Tuesday, May 15, 2007

Urgensi Penguatan Civic Education Bagi Kalangan Madrasah

Ali Mursyid

Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang khas dan berbasis pada ajaran-ajaran dasar Islam. Secara penjenjangan, madrasah terdiri dari jenjang ibtidâiyah (dasar), tsanâwiyah (menengah) dan âliyah (atas). Perbedaan yang mendasar antara madrasah dengan pendidikan umum adalah titik berat pendidikan madrasah pada ilmu-ilmu dasar Islam yang ditunjukkan dengan pembobotan yang cukup signifikan bagi pelajaran mengenai ilmu dasar Islam dalam kurikulum pendidikan madrasah. Apa yang dipelajari di madrasah tidak jauh berbeda dengan apa yang dipelajari di pesantren. Yang membedakannya dengan pesantren adalah sistem, administrasi, dan penjenjangannya. Madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan sekolah dengan sistem pendidikan Pesantren.

Islam--sebagai basis nilai, ajaran serta spirit dari berdiri dan diselenggarakannya pendidikan madrasah--pada tataran realitas menunjukkan dua cara pemahaman yang berbeda. Di satu sisi Islam dipahami sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian (salâm), demokrasi (syûra), sikap toleransi (tasâmuh), pluralisme (ta’addudiyah), keadilan (‘adalah), dan cinta tanah air (hubb al-wathân). Konsep Islam tentang pergaulan sesama manusia – dalam cara pandang ini – direpresentasikan oleh nilai-nilai luhur yang terbagi menjadi tiga kategori: Pertama, ukhuwah Islâmiyah, persaudaraan sesama umat Islam. Kedua, ukhuwah basyariyah atau insâniyah, yaitu persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Ketiga, ukhuwah wathâniyah, persaudaraan atas dasar bangsa, negara dan tanah air.

Dalam-dalam teks-teks Islam klasik, dinyatakan bahwa Syari’ah Islam diterapkan dengan tujuan-tujuan mulia berikut: (1) Menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din); (2) Menjamin kebebasan berfikir dan berpendapat (hifdz al-‘aql); (3) Menjamin kesehatan reproduksi (hifdz al-nasl)’ (4) Menjamin kebebasan pasar dan kebebasan finansial (hifdz al-mâl); (5) Menjamin kebebasan dan harga diri indifidu (hifdz al-‘irdh). Konsep seperti ini tentunya bisa menjadi modal pengetahuan dan modal sosial yang sangat berharga untuk menciptakan masyarakat berperadaban di Indonesia.

Sementara itu, peradaban Islam juga mewariskan Piagama Madinah. Piagam Madinah ini – yang konstitusi pertama dalam Islam—mengarahkan masyarakat Madinah kepada sebuah model relasi berbasiskan konsensus, kesepakatan. Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah berdasarkan realitas bersama berbagai ummat yang ada saat itu – Islam, Nasrani dan Yahudi, bahwa mereka sama-sama warga Madinah, ahl al-madînah. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk saling melindungi dan membela Madinah sebagai negeri bersama. Praktek sosial Islam yang ditunjukkan oleh masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, menegaskan spirit Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Spirit inilah yang kiranya perlu diaktualkan pada konteks Indonesia masa kini.

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, terdapat pemahaman Islam yang mengesankan fenomena radikalisme agama – tidak toleran, jauh dari kedamaian, yang titik ekstrimnya berbentuk kekerasan. Fenomena ini yang ditengarai mulai berbenih di Indonesia, seiring munculnya berbagai pemboman yang dikait-kaitkan dengan gerakan keagamaan tertentu. Pemahaman yang mendorong lahirnya kekerasan berwajah agama ini, sejatinya bukanlah arus utama pada konteks masyarakat beragama di Indonesia. Namun demikian, patutlah ia menjadi keprihatinan bersama yang harus kita carikan solusinya.

