Tuesday, May 15, 2007

Urgensi Penguatan Civic Education Bagi Kalangan Madrasah

Ali Mursyid

Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran-ajaran dasar Islam. Secara penjenjangan, madrasah terdiri dari jenjang ibtidâiyah (dasar), tsanâwiyah (menengah) dan âliyah (atas). Perbedaan yang mendasar antara madrasah dengan pendidikan umum adalah titik berat pendidikan madrasah pada ilmu-ilmu dasar Islam yang ditunjukkan dengan pembobotan yang cukup signifikan bagi pelajaran mengenai ilmu dasar Islam dalam kurikulum pendidikan madrasah. Apa yang dipelajari di madrasah tidak jauh berbeda dengan apa yang dipelajari di pesantren. Yang membedakannya dengan pesantren adalah sistem, administrasi, dan penjenjangannya. Madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem pendidikan Pesantren.

Islam--sebagai basis nilai, ajaran serta spirit dari berdiri dan diselenggarakannya pendidikan madrasah--pada tataran realitas menunjukkan dua cara pemahaman yang berbeda. Di satu sisi Islam dipahami sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian (salâm), demokrasi (syûra), sikap toleransi (tasâmuh), pluralisme (ta’addudiyah), keadilan (‘adalah), dan cinta tanah air (hubb al-wathân). Konsep Islam tentang pergaulan sesama manusia – dalam cara pandang ini – direpresentasikan oleh nilai-nilai luhur yang terbagi menjadi tiga kategori: Pertama, ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan sesama umat Islam. Kedua, ukhuwah basyariyah atau insâniyah, yaitu persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Ketiga, ukhuwah wathâniyah, persaudaraan atas dasar bangsa, negara dan tanah air.

Dalam-dalam teks-teks Islam klasik, dinyatakan bahwa Syari’ah Islam diterapkan dengan tujuan-tujuan mulia berikut: (1) Menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din); (2) Menjamin kebebasan berfikir dan berpendapat (hifdz al-‘aql); (3) Menjamin kesehatan reproduksi (hifdz al-nasl)’ (4) Menjamin kebebasan pasar dan kebebasan finansial (hifdz al-mâl); (5) Menjamin kebebasan dan harga diri indifidu (hifdz al-‘irdh). Konsep seperti ini tentunya bisa menjadi modal pengetahuan dan modal sosial yang sangat berharga untuk menciptakan masyarakat berperadaban di Indonesia.

Sementara itu, peradaban Islam juga mewariskan Piagama Madinah. Piagam Madinah ini – yang konstitusi pertama dalam Islam—mengarahkan masyarakat Madinah kepada sebuah model relasi berbasiskan konsensus, kesepakatan. Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah berdasarkan realitas bersama berbagai ummat yang ada saat itu – Islam, Nasrani dan Yahudi, bahwa mereka sama-sama warga Madinah, ahl al-madînah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk saling melindungi dan membela Madinah sebagai negeri bersama. Praktek sosial Islam yang ditunjukkan oleh masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, menegaskan spirit Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Spirit inilah yang kiranya perlu diaktualkan pada konteks Indonesia masa kini.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, terdapat pemahaman Islam yang mengesankan fenomena radikalisme agama – tidak toleran, jauh dari kedamaian, yang titik ekstrimnya berbentuk kekerasan. Fenomena ini yang ditengarai mulai berbenih di Indonesia, seiring munculnya berbagai pemboman yang dikait-kaitkan dengan gerakan keagamaan tertentu. Pemahaman yang mendorong lahirnya kekerasan berwajah agama ini, sejatinya bukanlah arus utama pada konteks masyarakat beragama di Indonesia. Namun demikian, patutlah ia menjadi keprihatinan bersama yang harus kita carikan solusinya.

Pada titik inilah, kita bisa melihat bahwa madrasah bisa menjadi salah satu potensi sosial yang sangat besar. Di Jawa Barat sendiri jumlah madrasah cukup signifikan. Baik madrasah yang dikelola oleh pemerintah disebut madrasah negeri dan madrasah yang dikelola oleh swasta yang disebut madrasah swasta. Hal ini terkait dengan agama yang mayoritas dipeluk oleh warga Jawa Barat, yaitu agama Islam. Mengingat jumlahnya yang signifikan, maka menjadi sangat strategis untuk memposisikan pendidikan madrasah sebagai bagian dari gerakan membangun masyarakat Islam Indonesia yang berperadaban. Dalam bahasa yang lebih sederhana, madrasah potensial untuk diarahkan menjadi pilar penyebaran kesadaran konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada umat Islam. Di mana, salah satu indikasinya adalah kesediaan berbagi dan bekerjasama dengan umat lain dalam menciptakan realitas sosial yang lebih baik. Dan ide-ide ini, salah satunya bisa direalisasikan melalui peningkatan mutu pendidikan kewargaan (civic education) di madrasah. Melalui pendidikan kewargaan (civic education), diharapkan para lulusan berbagai institusi pendidikan di Indonesia (khususnya madrasah), bisa memiliki kerangka berpikir demokratis, berkesadaran hukum, dan punya empati sosial dalam kerangka keindonesiaan yang majemuk.


Civic Education:

Perlu Pengembangan Pada Isu-Isu Strategis

Sejauh ini, kita bisa menemukan bahwa pendidikan kewargaan (civic education) telah menjadi bagian dari kurikulum formal di berbagai sekolah yang ada di Indonesia, baik yang bernaung di bawah Diknas (baca: sekolah) maupun yang bernaung di bawah Depag RI (baca: madrasah), dalam bentuk mata pelajaran PPKN. Perkembangan ini tentunya sangat positif, terutama jika dikaitkan dengan realitas madrasah yang merupakan bagian signifikan dari sistem pendidikan di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan kewargaan (baca: PPKN) bukanlah materi asli yang sudah sejak dahulu ada dalam kurikulum madrasah. Terutama misalnya jika dibandingkan dengan materi-materi seperti aqidah, akhlaq, ilmu Qur’an, ilmu hadits, dan semacamnya. Keberadaan pendidikan kewargaan dalam kurikulum madrasah, merupakan bagian dari pencarian model pendidikan yang paling tepat untuk menumbuhkan kesadaran keindonesiaan yang bertaut dengan kesadaran global.

Pendidikan kewargaan ini tampaknya merupakan semacam revisi atau koreksi terhadap mata pelajaran PMP atau PSPB yang di rezim pemerintahan pra-reformasi, dinilai lebih sebagai sarana konsolidasi politik untuk mengukuhkan kekuasaan yang otoriter. Dibandingkan misalnya, untuk melahirkan masyarakat kritis yang memiliki kesadaran dan kapasitas untuk melakukan perbaikan sosial di tengah kondisi Indonesia yang majemuk.

Karena civic education bukan merupakan sesuatu yang genuine atau produk asli kurikulum madrasah, kiranya kita bisa menangkap beberapa persoalan atau issue strategis yang belum tereksplorasi secara relatif tuntas. Pertama, menyangkut keselarasan. Adakah misalnya, keselarasan antara prinsip, nilai dan ajaran yang dimuat dalam pendidikan kewargaan dengan prinsip, nilai dan ajaran Islam yang diyakini dan menjadi ruh madrasah (yang biasanya berhimpitan atau menjadi bagian dari pesantren)? Kedua, menyangkut problema metodologi pengajaran. Apakah metode yang dikembangkan oleh guru-guru di madrasah, telah cukup memadai sehingga keluaran atau output pendidikan di madrasah memiliki cara berpikir dan perilaku sosial yang mendekati idealitas versi civic education?

