan, dan investasi dengan membeli sawah, sisanya ditabung. Dari tabungan itu, sebanyak Rp 500 ribu digunakan modal dagang mie ayam untuk membantu pekerjaan suaminya selain bertani. ” Dengan dagang mie ayam saya bisa membantu suami, lumayan ada penghasilan tambahan. Uang tabungan tidak diambil terus. Bisa untuk sekolah anak-anak nanti,” kata Rafiah. Dengan berjualan mie ayam di rumahnya, yang kebetulan di pinggir jalan, dia bisa meraup keuntungan Rp. 40-50 ribu perhari, bahkan kadang lebih.

Ummi Hani (40 th), jadi TKI selama 2 tahun 4 bulan di Arab Saudi. Sepulangnya dari Saudi, dia memiliki tabungan Rp. 37 juta. Uang itu ia gunakan selain untuk bayar hutang ke sponsor sebesar Rp. 2,5 juta, ia gunakan juga untuk memperbaiki rumah sebesar Rp. 16 Juta. Dan untuk usaha produktif ia investasikan Rp. 10 juta untuk mengembangkan warung. ”Dari usaha warungan ini, selain untuk biaya hidup sehari-hari saya juga bisa nabung minimal Rp 300 ribu per bulan, ” ungkap Ummi Hani.

Tarkim, Rafiah dan Ummi Hani adalah contoh pribadi-pribadi kreatif. Sayangnya, jumlah mereka yang kreatif ini tidaklah banyak, apalagi mereka yang mantan TKI. Hasil pengamatan Blakasuta di Marga Mulya, menuunjukkan bahwa kebanyakan mantan TKI masih ingin berkeja di luar negeri kembali. Atau paling tidak mengidolakan kerja di sana. Ini karena dunia usaha di negeri sendiri memang sulit. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hendaknya, tidak hanya memberi tawaran untuk bekerja ke luar negeri, tetapi juga menyiapkan apa yang mereka lakukan setelah pulang. Bukankah pelatihan ketrampilan tertentu, kewirausahaan dan pinjaman modal usaha, sesuatu yang tidak pernah dilakukan pemerintah secara serius? Khususnya setelah mereka tidak lagi menjadi TKI. Lagi-lagi rakyat harus kreatif sendiri ditengah ketidakmampuan negara menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Usaha-Usaha Lainnya

Di tengah kesulitan ekonomi yang ada, menjadi TKI adalah sebuah pilihan hidup. Di luar itu, tentu saja ada usaha-usaha lain yang yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengembangkan perekenomiannya. Di desa Marga Mulya yang perekonomiannya masih berbasis pertanian, dan jauh dari perkotaan, ternyata terdapat benih-benih pengembangan ekonomi dan dunia usaha.

Diantaranya, adalah apa yang dikerjakan Waram (34 tahun), pengusaha Organ Tunggal ”Kawaca Nada”, yang cukup terkenal di Marga Mulya, Bongas. Pada th. 2001, dia mendirikan grup organnya dengan bermodal hobi dan uang sebesar Rp. 25 juta. Dengan ketekeunannya dan ditopang tim yang solid sekarang dia memiliki 10 unit organ. Kini anggota personilnya mencapai 25 orang. Untuk sekali manggung grupnya dibayar 6-7. Dalam hal ini, Waram bukan hanya berhasil untuk dirinya tetapi membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Casban (32th), salah satu diantara anak muda yang kreatif. Di usianya yang relatif muda, ia memiliki empat usaha sekaligus: dealer/showroom motor, warung sembako lengkap, bengkel motor dan rental mobil. Berbagai pekerjaan sebelumnya dia lakoni, dari mulai jualan mainan anak, kuli angkut pasir, sampai tukang ojeg. Dengan prinsip bagaimana memperkuat diri sambil memberdayakan orang lain, pada th 1995 dia mulai membuka warung dengan modal awal Rp 1,8 juta. Dan pada th. 2003 ia membuka showroom motor dengan modal hasil pinjaman sebesar Rp 50 juta. Kini usahanya terus berkembang, omzetnya mencapai Rp. 14 juta dengan penjualan minimal 20 unit sepeda motor perbulan.

Mengenai prinsip usaha, menurutnya: ” Yang penting bagaimana kita memelihara mediator-mediator untuk memasarkan motornya dengan baik, manajemen keuangan yang ketat, dan jeli membaca kemauan pasar. ” Gaya hidup sederhana dan jauh dari konsumerisme adalah salah kunci sukses yang lainnya. Dengan usahanya yang berhasil, dia tak pernah berpikir untuk bekerja ke luar negeri.

Usaha lainnya yang dikembangkan warga Marga Mulya adalah usaha penggilingan padi (hueleran). Sebaaimana yang dilakukan H.Masto (52 tahun). Dengan uang Rp 400 ribu hasil ngenek, pada th 1993 ia membuka toko material. Setelah mulai tokonya berkembang, pada th. 2000 ia membuka pengilingan padi. Sekarang ini omzet bulananya mencapai minimal Rp. 10 juta. Mengenai kunci suksesnya dalam berusaha ia menyatakan bahwa, “Yang penting orang mau bekerja keras, jangan malu, dan jangan andalkan ijazah.” Mengenai bagaimana cara pandangnya terhadap orang lain ia menyatakan bahwa, “Kita harus mau mulai dari bawah. Orang dinilai dari prestasi kerjanya. Soal kedudukan itu mengikuti, kalau prestasi bagus maka akan dingkat sesuai dengan keahlian dan kerja kerasnya,” .

Rental organ, warung sembako, dealer motor dan hueler, adalah usaha-usaha yang dilakukan rakyat untuk keluar dari persoalan ekonominya. Dengan segala kemandirian, rakyat berdiri di atas kaki sendiri. Bebebrapa berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang jatuh bangun. Orang-orang seperti Waram, Casban, dan H.Masto dalam kapasistasnya layak disebut pelopor, membuka penghidupan orang lain, yang jelas tidak membebani negara, bahkan meringankannya. Sebaiknya pemerintah tidak hanya bisa membiarkan rakyat berbondong-bondong keluar negeri dengan tanpa perlindungan, tetapi juga memperkuat perjuangan orang-orang seperti Casban, Waram dan H.Masto untuk berdikiari di atas kemampuan sendiri. Jangan sampai karena pemerintah abai lalu rakyat yang tergadai.

Pemerintah Abai Rakyat Tergadai

D

alam Islam dikenal sebuah kaidah Ushul Fiqh yang menyebutkan “Tasharruf al-Imâm ‘Ala al-Arrâ’iyyah Manûthun bi al-Mashlahah”, yang artinya, kebijakan pemimpin atau pemerintah harus didasarkan atas tujuan atau orientasi untuk mensejahterakan rakyat. Karenanya, pemimpin dalam Islam sejatinya lebih berfungsi sebagai khâdimul ummah (pelayan masyarakat) dari pada sebagai penguasa.

Ini sedikit berbeda dengan realita kepemimpinan negeri ini. Entahlah kenapa pemimpin atau pengelola negeri ini di sebut pemerintah? Apakah sebutan ini dipilih karena memang pengelola negeri ini hanya bisa perintah sana perintah sini. Atau kenapa? Tetapi yang jelas kini semakin jelas bahwa pemerintah tidak berfungsi. Pemerintah gagal menjalankan tugasnya sebagai pengayom, pelayan dan pengelola negeri ini demi kesejahteraan rakyat banyak.

Indikasi kuat dari gagalnya pemerintah dalam menjalankan fungsinya adalah ketidakmampuannya dalam menyediakan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Sehingga rakyat negeri ini berbondong-bondong menyerbu sumber-sumber ekonomi di luar negeri. Rakyat tahu betul kondisi perekonomian negeri ini. Mereka terpaksa kerja ke luar negeri agar tidak terlalu membebani negara. Sejatinya, mereka adalah pahlawan negara, yang dengan kucuran keringatnya mengalirkan devisa milyaran rupiah.