Pada titik inilah, kita bisa melihat bahwa madrasah bisa menjadi salah satu potensi sosial yang sangat besar. Di Jawa Barat sendiri jumlah madrasah cukup signifikan. Baik madrasah yang dikelola oleh pemerintah disebut madrasah negeri dan madrasah yang dikelola oleh swasta yang disebut madrasah swasta. Hal ini terkait dengan agama yang mayoritas dipeluk oleh warga Jawa Barat, yaitu agama Islam. Mengingat jumlahnya yang signifikan, maka menjadi sangat strategis untuk memposisikan pendidikan madrasah sebagai bagian dari gerakan membangun masyarakat Islam Indonesia yang berperadaban. Dalam bahasa yang lebih sederhana, madrasah potensial untuk diarahkan menjadi pilar penyebaran kesadaran konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada umat Islam. Di mana, salah satu indikasinya adalah kesediaan berbagi dan bekerjasama dengan umat lain dalam menciptakan realitas sosial yang lebih baik. Dan ide-ide ini, salah satunya bisa direalisasikan melalui peningkatan mutu pendidikan kewargaan (civic education) di madrasah. Melalui pendidikan kewargaan (civic education), diharapkan para lulusan berbagai institusi pendidikan di Indonesia (khususnya madrasah), bisa memiliki kerangka berpikir demokratis, berkesadaran hukum, dan punya empati sosial dalam kerangka keindonesiaan yang majemuk.


Civic Education:

Perlu Pengembangan Pada Isu-Isu Strategis

Sejauh ini, kita bisa menemukan bahwa pendidikan kewargaan (civic education) telah menjadi bagian dari kurikulum formal di berbagai sekolah yang ada di Indonesia, baik yang bernaung di bawah Diknas (baca: sekolah) maupun yang bernaung di bawah Depag RI (baca: madrasah), dalam bentuk mata pelajaran PPKN. Perkembangan ini tentunya sangat positif, terutama jika dikaitkan dengan realitas madrasah yang merupakan bagian signifikan dari sistem pendidikan di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan kewargaan (baca: PPKN) bukanlah materi asli yang sudah sejak dahulu ada dalam kurikulum madrasah. Terutama misalnya jika dibandingkan dengan materi-materi seperti aqidah, akhlaq, ilmu Qur’an, ilmu hadits, dan semacamnya. Keberadaan pendidikan kewargaan dalam kurikulum madrasah, merupakan bagian dari pencarian model pendidikan yang paling tepat untuk menumbuhkan kesadaran keindonesiaan yang bertaut dengan kesadaran global.

Pendidikan kewargaan ini tampaknya merupakan semacam revisi atau koreksi terhadap mata pelajaran PMP atau PSPB yang di rezim pemerintahan pra-reformasi, dinilai lebih sebagai sarana konsolidasi politik untuk mengukuhkan kekuasaan yang otoriter. Dibandingkan misalnya, untuk melahirkan masyarakat kritis yang memiliki kesadaran dan kapasitas untuk melakukan perbaikan sosial di tengah kondisi Indonesia yang majemuk.

Karena civic education bukan merupakan sesuatu yang genuine atau produk asli kurikulum madrasah, kiranya kita bisa menangkap beberapa persoalan atau issue strategis yang belum tereksplorasi secara relatif tuntas. Pertama, menyangkut keselarasan. Adakah misalnya, keselarasan antara prinsip, nilai dan ajaran yang dimuat dalam pendidikan kewargaan dengan prinsip, nilai dan ajaran Islam yang diyakini dan menjadi ruh madrasah (yang biasanya berhimpitan atau menjadi bagian dari pesantren)? Kedua, menyangkut problema metodologi pengajaran. Apakah metode yang dikembangkan oleh guru-guru di madrasah, telah cukup memadai sehingga keluaran atau output pendidikan di madrasah memiliki cara berpikir dan perilaku sosial yang mendekati idealitas versi civic education?

1 comment:

DUNIA QOWIM said...

Aku kira bagus tulisan kang Ali. Civic education palingtidak bisa dikembangkan dengan isu keindonesiaan dan keislaman. Maka petanya menjadi kewarganegaraan-Islam-Keindonesiaan. Bravo tuk Kang Ali.....