Monday, May 14, 2007

Untung Rugi Menjadi TKI/TKW

Ali Mursyid

Tetangga rumahku di kampung, Sopiyah (23 th), pergi ke Saudi untuk bekerja menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Setelah dua tahun, ia pulang dan memperbaiki rumah orang tuanya menjadi lebih besar dan berkeramik. Beberapa saat kemudian ia berangkat lagi ke luar negeri untuk melakukan pekerjaan yang sama. Mungkin karena sudah merasakan keberhasilan dan ingin mencoba lagi dan ia merasa kalau bekerja di sini gajinya tidak seberapa.
Eti (32 th), saudaraku, pergi jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Timur Tengah. Beberapa waktu keluarga hilang kontak dengannya. Tetapi Setelah beberapa tahun, pulang kampung dengan membawa masalah hutang. Berharap untung, malah ia menjadi buntung.
Titi (28 th), teman sekolahku, jadi TKW di Abu Dhabi. Setelah dua tahun ia pulang bawa uang banyak, tetapi juga bawa anak. Orang tuanya seneng tetapi sekaligus juga menanggung malu.
Sukron (30 th), teman karibku yang sopir angkot, setelah istrinya jadi TKW, ia ogah-ogahan nyupir. Tiap bulan ia terima uang kiriman dari istrinya. Setelah setahun ditinggal istri, saya dengar malah ia kawin lagi dengan perawan tetangga desa sebelah.

Keuntungan
Bekerja di luar negeri menjadi TKI/TKW, memang menjanjikan berbagai keuntungan. Dari sisi finansial (keuangan), bekerja di luar negeri menjanjikan gaji besar dan lumayan. Di masyarakat (pedesaan khususnya) bekerja di luar negeri dapat meningkatkan status sosial. Karena dengan uang kiriman TKI/TKW, keluarga di rumah dapat dengan mudah membangun rumah keramik, membeli motor baru, menyekolahkan anak hingga tamat, atau membuka usaha sendiri dan lain-lainnya.
Semantara bagi TKI/TKW, bekerja di luar negeri, selain dapat menambah ketrampilan dan pengalaman, juga dapat menambah kepercayaan diri. Dengan bekerja di luar negeri seorang TKI/TKW semakin dihargai di dalam keluarga, karena biasanya merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Kerugian
Selain berbagai keuntungan, tidak sedikit pula kerugian akibat bekerja di luar negeri. Dari sisi finansial (keuangan), biaya bekerja di luar negeri, jika dihitung dengan teliti, lebih tinggi dari yang dibayangkan. Banyak biaya yang keluar justru bukan yang diperhitungkan semula, seperti biaya perjalanan, pembuatan passport dan dokumen-dokumen lainnya. Karena itu banyak calon TKI/W terpaksa hutang ke sana ke mari agar cepat berangkat. Dan sebagai akibatnya banyak di antara mereka yang terjerat hutang kepada agen. Jeratan hutang ini berpotensi menggebiri hak-hak TKI/TKW akan upah yang layak
Dari sisi sosial, bekerja di luar negeri dapat menyebabkan keretakan perkawinan. Meski belum ada data penelitian, tetapi tidak sedikit perkawinan buruh TKI/W retak, entah karena suami yang tidak tahan ditinggal lama istri, atau karena istri yang menyeleweng. Atau bahkan karena pengaruh keluarga kedua belah pihak. Sementara itu perpisahan anak dengan ibunya dapat mengakibatkan prestasi anak di sekolah menurun. Pemeliharaan dan pendidikan anak di rumah pun kurang berlangsung dengan baik.
Sedang bagi pribadi TKI/W, diantara kerugian yang dapat menimpa adalah stress jauh dari keluarga. Bagi yang bekerja di rumah tangga sering kali mengalami kesepian. Selain itu, TKI/TKW sangat rentan diperlakukan secara tidak adil. Hasil temuan dari bebagai organisasi yang peduli dengan persolan TKI/TKW menyatakan bahwa ada 195 kasus yang dialami TKW di luar negeri. Padahal temuan ini hanya meliputi 3 desa saja, Gintung Ranjeng, Kalisapu dan Serang Wetan. Kasus yang paling banyak terjadi adalah tidak gaji (45 kasus). Sedangkan pemerkosaan dan pelecehan seksual menempati urutan kedua (29 kasus). Ini belum menghitung kasus-kasus di wilayah Cirebon lainnya, seperti di kecamatan Kaliwedi yang juga daerah dengan banyak sekali TKI/TKW.

Islam Menghargai Muslim dan Muslimah Bekerja
Ironisnya jika seorang perempuan menjadi TKW lalu mendapatkan masalah, kurang beruntung, bahkan mungkin merugi, maka tudingan lalu dengan mudah dituduhkan kepada si perempuan tersebut. ”Perempuan itu mestinya di rumah saja”. ”Mencari nafkah kan kewajiban suami”. Itulah kira-kira komentar sebagian masyarakat.
Sesungguhnya Islam menghargai amal shaleh, dalam arti menghargai pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, benar dan dengan niat yang benar pula, baik itu amal dunia maupun amal akhirat. Dalam hal bekerja, Islam sesungguhnya tidak hanya membatasi bagi laki-laki saja. Karena memang tidak ada ketentuan tegas (nash sharih) baik dari Al-Qur’an maupun Hadits yang melarang perempuan untuk bekerja.
Perempuan bekerja sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam Islam, karena memang sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Beberapa hadis meriwayatkan tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maupun untuk kepentingan sosial. Sebut saja misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam. Dan untuk itu terkadang ia melakukan perjalanan jauh. Di dalam kitab Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, hadits ke 1483 disebutkan bahwa, ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi SAW. Nabi dengan tegas mengatakan: “Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan”. Persoalannya adalah keamanan dan hak-hak asasi TKI/TKW rentan terancam. Sehingga meski banyak mendatangkan keuntungan, menjadi TKI/TKW juga mendatangkan banyak kerugian

Tanggungjawab Negara
TKI/TKW adalah penghasil devisa bagi negara. Setiap tahun ratusan juta dolar uang mereka kirimkan dari luar negeri. TKI/TKW juga adalah warga negara yang berhak atas jaminan keamanan dari negara. Dalam Pasal 21, UU No 37 Th 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, disebutkan bahwa: ”Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia”

Sebaiknya?
Berdasar untung ruginya, maka sebelum memutuskan bekerja di luar negeri sebaiknya; (a) Membandingkan peluang kerja yang ada di dalam dan luar negeri; (b) Mencari informasi dari berbagai sumber tentang kondisi kerja di dalam dan luar negeri; (c) Meminta pendapat dari teman, keluarga dan yang lainnya sebagai bahan pertimbangan. Keputusan akhir di tangan kita sendiri. Sebaiknya, bekerja di manapun harus direncanakan dengan matang. Wallahu a’lam bi al-shawab
________________
Tulisan ini dimuat di Buletin Jum’at Al-Basyar pada th. 2007

Hentikan Kekerasan Terhadap Buruh Migran

Ali Mursyid

Tokoh-tokoh agama (Islam) dan sebagian besar masyarakat Cirebon-Indramayu beranggapan bahwa sebagai istri perempuan diharamkan menjadi TKW. Ini merupakan kesimpulan penelitian yang dilakukan Nurruzaman dan diprakarsai Fahmina Institute pada th. 2005. Kesimpulan ini dibuktikan oleh beberapa komentar tokoh agama dan masyarakat Cirebon-Indramayu yang diwawancarai peneliti, diantaranya berikut ini:
“Kewajiban perempuan sebenarnya adalah di dalam rumah mengurus suami dan anak-anaknya”, tutur KH. Marzuki Ahal pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin. Menurutnya Islam melarang perempuan bekerja di luar rumah apalagi sampai jauh ke luar negeri. Kalaupun ke luar rumah, perempuan harus didampingi muhrimnya. Pandangan serupa juga disampaikan DR. H. Abdullah Ali, Dosen STAIN Cirebon, dia menyebutkan bahwa jika mengacu syariat Islam keberadaan TKW sangat bertentangan. Kedudukan seorang istri adalah ibu rumah tangga yang bila keluar rumah harus seizin suami. Seorang istri yang menjadi TKW, tidak menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Hal itu, menurutnya telah menyalahi aturan syariat Islam, karena telah mengganggu dan merusak keharmonisan hubungan dalam rumah tangga.
Di sisi lain, korban TKW yang ditipu, disiksa, dilecehkan dan diperlakukan tidak adil, maupun perempuan yang diprostitusikan dianggap sebagai ”takdir”dan sebuah resiko pekerjaan yang niscaya adanya. ”Sudah nasib mas, wong kerja, baka beli untung yah apes, kuwun kuh tadir” (sudah nasib mas, orang kerja kalau tidak untung yah apes, dan itulah tadir—red). ”Itu esiko pekerjaan”, ungkap Sunardi (38) warga desa Sukahaji Indramayu
Meski pandangan keagamaan yang dianut tokoh-tokoh agama dan masyarakat kurang berpihak pada nasib malang TKW, hasil penelitian menyebutkan bahwa bagi warga di beberapa wilayah di Cirebon, seperti desa Kroya dan desa Karanganyar kecamatan Panguragan atau desa Gintung kecamatan Ciwaringin, bekerja sebagai TKW adalah hal lumrah. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Indramayu. Di sana, beberapa wilayah ditengarai sebagai lokus trafficking, seperti kecamatan Bongas, Gabus, Cikedung, Sukra, dan Arahan.
Realitas derasnya arus perempuan menjadi TKW itu tidak bisa dihentikan dengan komentar-komentar tokoh agama yang memahami agama secara literal dan tidak member solusi apa-apa, kecuali sikap tidak setujunya itu. Apalagi selama ini peran ketokohan kyai dan ustadz di masyarakat sebatas pada wilayah moril-spirituil. Dan ironinya, meski tokoh-tokoh agama ini secara verbal mengharmkan perempuan menjadi TKW, dalam kenyataannya kerapkali kyai dimintai doa oleh para calon TKW agar mereka berangkat dan berhasil di perantauan.