Dengan banyaknya rakyat yang menjadi TKI, pemerintah mendapatkan untung. Tetapi TKI sendiri banyak yang buntung. Kita semua sudah tahu, di media banyak diberitakan bahwa mereka yang bekerja untuk mengubah nasib malah pulang mengenaskan bahkan sampai hilang nyawa. Casingkem dan Watem adalah contoh mudah TKI asal Indramayu yang pulang mengenaskan. Masih banyak lagi nama-nama malang lainnya yang menjadi korban manipulasi, eksploitasi, penipuan, perkosaan, pelecehan seksual, tidak digaji, korban perdagangan orang dan kejahatan lainnya. Belakangan diberitakan bahwa Ceriyati, TKW asal Tegal di negeri Jiran, menjadi korban kekerasan majikannya.

Bagaimana tidak, Ceriyati yang miskin tidak datang dari Ethiopia yang tandus, tetapi dari Indonesia yang subur. Kemalangan nasibnya bukan karena kegagalan alam, tetapi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola negara.

Pun demikian, rakyat tetap tegar dan bertahan dengan berbagai cara. Diantaranya jika terpaksa harus jadi TKI. Mereka bukannya tidak tahu resiko dan bahaya apa saja yang mengancam buruh migran, tetapi karena tidak ada yang bisa diharapkan di tanah air. Resiko yang mereka hadapi sesungguhnya bukan resiko kerja biasa, tetapi karena tidak adanya perlindungan hukum dari pemerintah.

Dalam hal ini kentara sekali bahwa pemerintah memang abai. Padahal saat ini, pemerintah menargetkan pengiriman 5 juta buruh migran hingga 2009, tahun ini ditargetkan sebanyak 1 juta orang, dengan perhitungan satu orang buruh migran akan menghasilkan USD 100 per bulan. Jumlah resmi buruh migran Indonesia saat ini ada 400.000 orang. Akan tetapi, jumlah dalam kenyataan bisa mencapai 4-5 kali lipat angka resmi. Pemerintah mendapatkan keuntungan dengan mengirimkan buruh migran, akan tetapi pemerintah tidak serius dalam memberikan perlindungan keamanan dan hak-hak mereka.

Monday, June 11, 2007

Jeritan Hati Ayah TKW

Saya ini orang kampung. Saya tidak mengerti agama. Dari Pak Kyai di kampung, saya belajar ngaji, sholat, puasa dan wirid. Saya sekeluarga berusaha beribadah pada Gusti Allah dengan cara orang bodoh, tetapi inginnya sih ibadah kita diterima Gusti Allah. Saya juga cinta Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya tidak tahu banyak tentang beliau, tapi saya ingin beliau memberikan syafaatnya kelak di akhirat. Untuk itu saya rajin bershalawat dan mengajarkan anak-anak saya untuk juga rajin baca shalawat.

Kalau nyebut Kanjeng Nabi, saya ingat Makkah dan Madinah. Saya ingin naik haji dan ziarah ke makam beliau. Saya dengar tanah Arab penuh berkah.. Kalau ingat Ka’bah, saya mbrebes milih. Saya ingin nyucup Hadjar Aswad, tapi saya wong bli due. Jika pun semua harta yang saya miliki saya jual, tetep saja tak cukup untuk naik haji.

Saya juga pingin ke Arab, untuk melihat negara Islam. Kata Pak Kyai, hukum yang berlaku di sana hukum Islam, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Saya senang sekali waktu ada orang dari Jakarta janji untuk ngirim anak saya, kerja di Arab, mungkin di Makkah, Madinah atau kota lainnya. Saya jual apa saja untuk biayai dia. Orang Jakarta itu baik bener, ia menutup sisa biaya anak saya sebagai pinjaman. Saya janji padanya akan mengembalikan pinjaman itu kalau dapat kiriman dari Arab

Setelah urusan cukup lama dan melelahkan, setelah Lilis (anakku) ditampung di beberapa bulan, ia jadi berangkat. Kami mengadakan slametan. Pak Kyai baca doa untuk Lilis, semoga ia bisa naik haji dan membawa orang tuanya naik haji juga. Ketika saya antar Lilis di Bandara, saya ngangis bahagiah. Dalam pakaian TKW-nya, saya lihat Lilis sangat cantik.

Saya menengadahkan tangan, “Tuhan, anakku ingin bekerja di Tanah Suci, supaya bisa haji dan menghajikan orang tuamya. Kuatkan tubuh anakku di tanah panas itu, supaya ia bisa mengirim kami uang untuk membayar utang-utang kami”. Saya hanya bisa mengusap kerudungnya, ketika ia didorong petugas untuk segera masuk Bandara.

Setelah tiga bulan, saya terima surat. Lilis mengeluh, majikan perempuannya sangat keras. Ia tidak boleh istirahat, sering dimaki dan disakiti. Saya kirim jawaban, saya beri nasihat. “Apa kata Pak Kyai juga, orang Arab kuh keras-keras. Anggap saja itu ujian”. Tak ada lagi berita sesuadah itu. Tak ada surat apa lagi kiriman uang. Kepada yang berangkat naik haji, saya titip pesan untuk disampaikan padanya, Saya harap Lilis ada diantara Jamaah Haji. Tapi ketika pulang, mereka cerita bahwa tidak ada yang ketemu Lilis.

Saya menghubungi orang Jakarta yang baik itu. Tak seorang pun di kantor yang dapat menjelaskan. Di sana saya menemukan wajah-wajah tidak ramah. Saya dibentak dan dilarang datang ke situ lagi. Setelah lebih dari setahun, saya terkejut dengar kabar bahwa, Lilis bersama kawan-kawannya dipenjara.

Mereka umumnya bernasib sama. Mereka dijebloskan ke penjara karena berusaha mempertahankan kehormatan. Lilis pernah cerita tentang dua orang Madura, suami istri yang dipancung. Keduanya TKI. Lelaki Madura tak tahan dengan perlakuan tuannya pada istrinya. Ia pun membunuh majikannya. Lilis dan kawan-kawannya melawan ketika tubuhnya diraba-raba. Ada yang lari ke dapur dan mengambil pisau; membunuh tuannya dan dirinya. Menurut Lilis, banyak juga temannya yang bunuh diri.

Saya mulanya tidak percaya. Mana mungkin di Tanah Suci ada kejadian seperti itu. Bukankah di Makkah dan Madinah, para haji yang berbuat dosa, sekecil apa pun, dibalas Tuhan waktu itu juga. Sampai bulan yang lalu, dari koran dan TV, dari cerita di kampung, saya dengar ada kawan Lilis yang dipancung. Saya nangis keras, ketika melihat beritanya di TV tetangga. Sejak itu, saya selalu nonton berita di TV.

Saya yakin, Lilis tidak termasuk yang dipancung. Ia tidak membunuh siapa pun. Ia hanya lari untuk mempertahankan kehormatannya. Tapi hati ini tidak pernah tentram. Tengah malam saya sering terbangun. Saya mimpi, lihat leher Lilis ditebas pedang. Saya dengar ia menjerit, “Bapak Tolooong”.

Saya orang kampung, bodoh, tidak ngerti agama. Banyak yang tidak saya ngerti. Hukum Islam itu hukum Tuhan. Tuhan Maha Adil. Tapi, saya rasa hukum yang berlaku di negeri Arab itu tidak adil. Saya takut menyebut Tuhan tidak adil. Gusti, ampuni saya, saya bingung. Saya tidak mendengar berita yang jelas dari mana pun. Saya tidak akan datang ke kantor mana pun di Jakarta. Makin banyak bertanya, saya tambah bingung. Banyak penjelasannya sulit dipahami. “Du Gusti Allah, seandainya Lilis mati, saya ingin melihatnya mati dan dikuburkan di sini. Dulu, saya hanya sempat mengusap kerudungnya saja.

