Hampir kita semua mengetahui, dibanding laki-laki, perempuan di negeri ini, biasanya menerima upah lebih rendah dan lebih banyak memasuki sektor kerja informal. Kerja pada sektor ini tidak jarang dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak memebutuhkan ketrampilan khusus. Kenyataan ini mendorong banyak perempuan untuk mencari kerja yang lebih menghasilkan uang, sekalipun harus ke luar negeri, meninggalkan anak dan suami. Para perempuan ini memilih untuk menjadi buruh migran (TKI/W), dengan harapan bisa lebih mendatangkan uang untuk kesejahteraan hidup keluarga, minimal membantu meringankan beban suami atau keluarganya.
Padahal, hampir kita semua mengetahui, kegiatan menjadi buruh migran, selain dapat menghasilkan uang lebih banyak, juga mendatangkan resiko terancam berbagai tindak kejahatan perdagangan manusia (trafficking). Trafficking ini dapat mengancam buruh migran sejak tahap rekruitmen, pra-keberangkatan (pelatihan atau penampungan), tahap keberangkatan, masa kerja, kepulangan dan pasca kepulangan. Meski kejahatan trafficking juga dapat dialami laki-laki, tetapi fakta yang kerap muncul menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menjadi sasaran kejahatan ini.
Disamping rentan dengan berbagai resiko, buruh migran juga kurang mendapatkan perlindungan dan pembelaan yang tegas dari pemerintah, terutama jika mereka terjerat trafficking. Padahal, sesungguhnya para buruh migran ini adalah pahlawan devisa yang mampu mengalirkan uang triliyunan rupiah ke negeri ini. Tetapi pemerintah justru berpangku tangan, ketika mereka diperas, baik oleh para petugas maupun mereka yang berkecimpung dalam penyelenggaraan dan pengiriman buruh migran; calo-calo dan PJTKI-PJTKI yang nakal, atau pihak-pihak lainnya.
Data dari Women Research Institute menyebutkan bahwa, sekarang ini sekitar 72 % dari kurang lebih empat juta buruh migran adalah perempuan yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan rumah tangga. Artinya, sekitar tiga juta perempuan buruh migran sangat rentan terancam diskriminasi dan trafficking.
Namun, upaya melindungi buruh migran, terutama yang bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, masih sebatas wacana. Karena upaya ini dilakukan masih sebatas langkah awal printisan. Ini dilakukan antara lain melalui pembuatan nota kesepahaman dengan negara-negara penerima buruh migran.
Mestinya upaya perlindungan tersebut tidak hanya sebatas wacana, tetapi berupa langkah-langkah kongkrit untuk menghadirkan sistem perlindungan yang baik para buruh migran. Karena penempatan buruh migran, tanpa dilengkapi dengan sistem perlindungan yang baik, maka identik bahkan sama dengan kejahatan perbudakan. Dimana keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan perempuan buruh migran sepenuhnya tergantung pada lingkup privat keluarga tempatnya bekerja.
Akar persoalan buruh migran ini -bila dilihat dari sisi hukum legal- sangat terkait dengan UU No. 39 th. 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini menempatkan pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas dan sekaligus pelaksana. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah bisa menjadi pembina dan pengawas yang obyektif, jika pada saat yang sama juga memiliki kepentingan sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja? Inilah salah satu akar persoalan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Parahnya, perlindungan terhadap buruh migran dengan dasar UU di atas dijalankan sebagai program atau proyek belaka, dan bukan sebagai tanggung jawab negara kepada warganya, sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam UU No. 39 th. 2004, perlindungan hanya diberikan ketika buruh migran menghadapi persoalan. Itu pun hanya berlaku di negara penerima yang telah memiliki kesepakatan dengan negara kita, seperti Korea Selatan da Kuwait. Padahal, dalam konnteks buruh migran, perlindungan harus diberikan sejak rekruitmen, hingga tahap pascapemulangan.
Selain itu sikap pemerintah selama ini juga menjadikan buruh migran rentan menjadi sasaran trafficking. Pemerintah memperlakukan para buruh migran seolah-olah sebagai individu yang sekedar melakukan lawatan ke luar negeri. Seringkali, begitu mereka sampai di negara tempat kerja, tidak jelas lagi siapa pihak yang bertanggungjawab untuk melindungi mereka. Pihak perwakilan pemerintah di luar negeri, Kedutaan Indonesia di sejumlah negara tempat perempuan buruh migran bekerja, kurang memiliki pranata yang cukup memadai untuk dapat melindungi mereka.
Hal lain yang tidak bisa dilewatkan sebagai sumber kejahatan terhadap buruh migran adalah masih rendahnya kwalitas pelatihan kerja yang mereka dapatkan. Perempuan yang bekerja di luar negeri mestinya dibekali dengan keahlian yang dibutuhkan di tempat kerja dan juga ketrampilan komunikasi praktis yang diperlukan. Namun, berdasarkan data dari Migran Care, biasanya PJTKI hanya memberi pelatihan kerja selama tiga minggu dari tiga bulan yang digraiskan dan diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigasi RI (Haryati, 2004). Kwalitas peserta pelatihan pun tentu saja asal-asalan. Sementara kontrol pemerintah akan proses dan materi pelatihan pun masih lemah (Sita Aripurnami, 2006). Sementara itu, dari kasus yang muncul, bahwa salah satu sumber kekerasan atau kejahatan lain yang dilakukan majikan atau pihak lain kepada buruh migran adalah kurangnya kapasitas kwalitas kerja buruh migran itu sendiri. Oleh karena itu, uapaya peningkatan kwalitas kerja buruh migran, terutama perempuan, menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan dalam rangka mencegah kejahatan dan kekerasan terhadap mereka.
Yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa upaya perlindungan buruh migran dari segala kejahatan trafficking dan kekerasan lainnya hendaknya tidak lagi menjadi cita-cita mulia saja, tetapi menjadi sesuatu yang segara terwujud.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon pada th. 2005)
No comments:
Post a Comment