Hentikan Kekerasan Agama Terhadap Buruh Migran
Sungguh meski bukan salah satu faktor yang utama, wacana keagamaan yang hanya dipahami secara dangkal dan literal, merupakan bentuk diskursus kekerasan terhadap perempuan buruh migran (TKW). Apa namanya kalau bukan kekerasan, perempuan yang mencoba mencari solusi perbaikan ekonomi dengan menjadi buruh migran, TKW yang rentan terjebak kekerasan dan perdagangan manusia, TKW yang tidak jarang dihianati suami-suaminya di tanah air, dengan seenaknya dituding oleh agama sebagai biang segala kerusakan keluarga. Lalu dari mana perempuan memenuhi kebutuhan mereka, jika pemerintah tidak menjamin? Jika suami, kerabat atau teman juga sama sekali tidak mampu? Mengapa perempuan yang harus disalahkan atau dilarang bekerja? Mengapa jika ada kerusakan keluarga, hanya perempuanlah yang disalahkan?
Sejatinya, agama, terutama Islam, tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja. Anjuran berusaha dan bekerja terdapat di banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bukankah di dalam Al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal saleh, yang berarti kerja-kerja positif, baik yang terkait dengan ibadah ilahiyah, maupun kerja-kerja kemanusiaan (ekonomi, politik dan lain sebagainya).
Khususnya bagi perempuan, jika ditelusuri lebih lanjut, fakta menunjukan bahwa tidak satu ayat atau hadits pun yang melarang perempuan bekerja atau berusaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan kerja-kerja yang dilakukan perempuan. Dua putri Nabi Syuaeb as yang menggembala kambing (Q.S., Al-Qashash, 23-28), Ratu Saba yang bekerja di bidang politik dan pemerintahan (Q.S., An-Naml: 20-24), dan juga perempuan yang bekerja di bidang pemintalan (Q.S., Alth-Thalaq: 6) dan jasa penysusan bayi (Q.S., An-Naml: 233). Dalam satu hadits, Nabi SAW menyarankan semua orang, laki-laki atau perempuan untuk bekerja dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, dan agar tidak tergantung pada orang lain. Sabda Nabi menyatakan: ”Demi dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutras tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya dari pada harus meminta-minta kepada orang lain..” (Bukhari, no hadits 1470).
Adapun anjuran agar perempuan didampingi mahram (kerabatnya), sebenarnya tidak bermaksud mengekang perempuan. Anjuran ini sebenarnya muncul dari sebuah teks hadits untuk melindungi perempuan dari berbagi tindak kejahatan yang mengancam. Bukan untuk menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Ketika Nabi SAW mengetahui ada seorang perempuan berjalan untuk haji sendirian dari Madinah ke Makkah, yang muncul byukanlah perintah larangan terhadap perempuan, tetapi perintah terhadap kerabatnya (suaminya) untuk menemani sampai selesai haji (Jami’ al-Ushûl, VI/18, hadits no. 3014)
Jadi, bila bicara jujur, maka sungguh agama tidak melarang atau mengharamkan perempuan menjadi TKW. Pelarangan, pengharaman perempuan menjadi TKW atau berbagai model pemojokannya, lebih merupakan kekerasan agama terhadap perempuan, yang harus segera dihentikan.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon, th. 2005)

Perlindungan Terhadap Buruh Migran Jangan Hanya Sebatas Wacana

Ali Mursyid

Hampir kita semua mengetahui, dibanding laki-laki, perempuan di negeri ini, biasanya menerima upah lebih rendah dan lebih banyak memasuki sektor kerja informal. Kerja pada sektor ini tidak jarang dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak memebutuhkan ketrampilan khusus. Kenyataan ini mendorong banyak perempuan untuk mencari kerja yang lebih menghasilkan uang, sekalipun harus ke luar negeri, meninggalkan anak dan suami. Para perempuan ini memilih untuk menjadi buruh migran (TKI/W), dengan harapan bisa lebih mendatangkan uang untuk kesejahteraan hidup keluarga, minimal membantu meringankan beban suami atau keluarganya.
Padahal, hampir kita semua mengetahui, kegiatan menjadi buruh migran, selain dapat menghasilkan uang lebih banyak, juga mendatangkan resiko terancam berbagai tindak kejahatan perdagangan manusia (trafficking). Trafficking ini dapat mengancam buruh migran sejak tahap rekruitmen, pra-keberangkatan (pelatihan atau penampungan), tahap keberangkatan, masa kerja, kepulangan dan pasca kepulangan. Meski kejahatan trafficking juga dapat dialami laki-laki, tetapi fakta yang kerap muncul menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi sasaran kejahatan ini.
Disamping rentan dengan berbagai resiko, buruh migran juga kurang mendapatkan perlindungan dan pembelaan yang tegas dari pemerintah, terutama jika mereka terjerat trafficking. Padahal, sesungguhnya para buruh migran ini adalah pahlawan devisa yang mampu mengalirkan uang triliyunan rupiah ke negeri ini. Tetapi pemerintah justru berpangku tangan, ketika mereka diperas, baik oleh para petugas maupun mereka yang berkecimpung dalam penyelenggaraan dan pengiriman buruh migran; calo-calo dan PJTKI-PJTKI yang nakal, atau pihak-pihak lainnya.
Data dari Women Research Institute menyebutkan bahwa, sekarang ini sekitar 72 % dari kurang lebih empat juta buruh migran adalah perempuan yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan rumah tangga. Artinya, sekitar tiga juta perempuan buruh migran sangat rentan terancam diskriminasi dan trafficking.
Namun, upaya melindungi buruh migran, terutama yang bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, masih sebatas wacana. Karena upaya ini dilakukan masih sebatas langkah awal printisan. Ini dilakukan antara lain melalui pembuatan nota kesepahaman dengan negara-negara penerima buruh migran.
Mestinya upaya perlindungan tersebut tidak hanya sebatas wacana, tetapi berupa langkah-langkah kongkrit untuk menghadirkan sistem perlindungan yang baik para buruh migran. Karena penempatan buruh migran, tanpa dilengkapi dengan sistem perlindungan yang baik, maka identik bahkan sama dengan kejahatan perbudakan. Dimana keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan perempuan buruh migran sepenuhnya tergantung pada lingkup privat keluarga tempatnya bekerja.
Akar persoalan buruh migran ini -bila dilihat dari sisi hukum legal- sangat terkait dengan UU No. 39 th. 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini menempatkan pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas dan sekaligus pelaksana. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah bisa menjadi pembina dan pengawas yang obyektif, jika pada saat yang sama juga memiliki kepentingan sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja? Inilah salah satu akar persoalan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Parahnya, perlindungan terhadap buruh migran dengan dasar UU di atas dijalankan sebagai program atau proyek belaka, dan bukan sebagai tanggung jawab negara kepada warganya, sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam UU No. 39 th. 2004, perlindungan hanya diberikan ketika buruh migran menghadapi persoalan. Itu pun hanya berlaku di negara penerima yang telah memiliki kesepakatan dengan negara kita, seperti Korea Selatan da Kuwait. Padahal, dalam konnteks buruh migran, perlindungan harus diberikan sejak rekruitmen, hingga tahap pascapemulangan.
Selain itu sikap pemerintah selama ini juga menjadikan buruh migran rentan menjadi sasaran trafficking. Pemerintah memperlakukan para buruh migran seolah-olah sebagai individu yang sekedar melakukan lawatan ke luar negeri. Seringkali, begitu mereka sampai di negara tempat kerja, tidak jelas lagi siapa pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi mereka. Pihak perwakilan pemerintah di luar negeri, Kedutaan Indonesia di sejumlah negara tempat perempuan buruh migran bekerja, kurang memiliki pranata yang cukup memadai untuk dapat melindungi mereka.
Hal lain yang tidak bisa dilewatkan sebagai sumber kejahatan terhadap buruh migran adalah masih rendahnya kwalitas pelatihan kerja yang mereka dapatkan. Perempuan yang bekerja di luar negeri mestinya dibekali dengan keahlian yang dibutuhkan di tempat kerja dan juga ketrampilan komunikasi praktis yang diperlukan. Namun, berdasarkan data dari Migran Care, biasanya PJTKI hanya memberi pelatihan kerja selama tiga minggu dari tiga bulan yang digraiskan dan diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigasi RI (Haryati, 2004). Kwalitas peserta pelatihan pun tentu saja asal-asalan. Sementara kontrol pemerintah akan proses dan materi pelatihan pun masih lemah (Sita Aripurnami, 2006). Sementara itu, dari kasus yang muncul, bahwa salah satu sumber kekerasan atau kejahatan lain yang dilakukan majikan atau pihak lain kepada buruh migran adalah kurangnya kapasitas kwalitas kerja buruh migran itu sendiri. Oleh karena itu, uapaya peningkatan kwalitas kerja buruh migran, terutama perempuan, menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan dalam rangka mencegah kejahatan dan kekerasan terhadap mereka.
Yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa upaya perlindungan buruh migran dari segala kejahatan trafficking dan kekerasan lainnya hendaknya tidak lagi menjadi cita-cita mulia saja, tetapi menjadi sesuatu yang segara terwujud.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon pada th. 2005)