Itulah tulisan Jalaluddin Rahmat dengan judul asli “Bapak, Tolong” dalam buku “Reformasi Sufistik” terbitan Mizan. Saya tulis dan sadur kembali di sini, karena saya nangis waktu membacanya. Ada saudara kandung saya bernasib sama dengan Lilis. Mungkin saja pembaca juga sama dengan saya, atau pembaca adalah Lilis atau Bapaknya Lilis? Banyak diantara kita bernasib demikian malang.

(Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Banati edisi 15 Mei 2006)

Tuesday, May 15, 2007

Urgensi Penguatan Civic Education Bagi Kalangan Madrasah

Ali Mursyid

Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran-ajaran dasar Islam. Secara penjenjangan, madrasah terdiri dari jenjang ibtidâiyah (dasar), tsanâwiyah (menengah) dan âliyah (atas). Perbedaan yang mendasar antara madrasah dengan pendidikan umum adalah titik berat pendidikan madrasah pada ilmu-ilmu dasar Islam yang ditunjukkan dengan pembobotan yang cukup signifikan bagi pelajaran mengenai ilmu dasar Islam dalam kurikulum pendidikan madrasah. Apa yang dipelajari di madrasah tidak jauh berbeda dengan apa yang dipelajari di pesantren. Yang membedakannya dengan pesantren adalah sistem, administrasi, dan penjenjangannya. Madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem pendidikan Pesantren.

Islam--sebagai basis nilai, ajaran serta spirit dari berdiri dan diselenggarakannya pendidikan madrasah--pada tataran realitas menunjukkan dua cara pemahaman yang berbeda. Di satu sisi Islam dipahami sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian (salâm), demokrasi (syûra), sikap toleransi (tasâmuh), pluralisme (ta’addudiyah), keadilan (‘adalah), dan cinta tanah air (hubb al-wathân). Konsep Islam tentang pergaulan sesama manusia – dalam cara pandang ini – direpresentasikan oleh nilai-nilai luhur yang terbagi menjadi tiga kategori: Pertama, ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan sesama umat Islam. Kedua, ukhuwah basyariyah atau insâniyah, yaitu persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Ketiga, ukhuwah wathâniyah, persaudaraan atas dasar bangsa, negara dan tanah air.

Dalam-dalam teks-teks Islam klasik, dinyatakan bahwa Syari’ah Islam diterapkan dengan tujuan-tujuan mulia berikut: (1) Menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din); (2) Menjamin kebebasan berfikir dan berpendapat (hifdz al-‘aql); (3) Menjamin kesehatan reproduksi (hifdz al-nasl)’ (4) Menjamin kebebasan pasar dan kebebasan finansial (hifdz al-mâl); (5) Menjamin kebebasan dan harga diri indifidu (hifdz al-‘irdh). Konsep seperti ini tentunya bisa menjadi modal pengetahuan dan modal sosial yang sangat berharga untuk menciptakan masyarakat berperadaban di Indonesia.

Sementara itu, peradaban Islam juga mewariskan Piagama Madinah. Piagam Madinah ini – yang konstitusi pertama dalam Islam—mengarahkan masyarakat Madinah kepada sebuah model relasi berbasiskan konsensus, kesepakatan. Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah berdasarkan realitas bersama berbagai ummat yang ada saat itu – Islam, Nasrani dan Yahudi, bahwa mereka sama-sama warga Madinah, ahl al-madînah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk saling melindungi dan membela Madinah sebagai negeri bersama. Praktek sosial Islam yang ditunjukkan oleh masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, menegaskan spirit Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Spirit inilah yang kiranya perlu diaktualkan pada konteks Indonesia masa kini.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, terdapat pemahaman Islam yang mengesankan fenomena radikalisme agama – tidak toleran, jauh dari kedamaian, yang titik ekstrimnya berbentuk kekerasan. Fenomena ini yang ditengarai mulai berbenih di Indonesia, seiring munculnya berbagai pemboman yang dikait-kaitkan dengan gerakan keagamaan tertentu. Pemahaman yang mendorong lahirnya kekerasan berwajah agama ini, sejatinya bukanlah arus utama pada konteks masyarakat beragama di Indonesia. Namun demikian, patutlah ia menjadi keprihatinan bersama yang harus kita carikan solusinya.

Pada titik inilah, kita bisa melihat bahwa madrasah bisa menjadi salah satu potensi sosial yang sangat besar. Di Jawa Barat sendiri jumlah madrasah cukup signifikan. Baik madrasah yang dikelola oleh pemerintah disebut madrasah negeri dan madrasah yang dikelola oleh swasta yang disebut madrasah swasta. Hal ini terkait dengan agama yang mayoritas dipeluk oleh warga Jawa Barat, yaitu agama Islam. Mengingat jumlahnya yang signifikan, maka menjadi sangat strategis untuk memposisikan pendidikan madrasah sebagai bagian dari gerakan membangun masyarakat Islam Indonesia yang berperadaban. Dalam bahasa yang lebih sederhana, madrasah potensial untuk diarahkan menjadi pilar penyebaran kesadaran konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada umat Islam. Di mana, salah satu indikasinya adalah kesediaan berbagi dan bekerjasama dengan umat lain dalam menciptakan realitas sosial yang lebih baik. Dan ide-ide ini, salah satunya bisa direalisasikan melalui peningkatan mutu pendidikan kewargaan (civic education) di madrasah. Melalui pendidikan kewargaan (civic education), diharapkan para lulusan berbagai institusi pendidikan di Indonesia (khususnya madrasah), bisa memiliki kerangka berpikir demokratis, berkesadaran hukum, dan punya empati sosial dalam kerangka keindonesiaan yang majemuk.


Civic Education:

Perlu Pengembangan Pada Isu-Isu Strategis

Sejauh ini, kita bisa menemukan bahwa pendidikan kewargaan (civic education) telah menjadi bagian dari kurikulum formal di berbagai sekolah yang ada di Indonesia, baik yang bernaung di bawah Diknas (baca: sekolah) maupun yang bernaung di bawah Depag RI (baca: madrasah), dalam bentuk mata pelajaran PPKN. Perkembangan ini tentunya sangat positif, terutama jika dikaitkan dengan realitas madrasah yang merupakan bagian signifikan dari sistem pendidikan di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan kewargaan (baca: PPKN) bukanlah materi asli yang sudah sejak dahulu ada dalam kurikulum madrasah. Terutama misalnya jika dibandingkan dengan materi-materi seperti aqidah, akhlaq, ilmu Qur’an, ilmu hadits, dan semacamnya. Keberadaan pendidikan kewargaan dalam kurikulum madrasah, merupakan bagian dari pencarian model pendidikan yang paling tepat untuk menumbuhkan kesadaran keindonesiaan yang bertaut dengan kesadaran global.

Pendidikan kewargaan ini tampaknya merupakan semacam revisi atau koreksi terhadap mata pelajaran PMP atau PSPB yang di rezim pemerintahan pra-reformasi, dinilai lebih sebagai sarana konsolidasi politik untuk mengukuhkan kekuasaan yang otoriter. Dibandingkan misalnya, untuk melahirkan masyarakat kritis yang memiliki kesadaran dan kapasitas untuk melakukan perbaikan sosial di tengah kondisi Indonesia yang majemuk.