KITAB KUNING MEMBUTUHKAN KERANGKA PEMBACAAN PRODUKTIF

Ali Mursyid

Kitab Kuning selama ini dikenal sebagai literatur (marâji’ atau ma`khadz) wajib bagi para santri di pesantren-pesantren nahdhiyin seluruh pelosok tanah air. Dengan Kitab Kuning kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan menjawab ‘hampir’ seluruh persoalan yang muncul dan berkembang. Bahkan jika kita rajin mengikuti halqah-halqah bahtsul masa`il kaum santri ‘salaf’ ini, maka sepertinya seluruh persoalan sudah ada dan sudah dijawab oleh Kitab Kuning. Ini bukan saja terkait dengan persoalan-persoalan masa lalu, tetapi bahkan isu-isu terkini pun ‘pembahasannya’ sudah ada, atau minimal diasumsikan ada. Sebut saja misalnya, persoalan polgami, dari mulai yang ekstrim pro-poligami dan yang ekstrim kontra-poligami, ada di kitab kuning. Persoalan formalisasi syariah, perdebatan pornoaksi-pornografi, persoalan sikap terhadap agama lain, dan lain sebagainya sudah ‘ada’ dalam kitab kuning.

Persoalan muncul kemudian, setelah ada dua kategori kitab kuning. Kitab mu’tabarah (valid untuk diruju’) dan kitab ghairu mu’tabarah (tidak valid diruju’). Sebagian besar pesantren nahdhiyin menggunakan pakem keagamaan yang sama, yaitu nada keberagamaan dalam pakem kitab kuning yang mu’tabarah. Lalu pembacaan tafsir-tafsir ajaran agama dalam berbagai disiplinnya, yang tadinya menghargai berbagai pandangan yang berbeda, kemudian hanya menghargai dan akrab dengan ajaran-ajaran versi kitab mu’tabarah. Bila ada kyai atau pesanren yang keluar dari pakem ini, habislah sudah otoritasnya.

Selain itu juga, pembatasan rujukan hanya pada kitab-kitab mu’tabarah, sejatinya lebih cenderung sebagai upaya ideologisasi, dan tidak murni kerja-kerja ilmiah per se. Karena itu kecenderungan demikian sungguh layak dicurigai. Ada agenda politis apa sesungguhnya di balik itu semua?

Kecenderungan yang tidak kondusif bagi pengembangan keilmuan pesantren tersebut, diperparah oleh ‘penuhanan’ metode pembacaan dan kejian keagamaan. Yakni penuhanan pada metode ‘ambil comot teks’ alias tekstualis. Dan juga metode gampang percaya pada ‘konon kata ulama’ alias taqlid qaulan. Akibatnya kitab kuning dibaca dan didekati sebagai korpus tertutup, yang ahistoris, dan anti kritik. Pembacaan dan pemahaman yang dilakukan pun cenderung berulang-ulang (mutakarrirah). Masalah apa pun yang muncul, segera dicarikan jawabannya dari kitab mu’tabarah begitu saja, tanpa membandingkan perbedaan konteks zamkani-nya. Padahal kitab-kitab itu berisi pandangan ulama yang ditawarkan untuk mneyelesaikan persoalan pada zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kekinian dan kedisinian.

Tawaran Pembacaan Produktif (Qira’ah Muntijah)

Penulis di sini menawarkan pembacaan terhadap kitab kuning sebagai sumber nilai keagamaan yang dianut masyarakat pesantren. Pembacaan dengan metodologi hermeneutik ini disebut juga –oleh Nashr Hamid Abu Zayd- sebagai pembacaan produktif (qira’ah muntijah) yang merupakan lawan dari pembacaan tidak produktif dan berulang-ulang (qira’ah mutakarrirah). Dengan qira’ah muntijah ini diharapkan dapat memberikan penafsiran-penafsiran dan berbagai kemungkinan baru yang bukan hanya kritis-evaluatif tetapi juga kritis-emansipatoris. Dengan qira’ah muntijah diharapkan penafsiran kegamaan bukan hanya dapat mengubah kata-kata (change of the word) tetapi juga dapat melakukan perubahan pada dunia realitas (change of the world)

Dalam membaca dan menganalisa teks, seperti kitab kuning, qira’ah muntijah mempunyai asumsi bahwa sesungguhnya teks telah selesai (al-nushush mutanahiyah), sedangkan realitas tidak pernah berhenti, bahkan terus berkembang (al-waqa’I gahiru mutanahiyah). Karena itu dalam membaca dan mencari makna serta siginfikansi (maghza) teks dengan realita kekinian, qira’ah muntijah mengenalkan beberapa istilah kunci, yakni the world of text, the world of author dan the world of audience.

Yang dimaksud dengan the world of text dalam konteks dunia pesantren adalah nilai-nilai ajaran keislaman klasik yang terdapat dalam kitab-kitab kuning (al-kutub al-mu’tabarah). Nilai-nilai luhur keislaman klasik inilah yang menjadi acuan dalam berfikir dan bertindak bagi masyarakat pesantren. Pesantren baik di Jawa, Madura atau bagian Indonesia lain rata-rata menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning. Kitab kuning sebagai teks, diajarkan, dan diwariskan kepada setiap generasi santri yang mesantren di pesantren-pesantren tersebut. Beratus-ratus, ribuan bahkan jutaan santri setiap tahunnya masuk dan keluar dari pesantren-pesantren itu hanya untuk mengaji kitab kuning. Kitab kuning menjadi semacam “teks sakral” yang menjadi trade mark bagi pesantren-pesantren, khususnya di Indonesia.

Meskipun demikian, the world of text tidak dapat berdiri sendiri dan terlepas dari realitas yang lain. Ia tidak dapat berdiri dan ada secara netral. The world of Text akan tampak seperti ruang yang kosong jika tidak dilihat dalam kerangka hitoris dan peradaban umat manusia yang lebih kongkrit. Oleh karena itu the world of text hanya dapat hidup, dimaknai, ditafsirkan, dibangun, dan ditafsirkan melalui the world of author (dunia pengarang, penafsir, penyusun konsep, perencana, pelaku atau aktor yang sesungguhnya berperan dalam masyarakat dan sejarah). Dalam konteks pesantren, the world of author tentu saja para penulis kitab, pensyarah, bahkan para kiai yang mencoba berijtihad sendiri dan hasil ijtihadnya disebar luaskan.