Karena civic education bukan merupakan sesuatu yang genuine atau produk asli kurikulum madrasah, kiranya kita bisa menangkap beberapa persoalan atau issue strategis yang belum tereksplorasi secara relatif tuntas. Pertama, menyangkut keselarasan. Adakah misalnya, keselarasan antara prinsip, nilai dan ajaran yang dimuat dalam pendidikan kewargaan dengan prinsip, nilai dan ajaran Islam yang diyakini dan menjadi ruh madrasah (yang biasanya berhimpitan atau menjadi bagian dari pesantren)? Kedua, menyangkut problema metodologi pengajaran. Apakah metode yang dikembangkan oleh guru-guru di madrasah, telah cukup memadai sehingga keluaran atau output pendidikan di madrasah memiliki cara berpikir dan perilaku sosial yang mendekati idealitas versi civic education?

Monday, May 14, 2007

Untung Rugi Menjadi TKI/TKW

Ali Mursyid

Tetangga rumahku di kampung, Sopiyah (23 th), pergi ke Saudi untuk bekerja menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Setelah dua tahun, ia pulang dan memperbaiki rumah orang tuanya menjadi lebih besar dan berkeramik. Beberapa saat kemudian ia berangkat lagi ke luar negeri untuk melakukan pekerjaan yang sama. Mungkin karena sudah merasakan keberhasilan dan ingin mencoba lagi dan ia merasa kalau bekerja di sini gajinya tidak seberapa.
Eti (32 th), saudaraku, pergi jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Timur Tengah. Beberapa waktu keluarga hilang kontak dengannya. Tetapi Setelah beberapa tahun, pulang kampung dengan membawa masalah hutang. Berharap untung, malah ia menjadi buntung.
Titi (28 th), teman sekolahku, jadi TKW di Abu Dhabi. Setelah dua tahun ia pulang bawa uang banyak, tetapi juga bawa anak. Orang tuanya seneng tetapi sekaligus juga menanggung malu.
Sukron (30 th), teman karibku yang sopir angkot, setelah istrinya jadi TKW, ia ogah-ogahan nyupir. Tiap bulan ia terima uang kiriman dari istrinya. Setelah setahun ditinggal istri, saya dengar malah ia kawin lagi dengan perawan tetangga desa sebelah.

Keuntungan
Bekerja di luar negeri menjadi TKI/TKW, memang menjanjikan berbagai keuntungan. Dari sisi finansial (keuangan), bekerja di luar negeri menjanjikan gaji besar dan lumayan. Di masyarakat (pedesaan khususnya) bekerja di luar negeri dapat meningkatkan status sosial. Karena dengan uang kiriman TKI/TKW, keluarga di rumah dapat dengan mudah membangun rumah keramik, membeli motor baru, menyekolahkan anak hingga tamat, atau membuka usaha sendiri dan lain-lainnya.
Semantara bagi TKI/TKW, bekerja di luar negeri, selain dapat menambah ketrampilan dan pengalaman, juga dapat menambah kepercayaan diri. Dengan bekerja di luar negeri seorang TKI/TKW semakin dihargai di dalam keluarga, karena biasanya merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Kerugian
Selain berbagai keuntungan, tidak sedikit pula kerugian akibat bekerja di luar negeri. Dari sisi finansial (keuangan), biaya bekerja di luar negeri, jika dihitung dengan teliti, lebih tinggi dari yang dibayangkan. Banyak biaya yang keluar justru bukan yang diperhitungkan semula, seperti biaya perjalanan, pembuatan passport dan dokumen-dokumen lainnya. Karena itu banyak calon TKI/W terpaksa hutang ke sana ke mari agar cepat berangkat. Dan sebagai akibatnya banyak di antara mereka yang terjerat hutang kepada agen. Jeratan hutang ini berpotensi menggebiri hak-hak TKI/TKW akan upah yang layak
Dari sisi sosial, bekerja di luar negeri dapat menyebabkan keretakan perkawinan. Meski belum ada data penelitian, tetapi tidak sedikit perkawinan buruh TKI/W retak, entah karena suami yang tidak tahan ditinggal lama istri, atau karena istri yang menyeleweng. Atau bahkan karena pengaruh keluarga kedua belah pihak. Sementara itu perpisahan anak dengan ibunya dapat mengakibatkan prestasi anak di sekolah menurun. Pemeliharaan dan pendidikan anak di rumah pun kurang berlangsung dengan baik.
Sedang bagi pribadi TKI/W, diantara kerugian yang dapat menimpa adalah stress jauh dari keluarga. Bagi yang bekerja di rumah tangga sering kali mengalami kesepian. Selain itu, TKI/TKW sangat rentan diperlakukan secara tidak adil. Hasil temuan dari bebagai organisasi yang peduli dengan persolan TKI/TKW menyatakan bahwa ada 195 kasus yang dialami TKW di luar negeri. Padahal temuan ini hanya meliputi 3 desa saja, Gintung Ranjeng, Kalisapu dan Serang Wetan. Kasus yang paling banyak terjadi adalah tidak gaji (45 kasus). Sedangkan pemerkosaan dan pelecehan seksual menempati urutan kedua (29 kasus). Ini belum menghitung kasus-kasus di wilayah Cirebon lainnya, seperti di kecamatan Kaliwedi yang juga daerah dengan banyak sekali TKI/TKW.

Islam Menghargai Muslim dan Muslimah Bekerja
Ironisnya jika seorang perempuan menjadi TKW lalu mendapatkan masalah, kurang beruntung, bahkan mungkin merugi, maka tudingan lalu dengan mudah dituduhkan kepada si perempuan tersebut. ”Perempuan itu mestinya di rumah saja”. ”Mencari nafkah kan kewajiban suami”. Itulah kira-kira komentar sebagian masyarakat.
Sesungguhnya Islam menghargai amal shaleh, dalam arti menghargai pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, benar dan dengan niat yang benar pula, baik itu amal dunia maupun amal akhirat. Dalam hal bekerja, Islam sesungguhnya tidak hanya membatasi bagi laki-laki saja. Karena memang tidak ada ketentuan tegas (nash sharih) baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang melarang perempuan untuk bekerja.
Perempuan bekerja sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam Islam, karena memang sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Beberapa hadis meriwayatkan tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maupun untuk kepentingan sosial. Sebut saja misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam. Dan untuk itu terkadang ia melakukan perjalanan jauh. Di dalam kitab Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, hadits ke 1483 disebutkan bahwa, ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi SAW. Nabi dengan tegas mengatakan: “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”. Persoalannya adalah keamanan dan hak-hak asasi TKI/TKW rentan terancam. Sehingga meski banyak mendatangkan keuntungan, menjadi TKI/TKW juga mendatangkan banyak kerugian

Tanggungjawab Negara
TKI/TKW adalah penghasil devisa bagi negara. Setiap tahun ratusan juta dolar uang mereka kirimkan dari luar negeri. TKI/TKW juga adalah warga negara yang berhak atas jaminan keamanan dari negara. Dalam Pasal 21, UU No 37 Th 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, disebutkan bahwa: ”Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia”

Sebaiknya?
Berdasar untung ruginya, maka sebelum memutuskan bekerja di luar negeri sebaiknya; (a) Membandingkan peluang kerja yang ada di dalam dan luar negeri; (b) Mencari informasi dari berbagai sumber tentang kondisi kerja di dalam dan luar negeri; (c) Meminta pendapat dari teman, keluarga dan yang lainnya sebagai bahan pertimbangan. Keputusan akhir di tangan kita sendiri. Sebaiknya, bekerja di manapun harus direncanakan dengan matang. Wallahu a’lam bi al-shawab
________________
Tulisan ini dimuat di Buletin Jum’at Al-Basyar pada th. 2007