Jadi the world of text sesungguhnya dan selamanya tidak pernah terlepas dan selalu terjebak, serta terbelenggu oleh pemahaman dan konstruk berfikir dan konstruk pengetahuan para kiai yang menjadi penulis, pensyarah atau penafsir sebuah karya berupa kitab kuning. Makna yang dimunculkan dalam kitab kuning tidak mungkin terlepas dari kiai yang mengkajinya. Sedangkan pemahaman pengarang, pensyarah atau para penafsir kitab-kitab kuning itu sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh konteks zaman di mana ia hidup. Uraian, pemaknaan dan pemahaman pengarang era agraris akan berbeda jika dibandingkan dengan uraian pengarang era industri dan begitu pula akan berbeda dengan era globalisasi budaya dan agama dan begitu seterusnya. Uraian dalam tradisi ‘lisan” akan berbeda dari tradisi “tulisan”. Tradisi manuskrip akan berbeda pula dari tradisi mesin cetak, dan komputer serta internet.

Pada gilirannya, pemahaman dan penafsiran sang pengarang pada era tertentu dapat saja “membeku” dan berubah menjadi begitu hegemonik dan dominatif. Hal demikian dapat terjadi secara alami dan karena adanya kepentingan-kepentingan lain yang melekat kemudian. Proses membaku dan membekunya sebuah pemahaman adalah proses alami yang dialami setiap disiplin ilmu. Semua disiplin keilmuan tidak akan lepas dari “hukum budaya” ini, baik fiqih, hukum, sosial, budaya, politik tasawuf, kalam , filsafat, pendidikan, ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu humaniora, teologi, ilmu-ilmu agama dan begitu seterusnya.

Ketika telah terjadi pembakuan dan pembekuan, hegemoni, dominasi, dan bahkan ortodoksi, maka seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan pengalaman manusia itu sendiri, akan muncul dengan sendirinya pemahaman baru yang mempertanyakan “keabsahan” penafsiran dan pemahaman yang disusun, dibakukan dan dibekukan oleh generasi the world of author. Pertanyaan yang kritis akan muncul ke permukaan dengan sendirinya karena terjadi anomali (ketidaktepatan-ketidaktepatan), dan krisis relevansi yang melekat pada bentuk dan jenis pemikiran, pemahaman dan penafsiran terdahulu yang terlanjur dibakukan dan dibekukan oleh masyarakat. Hal tersebut terjadi secara wajar dan alami, tanpa harus direkayasa oleh siapa pun. Lebih-lebih setelah berkembangnya ilmu pengetahuan yang cukup spektakuler dalam berbagai bidang.

Yang perlu dicatat adalah bahwa pertanyaan kritis yang diajukan kepada the world of author tidak datang dari the world of text, tetapi datang dari kutub ketiga, yakni the world of audience (dunia pendengar, pengguna, umat dan masyarakat secara luas), dan seakligus juga dunia kritikus sosial-budaya dan kritikus sosial-keagamaan. The world of audience disamping punya akses dan dapat berdialog langsung dengan dunia pengarang (the world of author), ia juga punya akses langsung untuk dapat memahami dan menafsirkan the word of text secara mandiri. Jika saja mereka yang berkecimpung dan bergelut dalam the world of audience ini mempunyai kerangka berfikir, kerangka teori dan metodologi yang lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pada saatnya, pemikiran yang dilontarkan dan dipopulerkan oleh the world of audience, cepat atau lambat, akan dapat menggeser dominasi dan hegemoni pemikiran yang selama ini dimonopoli oleh the world of author. Pada saatnya kelak, the world of audience akan berpindah menjadi menjadi the world of author yang dapat memproduksi wacana keberagamaan sendiri.

Yang menarik adalah bahwa perpindahan posisi (shifting position) dari the world of audience menjadi the world of author dapat berlangsung setiap saat, tergantung pada persoalan dan krisis relevansi yang sedang dihadapi oleh umat beragama, dalam hal ini komunitas pesantren. Namun ada kalanya proses perpindahan itu berjalan begitu alot, bahkan juga membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit.

Demikianlah dengan metode pembacaan qira’ah muntijah diharapkan nilai-nilai kitab kuning dapat berkembang. Karena dengan qira’ah muntijah yang berperan bukan hanya author yang sebelumnya telah diakui otoritasnya dalam memproduksi wacana keagamaan, tetapi juga audience, yang dapat berupa kiai muda atau santri atau bahkanpun masyarakat yang mampu meproduksi nila-nilai luhur keagamaan untuk kehidupan sehari-hari.
Wallahu A’lam bi al-shawab

(Tulisan ini didekasikan untuk diskusi internal Fahmina Institute)

POTRET BURAM MADRASAH KAMPUNG KITA

Ali Mursyid

“Kalau madrasah ini diperbaiki, baik sarana prasarana maupun managerial pengelolaannya, tentu membutuhkan biaya besar. Ujung-ujungnya madrasah ini menjadi mahal. Dan orang-orang miskin menjadi sulit sekolah”, kata seorang kepala Madrasah Aliyah, ketika ditanyakan berbagai kemungkinan perbaikan pengelolaan madrasahnya. Tragis memang nasib madrasah (sekolah agama) khususnya yang terletak perkampungan. Di satu sisi ia berkewajiban meningkatkan mutu pendidikannya dari waktu ke waktu, di sisi lain ia mesti melayani kebutuhan kaum mustadh’afin akan pendidikan. Di satu sisi madarasah ingin melengkapi sarana prasarana dan memperbaiki managerial pengelolaannya, di sisi lain ia terbentur pada persoalan dana. Dan rasanya tidak tega, kalau mesti membebani para siswa dari keluarga-keluarga yang makan saja susah. Soalnya kemudian, adakah pendidikan yang bermutu bagi kaum mustadh’afin?

Akar Masalah
Sekarang ini, hampir semua orang membenarkan bahwa pendidikan bermutu mesti mahal. Para orang tua, khususnya di kota, rela menguras isi kantong demi memasukkan anaknya di sekolah-sekolah ‘bonafid’. Anggapan bahwa pendidikan bermutu mestilah mahal terus menguat seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Sejatinya, anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Fakta membuktikan, asalkan ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat, pendidikan murah dan bermutu bisa diselenggarakan. Ini yang dicontohkan oleh SMP Alternatif Situbondo. Dengan SPP siswa Rp. 10.000,- perbulan --itu pun boleh saja gratis--sekolah ini telah menempati rengking teratas di Jawa Timur. Bahkan Media Kompas menjulukinya sebagai sekolah global, sekolah berkelas dunia meski terletak di desa Kalibening Situbondo. Bukan hanya itu, dengan biaya pendidikan yang relatif murah, para siswa SMP Alternatif itu dapat menikmati sarana pendidikan layaknya sekolah-sekolah mahal, seperti mengakses internet setiap hari secara gratis. Itu semua terselenggara atas keinginan dan upaya sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah untuk menghadirkan pendidikan murah dan bermutu. Jadi akar masalah yang dilematik bagi madrasah atau pendidikan bermutu bagi mustadh’afin adalah tidak adanya upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Tanggungjawab Pemerintah
Sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya perbaikan pendidikan, baik upaya peningkatan mutu ataupun peningkatan kesempatan bagi rakyat banyak untuk mengenyamnya. Sayangnya itu dilakukan secara tidak berkesinambungan dan tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya. Sebut saja kebijakan mengenai kurikulum, baik madarasah maupun sekolah pada umumnya, selalu saja berganti mengikuti pergantian mentri. Ironinya ketika madrasah-madrasah di pedesaan baru mulai melaksanakan kebijakan ‘Tuan Mentri’--yang tentu saja setelah bertahun-tahun kebijakan itu diintruksikan dari departemen agama--eh, sebentar kemudian Pemilu, ganti mentri, dan ganti pula kebijakannya.
Contoh ketidaksinambungan perhatian pemerintah pada pendidikan adalah soal minimnya alokasi dana bagi dunia pendidikan. Kalaupun ada upaya peningkatan dana pendidikan maka itupun dilakukan sangat politis dan knrtoversial, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Sebut saja kebijakan dana kompensasi kenaikan BBM bagi pendidikan, selain kontrovesial, politis, prosedural juga hanya bersifat karitatif dan tidak menyelesaikan masalah.
Khususnya bagi madrasah di desa, selain siswa, para gurunya juga sungguh memprihatinkan. Dengan honor minim--itu pun kalau ada--para guru madrasah mencoba terus mengabdikan diri untuk mengajar. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, para guru ini biasanya melakukan usaha-usaha lain, yang terkadang sangat menyita waktu dan perhatiannya. Perhatian dan pengabdiannya ke madrasah pun bersifat minimal, sekedar mengajar saja. Soal maju-mundurnya madrasah, peningkatan kwlitas lulusan dan yang semacamnya, tidak jadi perhatian atau bagian dari pengabdiannya. Mutu lulusan madrasah pun akhirnya sulit bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum. kebijakan pemerintah di dunia pendidikan belum menyentuh akar persoalan semacam ini.