Hentikan Kekerasan Terhadap Buruh Migran

Ali Mursyid

Tokoh-tokoh agama (Islam) dan sebagian besar masyarakat Cirebon-Indramayu beranggapan bahwa sebagai istri perempuan diharamkan menjadi TKW. Ini merupakan kesimpulan penelitian yang dilakukan Nurruzaman dan diprakarsai Fahmina Institute pada th. 2005. Kesimpulan ini dibuktikan oleh beberapa komentar tokoh agama dan masyarakat Cirebon-Indramayu yang diwawancarai peneliti, diantaranya berikut ini:
“Kewajiban perempuan sebenarnya adalah di dalam rumah mengurus suami dan anak-anaknya”, tutur KH. Marzuki Ahal pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin. Menurutnya Islam melarang perempuan bekerja di luar rumah apalagi sampai jauh ke luar negeri. Kalaupun ke luar rumah, perempuan harus didampingi muhrimnya. Pandangan serupa juga disampaikan DR. H. Abdullah Ali, Dosen STAIN Cirebon, dia menyebutkan bahwa jika mengacu syariat Islam keberadaan TKW sangat bertentangan. Kedudukan seorang istri adalah ibu rumah tangga yang bila keluar rumah harus seizin suami. Seorang istri yang menjadi TKW, tidak menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Hal itu, menurutnya telah menyalahi aturan syariat Islam, karena telah mengganggu dan merusak keharmonisan hubungan dalam rumah tangga.
Di sisi lain, korban TKW yang ditipu, disiksa, dilecehkan dan diperlakukan tidak adil, maupun perempuan yang diprostitusikan dianggap sebagai ”takdir”dan sebuah resiko pekerjaan yang niscaya adanya. ”Sudah nasib mas, wong kerja, baka beli untung yah apes, kuwun kuh tadir” (sudah nasib mas, orang kerja kalau tidak untung yah apes, dan itulah tadir—red). ”Itu esiko pekerjaan”, ungkap Sunardi (38) warga desa Sukahaji Indramayu
Meski pandangan keagamaan yang dianut tokoh-tokoh agama dan masyarakat kurang berpihak pada nasib malang TKW, hasil penelitian menyebutkan bahwa bagi warga di beberapa wilayah di Cirebon, seperti desa Kroya dan desa Karanganyar kecamatan Panguragan atau desa Gintung kecamatan Ciwaringin, bekerja sebagai TKW adalah hal lumrah. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Indramayu. Di sana, beberapa wilayah ditengarai sebagai lokus trafficking, seperti kecamatan Bongas, Gabus, Cikedung, Sukra, dan Arahan.
Realitas derasnya arus perempuan menjadi TKW itu tidak bisa dihentikan dengan komentar-komentar tokoh agama yang memahami agama secara literal dan tidak member solusi apa-apa, kecuali sikap tidak setujunya itu. Apalagi selama ini peran ketokohan kyai dan ustadz di masyarakat sebatas pada wilayah moril-spirituil. Dan ironinya, meski tokoh-tokoh agama ini secara verbal mengharmkan perempuan menjadi TKW, dalam kenyataannya kerapkali kyai dimintai doa oleh para calon TKW agar mereka berangkat dan berhasil di perantauan.

Hentikan Kekerasan Agama Terhadap Buruh Migran
Sungguh meski bukan salah satu faktor yang utama, wacana keagamaan yang hanya dipahami secara dangkal dan literal, merupakan bentuk diskursus kekerasan terhadap perempuan buruh migran (TKW). Apa namanya kalau bukan kekerasan, perempuan yang mencoba mencari solusi perbaikan ekonomi dengan menjadi buruh migran, TKW yang rentan terjebak kekerasan dan perdagangan manusia, TKW yang tidak jarang dihianati suami-suaminya di tanah air, dengan seenaknya dituding oleh agama sebagai biang segala kerusakan keluarga. Lalu dari mana perempuan memenuhi kebutuhan mereka, jika pemerintah tidak menjamin? Jika suami, kerabat atau teman juga sama sekali tidak mampu? Mengapa perempuan yang harus disalahkan atau dilarang bekerja? Mengapa jika ada kerusakan keluarga, hanya perempuanlah yang disalahkan?
Sejatinya, agama, terutama Islam, tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja. Anjuran berusaha dan bekerja terdapat di banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bukankah di dalam Al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal saleh, yang berarti kerja-kerja positif, baik yang terkait dengan ibadah ilahiyah, maupun kerja-kerja kemanusiaan (ekonomi, politik dan lain sebagainya).
Khususnya bagi perempuan, jika ditelusuri lebih lanjut, fakta menunjukan bahwa tidak satu ayat atau hadits pun yang melarang perempuan bekerja atau berusaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan kerja-kerja yang dilakukan perempuan. Dua putri Nabi Syuaeb as yang menggembala kambing (Q.S., Al-Qashash, 23-28), Ratu Saba yang bekerja di bidang politik dan pemerintahan (Q.S., An-Naml: 20-24), dan juga perempuan yang bekerja di bidang pemintalan (Q.S., Alth-Thalaq: 6) dan jasa penysusan bayi (Q.S., An-Naml: 233). Dalam satu hadits, Nabi SAW menyarankan semua orang, laki-laki atau perempuan untuk bekerja dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, dan agar tidak tergantung pada orang lain. Sabda Nabi menyatakan: ”Demi dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutras tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya dari pada harus meminta-minta kepada orang lain..” (Bukhari, no hadits 1470).
Adapun anjuran agar perempuan didampingi mahram (kerabatnya), sebenarnya tidak bermaksud mengekang perempuan. Anjuran ini sebenarnya muncul dari sebuah teks hadits untuk melindungi perempuan dari berbagi tindak kejahatan yang mengancam. Bukan untuk menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Ketika Nabi SAW mengetahui ada seorang perempuan berjalan untuk haji sendirian dari Madinah ke Makkah, yang muncul byukanlah perintah larangan terhadap perempuan, tetapi perintah terhadap kerabatnya (suaminya) untuk menemani sampai selesai haji (Jami’ al-Ushûl, VI/18, hadits no. 3014)
Jadi, bila bicara jujur, maka sungguh agama tidak melarang atau mengharamkan perempuan menjadi TKW. Pelarangan, pengharaman perempuan menjadi TKW atau berbagai model pemojokannya, lebih merupakan kekerasan agama terhadap perempuan, yang harus segera dihentikan.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon, th. 2005)

Perlindungan Terhadap Buruh Migran Jangan Hanya Sebatas Wacana

Ali Mursyid

Hampir kita semua mengetahui, dibanding laki-laki, perempuan di negeri ini, biasanya menerima upah lebih rendah dan lebih banyak memasuki sektor kerja informal. Kerja pada sektor ini tidak jarang dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak memebutuhkan ketrampilan khusus. Kenyataan ini mendorong banyak perempuan untuk mencari kerja yang lebih menghasilkan uang, sekalipun harus ke luar negeri, meninggalkan anak dan suami. Para perempuan ini memilih untuk menjadi buruh migran (TKI/W), dengan harapan bisa lebih mendatangkan uang untuk kesejahteraan hidup keluarga, minimal membantu meringankan beban suami atau keluarganya.
Padahal, hampir kita semua mengetahui, kegiatan menjadi buruh migran, selain dapat menghasilkan uang lebih banyak, juga mendatangkan resiko terancam berbagai tindak kejahatan perdagangan manusia (trafficking). Trafficking ini dapat mengancam buruh migran sejak tahap rekruitmen, pra-keberangkatan (pelatihan atau penampungan), tahap keberangkatan, masa kerja, kepulangan dan pasca kepulangan. Meski kejahatan trafficking juga dapat dialami laki-laki, tetapi fakta yang kerap muncul menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi sasaran kejahatan ini.
Disamping rentan dengan berbagai resiko, buruh migran juga kurang mendapatkan perlindungan dan pembelaan yang tegas dari pemerintah, terutama jika mereka terjerat trafficking. Padahal, sesungguhnya para buruh migran ini adalah pahlawan devisa yang mampu mengalirkan uang triliyunan rupiah ke negeri ini. Tetapi pemerintah justru berpangku tangan, ketika mereka diperas, baik oleh para petugas maupun mereka yang berkecimpung dalam penyelenggaraan dan pengiriman buruh migran; calo-calo dan PJTKI-PJTKI yang nakal, atau pihak-pihak lainnya.
Data dari Women Research Institute menyebutkan bahwa, sekarang ini sekitar 72 % dari kurang lebih empat juta buruh migran adalah perempuan yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan rumah tangga. Artinya, sekitar tiga juta perempuan buruh migran sangat rentan terancam diskriminasi dan trafficking.
Namun, upaya melindungi buruh migran, terutama yang bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, masih sebatas wacana. Karena upaya ini dilakukan masih sebatas langkah awal printisan. Ini dilakukan antara lain melalui pembuatan nota kesepahaman dengan negara-negara penerima buruh migran.
Mestinya upaya perlindungan tersebut tidak hanya sebatas wacana, tetapi berupa langkah-langkah kongkrit untuk menghadirkan sistem perlindungan yang baik para buruh migran. Karena penempatan buruh migran, tanpa dilengkapi dengan sistem perlindungan yang baik, maka identik bahkan sama dengan kejahatan perbudakan. Dimana keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan perempuan buruh migran sepenuhnya tergantung pada lingkup privat keluarga tempatnya bekerja.
Akar persoalan buruh migran ini -bila dilihat dari sisi hukum legal- sangat terkait dengan UU No. 39 th. 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini menempatkan pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas dan sekaligus pelaksana. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah bisa menjadi pembina dan pengawas yang obyektif, jika pada saat yang sama juga memiliki kepentingan sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja? Inilah salah satu akar persoalan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Parahnya, perlindungan terhadap buruh migran dengan dasar UU di atas dijalankan sebagai program atau proyek belaka, dan bukan sebagai tanggung jawab negara kepada warganya, sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam UU No. 39 th. 2004, perlindungan hanya diberikan ketika buruh migran menghadapi persoalan. Itu pun hanya berlaku di negara penerima yang telah memiliki kesepakatan dengan negara kita, seperti Korea Selatan da Kuwait. Padahal, dalam konnteks buruh migran, perlindungan harus diberikan sejak rekruitmen, hingga tahap pascapemulangan.
Selain itu sikap pemerintah selama ini juga menjadikan buruh migran rentan menjadi sasaran trafficking. Pemerintah memperlakukan para buruh migran seolah-olah sebagai individu yang sekedar melakukan lawatan ke luar negeri. Seringkali, begitu mereka sampai di negara tempat kerja, tidak jelas lagi siapa pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi mereka. Pihak perwakilan pemerintah di luar negeri, Kedutaan Indonesia di sejumlah negara tempat perempuan buruh migran bekerja, kurang memiliki pranata yang cukup memadai untuk dapat melindungi mereka.
Hal lain yang tidak bisa dilewatkan sebagai sumber kejahatan terhadap buruh migran adalah masih rendahnya kwalitas pelatihan kerja yang mereka dapatkan. Perempuan yang bekerja di luar negeri mestinya dibekali dengan keahlian yang dibutuhkan di tempat kerja dan juga ketrampilan komunikasi praktis yang diperlukan. Namun, berdasarkan data dari Migran Care, biasanya PJTKI hanya memberi pelatihan kerja selama tiga minggu dari tiga bulan yang digraiskan dan diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigasi RI (Haryati, 2004). Kwalitas peserta pelatihan pun tentu saja asal-asalan. Sementara kontrol pemerintah akan proses dan materi pelatihan pun masih lemah (Sita Aripurnami, 2006). Sementara itu, dari kasus yang muncul, bahwa salah satu sumber kekerasan atau kejahatan lain yang dilakukan majikan atau pihak lain kepada buruh migran adalah kurangnya kapasitas kwalitas kerja buruh migran itu sendiri. Oleh karena itu, uapaya peningkatan kwalitas kerja buruh migran, terutama perempuan, menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan dalam rangka mencegah kejahatan dan kekerasan terhadap mereka.
Yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa upaya perlindungan buruh migran dari segala kejahatan trafficking dan kekerasan lainnya hendaknya tidak lagi menjadi cita-cita mulia saja, tetapi menjadi sesuatu yang segara terwujud.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon pada th. 2005)

KITAB KUNING MEMBUTUHKAN KERANGKA PEMBACAAN PRODUKTIF

Ali Mursyid

Kitab Kuning selama ini dikenal sebagai literatur (marâji’ atau ma`khadz) wajib bagi para santri di pesantren-pesantren nahdhiyin seluruh pelosok tanah air. Dengan Kitab Kuning kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan menjawab ‘hampir’ seluruh persoalan yang muncul dan berkembang. Bahkan jika kita rajin mengikuti halqah-halqah bahtsul masa`il kaum santri ‘salaf’ ini, maka sepertinya seluruh persoalan sudah ada dan sudah dijawab oleh Kitab Kuning. Ini bukan saja terkait dengan persoalan-persoalan masa lalu, tetapi bahkan isu-isu terkini pun ‘pembahasannya’ sudah ada, atau minimal diasumsikan ada. Sebut saja misalnya, persoalan polgami, dari mulai yang ekstrim pro-poligami dan yang ekstrim kontra-poligami, ada di kitab kuning. Persoalan formalisasi syariah, perdebatan pornoaksi-pornografi, persoalan sikap terhadap agama lain, dan lain sebagainya sudah ‘ada’ dalam kitab kuning.

Persoalan muncul kemudian, setelah ada dua kategori kitab kuning. Kitab mu’tabarah (valid untuk diruju’) dan kitab ghairu mu’tabarah (tidak valid diruju’). Sebagian besar pesantren nahdhiyin menggunakan pakem keagamaan yang sama, yaitu nada keberagamaan dalam pakem kitab kuning yang mu’tabarah. Lalu pembacaan tafsir-tafsir ajaran agama dalam berbagai disiplinnya, yang tadinya menghargai berbagai pandangan yang berbeda, kemudian hanya menghargai dan akrab dengan ajaran-ajaran versi kitab mu’tabarah. Bila ada kyai atau pesanren yang keluar dari pakem ini, habislah sudah otoritasnya.

Selain itu juga, pembatasan rujukan hanya pada kitab-kitab mu’tabarah, sejatinya lebih cenderung sebagai upaya ideologisasi, dan tidak murni kerja-kerja ilmiah per se. Karena itu kecenderungan demikian sungguh layak dicurigai. Ada agenda politis apa sesungguhnya di balik itu semua?

Kecenderungan yang tidak kondusif bagi pengembangan keilmuan pesantren tersebut, diperparah oleh ‘penuhanan’ metode pembacaan dan kejian keagamaan. Yakni penuhanan pada metode ‘ambil comot teks’ alias tekstualis. Dan juga metode gampang percaya pada ‘konon kata ulama’ alias taqlid qaulan. Akibatnya kitab kuning dibaca dan didekati sebagai korpus tertutup, yang ahistoris, dan anti kritik. Pembacaan dan pemahaman yang dilakukan pun cenderung berulang-ulang (mutakarrirah). Masalah apa pun yang muncul, segera dicarikan jawabannya dari kitab mu’tabarah begitu saja, tanpa membandingkan perbedaan konteks zamkani-nya. Padahal kitab-kitab itu berisi pandangan ulama yang ditawarkan untuk mneyelesaikan persoalan pada zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kekinian dan kedisinian.