Nilai-Nilai Yang Terlupakan di Masyarakat
Islam mengajarkan bahwa diantara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Artinya kewajiban pendidikan anak atau generasi penerus terbebankan pertama kali pada orang tua, bukan pada sekolah. Tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap dunia pendidikan adalah primer, sedangkan sekolah hanya sekunder. Ini yang sekarang terlupakan di masyarakat bahkan cenderung terbalik, sekolah adalah segalanya dan masyarakat atau orang tua nomor dua saja dalam tanggungjawab mendidik. Karenanya kemudian perhatian masyarakat (orang tua) terhadap mutu pendidikan anaknya, sekarang ini minim saja, karena hampir semua dibebankan pada sekolah. Celakanya sekolahnya tidak bermutu, kecuali dengan biaya relatif mahal. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam perbaikan pendidikan (madrasah) menjadi sangat signifikan. Pelibatan yang dimaksud adalah pelibatan yang sesungguhnya, yang bukan hanya ketika hendak butuh persetujuan kenaikan SPP dan lainnya. Pelibatan masyarakat ini bisa dilakukan dalam berbagai aspek, seperti dalam menyusun visi madrasah dan peningkatan mutu pembelajaran melalui peningkatan kesejahteraan pengelola serta para gurunya.
Nilai lain yang mulai terlupakan di masyarakat adalah nilai yang menyatakan bahwa mencari ilmu, belajar dan sekolah adalah kewajiban agama. Di masyarakat pedesaan, orang terkadang merasa sudah paling Islami kalau sudah naik haji. Puncak keislaman seorang muslim lalu diukur dari naik haji atau tidak, meski pendidikan di masyarakat sekitarnya terlantar. Masyarakat pun nampak lebih bergairah membangun masjid-masjid baru atau sangat meriah ketika menghantar tetangganya yang naik haji, tetapi tak mau tahu nasib madrasah di desanya yang kembang kempis.
Islam menggariskan tujuan diselenggarakannya pencarian ilmu atau dunia pendidikan. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang jadi pepujian mushola dikatakan bahwa: “Nuntut ilmu sira kabeh kewajiban, yen tinggal sira kabeh oli siksaan. Sijiniyat negakna agama Islam. Loro niyat ngurip-ngurip agama Pengeran. Telu niat ngilangna kebodoan badan. Papat ngulati keridoan Pengeran. Kelimane Nyukuri warase badan. Nenem nyukuri akal kelawan pikiran. (Belajar itu wajib hukumnya, berdosa kalau tidak dilaksanakan. Ini bertujuan untuk; a. Menegakkan agama; b. Mengharumkan syiar agama; c.Mencerdaskan masyarakat dan generasi penerus; d. Mencari ridha Tuhan dengan memanfaatkan ilmu bagi sebaik-baik kehidupan manusia; e. Mengoptimalkan anugrah kesehatan dan segala potensi fisik manusia yang ada; f. Mengoptimalkan potensi rasional dan intelektual untuk berbagai kemajuan). Jika demikian mulia tujuan mencari ilmu yang diajarkan Islam, maka penyelenggaraan pendidikan, seperti madrasah mesti diselenggrakan secara serius dengan perhatian dan dukungan pemerintah serta masyarakat yang memadai.

(Tulisan ini dimuat di Buletin Jum’at Al-Basyar pada tahun 2005)

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BERBASIS MASYARAKAT

Ali Mursyid

PRAWACANA

Pada akhir dasawarsa 1990-an, salah satu jurnal terkemuka di Amerika, Foreign Affairs, mengatakan bahwa korupsi telah menjadi way of life di Indonesia. Korupsi sudah menjadi cara atau jalan hidup bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. International Transparency, pada tahun 1997, dalam laporannya menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia setelah Rusia dan Kolombia. Audit yang lumayan baru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan bahwa prevalensi kebocoran dari semakin tinggi, meningkat dua belas kali lipat. Pada tahun 1998/1999, tingkat kebocoran hanya 4 persen, akan tetapi pada tahun anggaran 1999/2000 angka itu melonjak menjadi 46 persen. Dari nilai anggaran yang diperiksa BPK sebesar 455,6 trilyun rupiah, tingkat kebocoran mencapai 209 trilyun rupiah.
Selain itu audit BPK juga membuktikan bahwa negara dirugikan senilai 138,44 trilyun rupiah atau sekitar 96 persen dari nilai kredit likuiditas Bank Indonesia (BI) senilai 144,53 trilyun rupiah. Padahal kredit likuiditas ini semula dirancang untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas 48 bank komersial.
Mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo juga pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 1991/1992 jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak senilai 27,7 trilyun rupiah. Pada tahun fiskal 1999/2000 angka itu menjadi 170 trilyun rupiah. Selama dekade 90-an, dari seluruh jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan senilai 714,5 trilyun, artinya negara dirugikan 130, 86 trilyun rupiah.
Tidak hanya itu, akhir-akhir ini diberitakan di berbagai media bahwa, para angota DPRD di banyak kota kabupaten di Indonesia, banyak yang dimeja hijaukan, karena terlibat penyalahgunaan dana APBD (APBD gate).
Dari berbagai pernyataan, laporan, berita dan fakta di atas, semuanya mengindikasikan adanya persoalan yang amat serius di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi bahaya laten korupsi. Sayangnya, meski dari berbagai temuan dan studi terbukti bahwa prevalensi di Indonesia tergolong paling tinggi, akan tetapi langkah-langkah yang mengarah pada upaya investigasi, advokasi dan pemberdayaan serta pendidikan masyarakat dalam memberantas wabah korupsi masih jarang dilakukan.
Sejumlah studi, laporan, ataupun tulisan mengenai tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai perspektif dan sudut pandang. Namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, studi-studi yang selama ini dilakukan oleh kalangan akademis ke arah deskripsi dan analisis semata, bukan pada kritik dan keberpihakan terhadap masyarakat yang dirugikan oleh prilaku korupsi. Kedua, data yang diperlukan sering tidak tersedia, karena pihak yang diduga terlibat korupsi selalu berdalih dengan berbagai cara untuk menyembunyikan dan memanipulasi data. Sementara pemerintah cenderung enggan memberi izin penelitian dan advokasi untuk isu-isu korupsi. Ketiga, sebagai konsekwensinya, upaya-upaya investigasi, advokasi dan pendidikan serta pemberdayaan lebih banyak menggunakan pendekatan normatif, jauh dari pemihakan terhadap rakyat dengan berbagai langkah-langkah strategisnya. Keempat, lebih-lebih pada masa Orde Baru, para peneliti dan aktifis beresiko tinggi kehilangan hak sipil, atau bahkan ancaman kekerasan fisik ketika melakukan studi dan advokasi tentang korupsi. Karena dianggap ancaman bagi pihak-pihak tertentu.
Saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi menuju masyarakat demokratis dan beradab, yang membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun iklim kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih baik dan terbebas dari korupsi. Inilah momen yang tepat untuk mengembangkan kajian, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan budaya KKN. Tulisan ini adalah yang bisa dilakukan penulis dalam upaya pendidikan pemberantasan korupsi di tengah masyarakat. Ini adalah langkah yang mungkin tidak akan berarti dalam pemberantasan korupsi, tetapi paling tidak sebagai wacana yang semoga saja bermanfaat di kemudian hari.

KONSTRUK WACANA KORUPSI

Pada Dataran Budaya
Dalam praktek pelayanan publik sehari-hari, batas antara hadiah atau pemberian yang ikhlas dan suap sangatlah tipis. Ini bisa dilihat manakala warga masyarakat ingin menyelesaikan satu urusan birokrasi dengan instansi pemerintah yang bertugas melayani publik, seakan-akan sudah lumrah bila rasa terimakasih perlu dan celakanya harus disampaikan dalam bentuk uang. Suap atau bentuk terimakasihkah kebesiaan seperti ini? Bukan tidak mungkin, warga masyarakat sengaja memberi uang dengan maksud kelak dikemudian hari bila berurusan dengan birokrasi tidak lagi mengalami kesulitan. Artinya, ia harus ikhlas dan terbiasa melakukan praktek suap. Tetapi celakanya, Sang Birokrat memandangnya sebagai pembrian ikhlas dan tidak tidak terkait dengan jabatannya. Bukankah di sini ada perbedaan presepsi atas pemberian uang itu.
Praktek-praktek seperti ini berlangsung terus dalam hidup keseharian kita dan diterima begitu saja sebagai seseuatu yang tak terbantahkan. Mulai dari praktek percaloan di terminal, pelabuhan atau setasiun kereta api hingga urusan izin usaha, perpanjangan SIM, KTP, atau meluluskan anak masuk sebuah sekolah yang dianggap pavorit, dan lain-lain. Praktek yang bernuansa suap-menyuap tampaknya sudah dianggap wajar dan bahkan ada yang menganggap sebagai keharusan.
Memang, dalam budaya yang memberi peluang bagi tumbuhnya praktek korupsi, wacana korupsi pun dikonstruksi menjadi bukan korupsi, melainkan dianggap sebagai kebaikan hati. Itulah sebabnya ada yang menyebut korupsi sudah “memasyarakat”, bahkan sejad dahulu Bung Hatta telah menyebutnya “membudaya”. Kalau sudah memasyarakat dan membudaya, maka bisa berarti sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan. Tiada hari tanpa praktek korupsi dalam segala bentuk dan tingkatannya. Kalau kemudian Indonesia menjadi negara papan atas dalam korupsi--seperti peringkat yang dilaporkan oleh Transparency International--tidaklah terlalu mengherankan. Tetapi bangsa ini tentu saja tidak akan terima bila negerinya dicap berpemerintahan para maling (kleptokrasi).
Bukan hanya itu, perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia juga banyak mengoleksi ungkapan dan kata untuk menyebut nama lain dari praktek korupsi. Mulai dari uang semir, penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan uang negara, komersialisasi jabatan, poltik uang, suap, uang pelicin, uang administrasi, komisi proyek, dana taktis, TST (tahu sama tahu), manipulasi, pungli, dana bina lingkungan, mark up anggaran, amplop dan uang rokok. Belum lagi idiom-idiom yang menunjukkan terjadinya korupsi, misalnya tarif jalan tol, untuk mereka yang ingin mendapatkan layanan cepat dari birokrasi. Uang lelah, untuk pemberian kepada birokrat tingkat bawah yang membantu mengurus adminitrasi pelayanan publik. Hadiah ala kadarnya dan ucapan terima kasih, untuk pejabat publik yang dipandang berjasa membantu suatu urusan yang sebenarnya memang menjadi tanggungjawabnya. Masih banyak lagi perbendaharaan dan idiom dalam bahasa Indonesia--juga sebenarnya bahasa daerah--yang menunjukkan kuat berakarnya korupsi dalam budaya kita.
Kalau kita mencermati tulisan para ahli, maka korupsi bukan hanya beragam dalam jenis dan sebutan sinonimnya, tetapi juga beragam dalam defenisi asalnya. Secara umum, korupsi sering dipandang sebagai segala macam tindakan yang menyalahgunakan wewenang atau sumber poltik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ada pula di antara penulis yang memperluas cakupan pengertian tersebut, mengingat tindakan dan praktek korupsi, berlangsung juga diberbagai sektor kehidupan. Karena itu, korupsi disebutnya sebagai “tidak hanya meliputi transaksi antara sekyor badan publik (pejabat) dan swasta (perusahan atau anggota masyarakat) tetapi juga antara sektor swasta dan sektor pemerintah.” Definisi ini menunjukan betapa korupsi sudah “memasyarakat”. Seperti wabah yang terus menjalar pada semua sektor kehidupan.
Lebih jauh Gunnar Mydral dengan tegas menyatakan bahwa, mereka yang memungkinkan terjadinya korupsi disebut juga koruptor. Dengan begitu korupsi bukan cuma dilakukan pejabat publik atau petinggi swasta, tetapi rakyat kebanyakan juga memungkinkan terjadinya korupsi. Islam, dalam kitab sucinya, mengatakan dengan tegas bahwa, baik yang menyuap (al-râsyi) dan yang disuap (al-murtâsyi), keduanya bersalah, dan karenanya masuk neraka.

Pada Dataran Birokrasi
Birokrasi memang tidak terlepas dari prosedur. Namun manakala prosedur tidak jelas dan banyak meja yang harus dilewati demi tegaknya prosedur, maka prosedur itu justru memberi peluang bagi terjadinya praktek korupsi. Prosedur birokrasi yang mestinya merupakan pengetahuan publik sengaja disamarkan. Akibatnya publik seperti masuk belantara, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa mengikuti prosedur yang baku.
Bila pun prosedur diketahui publik, maka biasanya tetap tersedia pilihan “jalur biasa” atau “jalur tol”. Jalur tol berarti publik mesti membayar biaya besar. Namun dengan senang hati publik tidak jarang bersedia membayar melebihi tarif itu, dengan dalih “dari pada diperulit”, “dari pada membuang-buang waktu” atau “dari pada tidak diproses”. Publik atau masyarakat mendapatkan kemudahan urusan birokrasi dari jabatan publik. Dan pejabat publik pun diuntungkan karena mendapat sejumlah uang.
Karena saling menguntungkan maka dianggap tidak ada yang dirugikan. Sementara korupsi dikonstruksi sebagai praktek yang merugikan. Kalau tidak ada yang dirugikan mengapa pula disebut korupsi? Ini adalah logika yang menyebabkan kian mewabahnya korupsi. Memang ketika transaksi terjadi antara dua pihak, warga masyarakat dan pejabat publik, tidak ada yang merasa dirugikan. Tetapi jika ditarik lebih jauh pada konteks yang lebih luas, dampaknya sangat menadasar. Sebut saja misalnya, lahirnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy), karena pelaku usaha pasti memperhitungkan dana yang disiapkan untuk dikorup akan dibebankan juga pada konsumen. Akibatnya, nilai jual produk Indonesia menajdi lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa dari negeri lain. Maka terjadilah inefisiensi yang akan menurunkan daya kompetitif produk Indonesia, menurunkan kemampuan perusahaan memberi gaji yang lebih layak bagi karyawannya, dan yang paling membahayakan juga dapat menghancurkan moral bangsa.
Olle Tronquist, profesor masalah politik dan pembangunan pada Univesitas Oslo dalam tulisannya “The Indonesian Lesson” (1999) ia menyebutkan adanya gejala munculnya “hantu” yang disebutnya sebagai “demokrasi kaum penjahat” (budguy democracy). Di mana demokrasi hanya berlangsung secara formal dan bahkan cenderung seremonial. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, yang menjelma menjadi “negara serakah” (grady state), yang menjadi panggung KKN dan mamsung pikiran rakyat.
Reformasi yang bergulir sejak 1998 di antaranya bertujuan mengubah praktek penyelenggaraan pemerintah ke arah yang lebih baik dan berkualitas (good governance). Namun dalam kenyataanya, hingga saat ini reformasi belum banyak membuahkan hasil. Praktek KKN tampak belum lenyap, bahkan makin menjadi-jadi. Otonomi daerah yang idealnya ditujukan untuk memberdayakan pemerintahan daerah dalam memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik, pada prakteknya justru dipakai sebagai alat untuk melanggengkan struktur pemerintahan yang birokratis itu. Selain itu juga, dengan otonomi daerah, KKN dengan segala modus operandinya yang pada masa Orde Baru terpusat di Ibu Kota, kini menyebar ke daerah-daerah. Otonomi daerah yang semangat awalnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rmasyarakat daerah, pada parktenya lebih banyak menguntungkan para penguasa dan wakil rakyat di daerah. Sementara rakyat banyak tetap hidup dalam kesengsaraan.