Tawaran Pembacaan Produktif (Qira’ah Muntijah)

Penulis di sini menawarkan pembacaan terhadap kitab kuning sebagai sumber nilai keagamaan yang dianut masyarakat pesantren. Pembacaan dengan metodologi hermeneutik ini disebut juga –oleh Nashr Hamid Abu Zayd- sebagai pembacaan produktif (qira’ah muntijah) yang merupakan lawan dari pembacaan tidak produktif dan berulang-ulang (qira’ah mutakarrirah). Dengan qira’ah muntijah ini diharapkan dapat memberikan penafsiran-penafsiran dan berbagai kemungkinan baru yang bukan hanya kritis-evaluatif tetapi juga kritis-emansipatoris. Dengan qira’ah muntijah diharapkan penafsiran kegamaan bukan hanya dapat mengubah kata-kata (change of the word) tetapi juga dapat melakukan perubahan pada dunia realitas (change of the world)

Dalam membaca dan menganalisa teks, seperti kitab kuning, qira’ah muntijah mempunyai asumsi bahwa sesungguhnya teks telah selesai (al-nushush mutanahiyah), sedangkan realitas tidak pernah berhenti, bahkan terus berkembang (al-waqa’I gahiru mutanahiyah). Karena itu dalam membaca dan mencari makna serta siginfikansi (maghza) teks dengan realita kekinian, qira’ah muntijah mengenalkan beberapa istilah kunci, yakni the world of text, the world of author dan the world of audience.

Yang dimaksud dengan the world of text dalam konteks dunia pesantren adalah nilai-nilai ajaran keislaman klasik yang terdapat dalam kitab-kitab kuning (al-kutub al-mu’tabarah). Nilai-nilai luhur keislaman klasik inilah yang menjadi acuan dalam berfikir dan bertindak bagi masyarakat pesantren. Pesantren baik di Jawa, Madura atau bagian Indonesia lain rata-rata menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning. Kitab kuning sebagai teks, diajarkan, dan diwariskan kepada setiap generasi santri yang mesantren di pesantren-pesantren tersebut. Beratus-ratus, ribuan bahkan jutaan santri setiap tahunnya masuk dan keluar dari pesantren-pesantren itu hanya untuk mengaji kitab kuning. Kitab kuning menjadi semacam “teks sakral” yang menjadi trade mark bagi pesantren-pesantren, khususnya di Indonesia.

Meskipun demikian, the world of text tidak dapat berdiri sendiri dan terlepas dari realitas yang lain. Ia tidak dapat berdiri dan ada secara netral. The world of Text akan tampak seperti ruang yang kosong jika tidak dilihat dalam kerangka hitoris dan peradaban umat manusia yang lebih kongkrit. Oleh karena itu the world of text hanya dapat hidup, dimaknai, ditafsirkan, dibangun, dan ditafsirkan melalui the world of author (dunia pengarang, penafsir, penyusun konsep, perencana, pelaku atau aktor yang sesungguhnya berperan dalam masyarakat dan sejarah). Dalam konteks pesantren, the world of author tentu saja para penulis kitab, pensyarah, bahkan para kiai yang mencoba berijtihad sendiri dan hasil ijtihadnya disebar luaskan.

Jadi the world of text sesungguhnya dan selamanya tidak pernah terlepas dan selalu terjebak, serta terbelenggu oleh pemahaman dan konstruk berfikir dan konstruk pengetahuan para kiai yang menjadi penulis, pensyarah atau penafsir sebuah karya berupa kitab kuning. Makna yang dimunculkan dalam kitab kuning tidak mungkin terlepas dari kiai yang mengkajinya. Sedangkan pemahaman pengarang, pensyarah atau para penafsir kitab-kitab kuning itu sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh konteks zaman di mana ia hidup. Uraian, pemaknaan dan pemahaman pengarang era agraris akan berbeda jika dibandingkan dengan uraian pengarang era industri dan begitu pula akan berbeda dengan era globalisasi budaya dan agama dan begitu seterusnya. Uraian dalam tradisi ‘lisan” akan berbeda dari tradisi “tulisan”. Tradisi manuskrip akan berbeda pula dari tradisi mesin cetak, dan komputer serta internet.

Pada gilirannya, pemahaman dan penafsiran sang pengarang pada era tertentu dapat saja “membeku” dan berubah menjadi begitu hegemonik dan dominatif. Hal demikian dapat terjadi secara alami dan karena adanya kepentingan-kepentingan lain yang melekat kemudian. Proses membaku dan membekunya sebuah pemahaman adalah proses alami yang dialami setiap disiplin ilmu. Semua disiplin keilmuan tidak akan lepas dari “hukum budaya” ini, baik fiqih, hukum, sosial, budaya, politik tasawuf, kalam , filsafat, pendidikan, ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu humaniora, teologi, ilmu-ilmu agama dan begitu seterusnya.

Ketika telah terjadi pembakuan dan pembekuan, hegemoni, dominasi, dan bahkan ortodoksi, maka seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan pengalaman manusia itu sendiri, akan muncul dengan sendirinya pemahaman baru yang mempertanyakan “keabsahan” penafsiran dan pemahaman yang disusun, dibakukan dan dibekukan oleh generasi the world of author. Pertanyaan yang kritis akan muncul ke permukaan dengan sendirinya karena terjadi anomali (ketidaktepatan-ketidaktepatan), dan krisis relevansi yang melekat pada bentuk dan jenis pemikiran, pemahaman dan penafsiran terdahulu yang terlanjur dibakukan dan dibekukan oleh masyarakat. Hal tersebut terjadi secara wajar dan alami, tanpa harus direkayasa oleh siapa pun. Lebih-lebih setelah berkembangnya ilmu pengetahuan yang cukup spektakuler dalam berbagai bidang.

Yang perlu dicatat adalah bahwa pertanyaan kritis yang diajukan kepada the world of author tidak datang dari the world of text, tetapi datang dari kutub ketiga, yakni the world of audience (dunia pendengar, pengguna, umat dan masyarakat secara luas), dan seakligus juga dunia kritikus sosial-budaya dan kritikus sosial-keagamaan. The world of audience disamping punya akses dan dapat berdialog langsung dengan dunia pengarang (the world of author), ia juga punya akses langsung untuk dapat memahami dan menafsirkan the word of text secara mandiri. Jika saja mereka yang berkecimpung dan bergelut dalam the world of audience ini mempunyai kerangka berfikir, kerangka teori dan metodologi yang lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pada saatnya, pemikiran yang dilontarkan dan dipopulerkan oleh the world of audience, cepat atau lambat, akan dapat menggeser dominasi dan hegemoni pemikiran yang selama ini dimonopoli oleh the world of author. Pada saatnya kelak, the world of audience akan berpindah menjadi menjadi the world of author yang dapat memproduksi wacana keberagamaan sendiri.

Yang menarik adalah bahwa perpindahan posisi (shifting position) dari the world of audience menjadi the world of author dapat berlangsung setiap saat, tergantung pada persoalan dan krisis relevansi yang sedang dihadapi oleh umat beragama, dalam hal ini komunitas pesantren. Namun ada kalanya proses perpindahan itu berjalan begitu alot, bahkan juga membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit.