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BAGI MASYARAKAT

Pentingnya Kontrol dan Partisipasi Publik
Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.
Partisipasi publik sendiri merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.

Pendidikan Anti-Korupsi
Upaya mendidik, memberdayakan dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena Warga masyarakay yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat.
Bagaimanakah pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?

a. Kampanye Publik
Salah satu cara untuk melakukan pendidikan anti-korupsi kepada masyarakat adalah kampanye publik secara terencana dan sistematik. Kegiatan kampanye [ubl;ik yang terprogram baik dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesdaran mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap masyarakat dan mengenai perlunya setiap warga melakukan tindakan yang tepat bila mereka dihadapkan pada praktek korupsi.
Defenisi kampanye sendiri bermacam-macam, tergantung pada tujuan umum atau spesifik yang diharapkan, durasi yang dibutuhkan, efek yang diharapkan, unit analisis dan lokus manfaat dari suatu kampanye, serta media komunikasi yang digunakan. Paisley (1981) mencatat bahwa definisi kampanye menekankan baik pada (1) tujuan, maupun (2) proses kampanye.
Menurut Atkin (1981), kampanye informatif biasanya melibatkan seperangkat pesan bersifat promosi yang menarik minat publik dan disebarkan melalui media-media massa. Karenanya kampanye publik mesti menggunakan pesan-pesan yang dirancang sedemikian rupa melalui berbagai saluran komunikasi yang mudah diakses dan cocok dengan target audiens. Pesan kampanye juga harus mengkomunikasikan informasi spesifik, pemahaman, dan perilaku yang bisa diakses dan diterma secara budaya.
Karena itu sebelum menggelar kampanye anti-korupsi, penting juga memantau isu dan debat kebijakan sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Memahami lingkungan politik dan budaya yang memberikan setting dalam agenda publik juga penting untuk memberikan penekanan pada isu yang ditonjolkan dalam agenda kampanye. Para perancang kampanye harus menyadari bahwa kegiatan kampanye yang dilakukan bukan semata-mata untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang korupsi dan bahayanya, melainkan juga mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Bahkan kampanye juga harus diarahkan untuk tujuan-tujuan yang lebih dari sekedar perubahan kognitif, tetapi juga perubahan sikap dan perilaku terhadap korupsi.
Jika kampanye publik anti-korupsi dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain:
1. Tergalangnya opini publik mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif.
2. Tergalang pula tuntunan dan tekanan dari masyarakat mengenai perlunya upaya pemberantasankorupsi dalam birokrasi.
3. Menguatnya partisipasi masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi.
Dan karena kegiatan kampanye publik anti-korupsi ini bersifat informatif, persuasif dan juga edukatif, tentu saja pertimbangan-pertimbangan dalam menetukan media kampanye dan khalayak sasaran yang dituju merupakan sesuatu sangat penting. Karena itulah kegiatan kampanye anti-korupsi sebisa mungkin memanfaatkan segala bentuk media komunikasi yang bisa dengan mudah diakses warga masyarakat. Tidak hanya media massa dalam pengertian konvensiona, seperti koran, majalah, radio atau televisi. Tetapi juga media yang lain, seperti sepanduk, stiker, selebaran atau brosur dan leaflet juga bisa efektif dalam kegiatan kampanye publik.

b. Survei Opini Publik
Untuk mendukung kampanye publik dalam rangka pendidikan publik anti-korupsi juga sebaiknya dilakukan survei opini publik. Survei opini publik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui opini warga masyarakat tentang sikap, pandangan atau pemahaman mereka terkait isu-isu yang sedang berkembang. Survei opini publik juga menjadi wahana yang memberi peluang bagi warga masyarakat untuk menumbuhkan bahwa pendapat mereka dihargai dan dipertambangkan dengan serius oleh orang lain.
Polling atau jejak pendapat adalah salah satu metode untuk mengetahui pendapat umum. Polling sering didefinisikan sebagai suatu penelitian atau survei dengan cara menanyakan langsung (wawancara), atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung (melalui angket) kepada warga masyarakat mengenai pendapat mereka tentang suatu masalah atau isu yang sedang berkembang.
Penyebaran angket (kuesioner) kepada warga masyarakat yang dijadikan sasaran kampanye adalah cara yang lebih untuk mengetahui opini publi, yang merupakan ekspresi sikap dan pandangan masyarakat terhadap isu yang diperbincangkan. Poin-poin pertanyaan dalam angket hendaklah dirancang sedemikian rupa dengan tetap berpedoman pada tujuan kampanye. Tetapi harus dicatat bahwa poin-poin pertanyaan dalam angket sebaiknya dirancang secara lebih spesifik untuk tujuan-tujuan khusus, disesuaikan dengan tema kampanye. Misalnya, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas kampanye mempengaruhi pendengar radio, bagaimana pandangan pembaca surat kabar lokal tertentu terhadap kampanye anti-korupsi melalui media massa, dan lain-lain.

c. Pengorganisasian Massa
Peter L. Berger (1982) mengatakan bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah, melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu sendiri.
Langkah awal dalam pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi metode (strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
2. Merumuskan desain dan model pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
3. Merumuskan kerangka kerja pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai berikut:
1. Membentuk dan menciptakan kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik.
2. Membentuk jaringan kerja sama antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
3. Mengembangkan kepemimpinan masyarakat.
4. Bekerja dengan organisasi masyarakat yang ada.


POSTWACANA
Mendidik Masyarakat Melek-Korupsi

Wabah korupsi seperti juga wabah-wabah lainnya yang berbahaya, pada dasarnya bisa dicegah penyebarannya. Perlu semacam suntikan imunisasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap korupsi, sekaligus menurunkan kekebalan koruptor terhadap hukumyang berlaku di negara ini. Bila tidak ada tindakan semacam itu, bisa dipastikan korupsi akan kian menyebar dan mengakar. Pada gilirannya korupsi yang tidak terbendung akan semakin membuat negeri ini terus bertahan di papan atas sebagai negara terkorup di dunia. Karenanya sudah saatnya dibangunkan kesadaran pada seluruh anak bangsa, bahwa sebanyak apa pun yang dimiliki bila terus-menerus digerogoti pada akhirnya akan habis. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini menunjukkan sudah hampir habisnya kekayaan bangsa karena dicuri dengan mengatas namakan berbagai hal.
Untuk menekan lajunya angka korupsi yang terus melonjak diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif. Langkah-langkah itu merupakan bentuk kongkrit pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat. Yang dimaksud pendidikan di sini adalah segala upaya penyadaran dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan di sini lebih bersifat andragogik daripada pedagogik, di mana masyarakat sasaran didik diperlakukan sebagai subyek pendidikan yang dibuka kesadaran keritisnya dalam mengahadai relitas keseharian yang korup. Sementara pendidik adalah sekelompok masyarakat yang telah tersadarkan yangmenjadi fasilitator dalam proses belajar masyarakat itu sendiri. Dengan berbagai langkah strategis dan tekhnis di atas, kiranya pendidikan anti-korupsi dapat mendidik masyarakat untuk “melek-korupsi”.
Selain dengan pendidikan yang bersifat andragogik, upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan pendidikan pedagogik, bahkan formal sekalipun. Ini bisa dilakukan di antaranya dengan cara-cara berikut:
1. Memasukkan diskursus anti-korupsi dalam pendidikan formal maupun informal.
2. Menggagas Fiqh Korupsi (pemahaman keagamaan yang anti dan tidak mentolerir korupsi dalam segala bentuknya)


(Tulisan ini dimuat di Jurnal Pendidikan LEKTUR STAIN Cirebon pada th. 2005