Demikianlah dengan metode pembacaan qira’ah muntijah diharapkan nilai-nilai kitab kuning dapat berkembang. Karena dengan qira’ah muntijah yang berperan bukan hanya author yang sebelumnya telah diakui otoritasnya dalam memproduksi wacana keagamaan, tetapi juga audience, yang dapat berupa kiai muda atau santri atau bahkanpun masyarakat yang mampu meproduksi nila-nilai luhur keagamaan untuk kehidupan sehari-hari.
Wallahu A’lam bi al-shawab

(Tulisan ini didekasikan untuk diskusi internal Fahmina Institute)

POTRET BURAM MADRASAH KAMPUNG KITA

Ali Mursyid

“Kalau madrasah ini diperbaiki, baik sarana prasarana maupun managerial pengelolaannya, tentu membutuhkan biaya besar. Ujung-ujungnya madrasah ini menjadi mahal. Dan orang-orang miskin menjadi sulit sekolah”, kata seorang kepala Madrasah Aliyah, ketika ditanyakan berbagai kemungkinan perbaikan pengelolaan madrasahnya. Tragis memang nasib madrasah (sekolah agama) khususnya yang terletak perkampungan. Di satu sisi ia berkewajiban meningkatkan mutu pendidikannya dari waktu ke waktu, di sisi lain ia mesti melayani kebutuhan kaum mustadh’afin akan pendidikan. Di satu sisi madarasah ingin melengkapi sarana prasarana dan memperbaiki managerial pengelolaannya, di sisi lain ia terbentur pada persoalan dana. Dan rasanya tidak tega, kalau mesti membebani para siswa dari keluarga-keluarga yang makan saja susah. Soalnya kemudian, adakah pendidikan yang bermutu bagi kaum mustadh’afin?

Akar Masalah
Sekarang ini, hampir semua orang membenarkan bahwa pendidikan bermutu mesti mahal. Para orang tua, khususnya di kota, rela menguras isi kantong demi memasukkan anaknya di sekolah-sekolah ‘bonafid’. Anggapan bahwa pendidikan bermutu mestilah mahal terus menguat seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Sejatinya, anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Fakta membuktikan, asalkan ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat, pendidikan murah dan bermutu bisa diselenggarakan. Ini yang dicontohkan oleh SMP Alternatif Situbondo. Dengan SPP siswa Rp. 10.000,- perbulan --itu pun boleh saja gratis--sekolah ini telah menempati rengking teratas di Jawa Timur. Bahkan Media Kompas menjulukinya sebagai sekolah global, sekolah berkelas dunia meski terletak di desa Kalibening Situbondo. Bukan hanya itu, dengan biaya pendidikan yang relatif murah, para siswa SMP Alternatif itu dapat menikmati sarana pendidikan layaknya sekolah-sekolah mahal, seperti mengakses internet setiap hari secara gratis. Itu semua terselenggara atas keinginan dan upaya sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah untuk menghadirkan pendidikan murah dan bermutu. Jadi akar masalah yang dilematik bagi madrasah atau pendidikan bermutu bagi mustadh’afin adalah tidak adanya upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Tanggungjawab Pemerintah
Sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya perbaikan pendidikan, baik upaya peningkatan mutu ataupun peningkatan kesempatan bagi rakyat banyak untuk mengenyamnya. Sayangnya itu dilakukan secara tidak berkesinambungan dan tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya. Sebut saja kebijakan mengenai kurikulum, baik madarasah maupun sekolah pada umumnya, selalu saja berganti mengikuti pergantian mentri. Ironinya ketika madrasah-madrasah di pedesaan baru mulai melaksanakan kebijakan ‘Tuan Mentri’--yang tentu saja setelah bertahun-tahun kebijakan itu diintruksikan dari departemen agama--eh, sebentar kemudian Pemilu, ganti mentri, dan ganti pula kebijakannya.
Contoh ketidaksinambungan perhatian pemerintah pada pendidikan adalah soal minimnya alokasi dana bagi dunia pendidikan. Kalaupun ada upaya peningkatan dana pendidikan maka itupun dilakukan sangat politis dan knrtoversial, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Sebut saja kebijakan dana kompensasi kenaikan BBM bagi pendidikan, selain kontrovesial, politis, prosedural juga hanya bersifat karitatif dan tidak menyelesaikan masalah.
Khususnya bagi madrasah di desa, selain siswa, para gurunya juga sungguh memprihatinkan. Dengan honor minim--itu pun kalau ada--para guru madrasah mencoba terus mengabdikan diri untuk mengajar. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, para guru ini biasanya melakukan usaha-usaha lain, yang terkadang sangat menyita waktu dan perhatiannya. Perhatian dan pengabdiannya ke madrasah pun bersifat minimal, sekedar mengajar saja. Soal maju-mundurnya madrasah, peningkatan kwlitas lulusan dan yang semacamnya, tidak jadi perhatian atau bagian dari pengabdiannya. Mutu lulusan madrasah pun akhirnya sulit bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum. kebijakan pemerintah di dunia pendidikan belum menyentuh akar persoalan semacam ini.

Nilai-Nilai Yang Terlupakan di Masyarakat
Islam mengajarkan bahwa diantara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Artinya kewajiban pendidikan anak atau generasi penerus terbebankan pertama kali pada orang tua, bukan pada sekolah. Tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap dunia pendidikan adalah primer, sedangkan sekolah hanya sekunder. Ini yang sekarang terlupakan di masyarakat bahkan cenderung terbalik, sekolah adalah segalanya dan masyarakat atau orang tua nomor dua saja dalam tanggungjawab mendidik. Karenanya kemudian perhatian masyarakat (orang tua) terhadap mutu pendidikan anaknya, sekarang ini minim saja, karena hampir semua dibebankan pada sekolah. Celakanya sekolahnya tidak bermutu, kecuali dengan biaya relatif mahal. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam perbaikan pendidikan (madrasah) menjadi sangat signifikan. Pelibatan yang dimaksud adalah pelibatan yang sesungguhnya, yang bukan hanya ketika hendak butuh persetujuan kenaikan SPP dan lainnya. Pelibatan masyarakat ini bisa dilakukan dalam berbagai aspek, seperti dalam menyusun visi madrasah dan peningkatan mutu pembelajaran melalui peningkatan kesejahteraan pengelola serta para gurunya.
Nilai lain yang mulai terlupakan di masyarakat adalah nilai yang menyatakan bahwa mencari ilmu, belajar dan sekolah adalah kewajiban agama. Di masyarakat pedesaan, orang terkadang merasa sudah paling Islami kalau sudah naik haji. Puncak keislaman seorang muslim lalu diukur dari naik haji atau tidak, meski pendidikan di masyarakat sekitarnya terlantar. Masyarakat pun nampak lebih bergairah membangun masjid-masjid baru atau sangat meriah ketika menghantar tetangganya yang naik haji, tetapi tak mau tahu nasib madrasah di desanya yang kembang kempis.
Islam menggariskan tujuan diselenggarakannya pencarian ilmu atau dunia pendidikan. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang jadi pepujian mushola dikatakan bahwa: “Nuntut ilmu sira kabeh kewajiban, yen tinggal sira kabeh oli siksaan. Sijiniyat negakna agama Islam. Loro niyat ngurip-ngurip agama Pengeran. Telu niat ngilangna kebodoan badan. Papat ngulati keridoan Pengeran. Kelimane Nyukuri warase badan. Nenem nyukuri akal kelawan pikiran. (Belajar itu wajib hukumnya, berdosa kalau tidak dilaksanakan. Ini bertujuan untuk; a. Menegakkan agama; b. Mengharumkan syiar agama; c.Mencerdaskan masyarakat dan generasi penerus; d. Mencari ridha Tuhan dengan memanfaatkan ilmu bagi sebaik-baik kehidupan manusia; e. Mengoptimalkan anugrah kesehatan dan segala potensi fisik manusia yang ada; f. Mengoptimalkan potensi rasional dan intelektual untuk berbagai kemajuan). Jika demikian mulia tujuan mencari ilmu yang diajarkan Islam, maka penyelenggaraan pendidikan, seperti madrasah mesti diselenggrakan secara serius dengan perhatian dan dukungan pemerintah serta masyarakat yang memadai.

(Tulisan ini dimuat di Buletin Jum’at Al-Basyar pada tahun 2005)