Wednesday, August 25, 2010

Transformasi Diri Menuju Kebahagiaan Hakiki: Kajian atas Kitab Kimia Sa'adah Karya al-Ghazali


Oleh: Ali Mursyid

Kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia. Karenanya orang mau melakukan apapun untuk mencapainya. Banyak cara, kiat-kiat, teknik-teknik bagaimana menggapai kebahagiaan dalam hidup. Motivasi untuk mencapai kebagaiaan, sesungguhnya motivasi hidup manusia yang tertinggi. Bahkan dikatakan bahwa Islam hadir bertujuan untuk menciptakan “sa’adatun nas fi al-darain” (kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat)

Kebahagiaan diukur dengan cara yang berbeda dan pada hakekatnya ukuran kebahagiaan bisa berjenjang. Ada manusia yang mengukurnya sebatas capaian materi atau materialistik, dan merasa telah cukup sampai di sana, namun ada yang menganggap capaian kebahagiaan berbasis materi tak akan membawa manusia dalam kebahagiaan sejati. Capaian kebahagiaan terakhirlah yang kerap dinamakan sebagai kebahagiaan keruhanian.

Nilai-nilai kebahagiaan banyak diajarkan ajaran-ajaran luhur. Ini sebenarnya sudah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu, mulai dari kebebasan Stoic, Kimia Kebahagiaan (Kimia Sa’adah) Al-Ghazali, Pencerahan ala Budha bahkan kepuasan ajaran kuno Epicularean. Namun gelombang modernitas perlahan-lahan menggerusnya. Akibatnya, kini prinsip-prinsip adiluhur tersebut bagaikan harta-karun yang terlupakan.

Tulisan ini akan memaparkan tentang salah satu konsep kebahagiaan, yang bersumber dari ajaran luhur para pendahulu, yaitu konsep Kebahagiaan menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya “Kimia Sa’adah” (Kimia Kebahagiaan).

Pilihan kata “Kimia” sendiri, menurut pengkaji pemikiran al-Ghazali di Mesir, Sulaiman Dunia, ini dengan maksud untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan perubahan kimiawi di dalam diri seorang manusia, dan bukan perubahan fisikawi. Perubahan kimiawi yang dimaksud al-Ghazali adalah perubahan yang tidak bersifat fisik, bukan perubahan dalam arti perubahan jasad wadag, akan tetapi perubahan yang bersifat non fisik, non materi, perubahan jiwa, batin, pikiran dan perasaan, yang dapat menghantarkan sesorang dapat menggapai kebahagiaan sejati. Jadi maksud dari “Kimia Kebahagiaan” adalah sebuah konsep untuk yang menghantarkan transformasi ruhani seseorang agar dapat menggapai kebahagian hakiki.

Untuk menghantarkan pada tujuan tersebut al-Ghazali membagi pembahasan bukunya kedalam beberapa bagian berikut; Penduhuluan; Bagian pertama mengantarkan ke pembahasan pokok; Bagian kedua penjelasan bagaimana mengatahui diri atau jiwa kita; Bagian ketiga penjelasan mengenai hati dengan berbagai ‘bala tentara’ pendukungnya; Bagian keempat tentang keajaiban-keajaiban hati.

Pada bagian pendahuluan, al-Ghazali membuka kitab Kimia Sa’adah (kimia kebahagiaan) ini dengan basmalah, hamdalah, shalawat dan salam. Ini disampaikan dengan bahasa yang indah, dengan diksi yang terpilih dan irama kata yang menggugah. Sayangnya pada bagian pendahuluan ini tidak dijelaskan apa motif al-Ghazali menuliskan buku ini, apakah karena al-Ghazali menganggap penting untuk menuliskan buku ini atau karena ada permintaan dari penguasa atau pihak-pihak lainnya? Karena tidak ada penjelasan maka tidak bisa diketahui latar belakang mengapa buku ini ditulis dan untuk kepentingan siapa.

Pun demikian, bila dilihat dari sejarah hidup beliau, buku Kimia Sa’adah ini ditulis setelah al-Ghazali menulis buku al-Munqidh min al-Dhalal. Kalau buku al-Munqidh min al-Dhalal berisi pencarian dan kritik al-Ghazali mengenai epistemologi kebenaran, dan berkesimpulan bahwa epistemologi sufilah yang dipilih, maka dalam buku Kimia Sa’adah, al-Ghazali boleh jadi hendak menegaskan pilihan jalan sufinya itu, dengan menawarkan konsep kebahagiaan menurut sufi. Jadi, Kimia Sa’adah adalah penegasan akan kebenaran epistem sufistik yang dipilih al-Ghazali. Dengan buku ini, al-Ghazali hendak menyatakan bahwa jalan sufi bukan hanya benar, tetapi dapat menghantarkan pada kebahagiaan sejati.

Pada bagian pengantar, al-Ghazali menjelaskan bahwa pembicaraan mengenai Kimia Kebahagiaan adalah pembicaraan yang sangat berharga, dan bukan pembicaraan rendahan. Racikan kebahagiaan ini juga, menurutnya, adalah racikan yang hanya disandarkan pada ajaran Nabi Muhammad saw. Karena menurutnya, jalan menuju kebahagiaan dapat ditempuh dengan benar bila merujuk pada ajaran Muhammad yang dihayati dengan benar. Di antara yang diajarkan Muahammad adalah bahwa kebahagiaan atau keberuntungan bukan hanya berarti keburuntungan material, tetapi yang lebih penting adalah keberuntungan spiritual.

Pada bagian selanjutnya, bagian ketiga, al-Ghazali mulai menjelaskan bagaimana seseorang dapat meraih kebahagiaan melalui jalan spiritual. Mula-mula dijelaskan apa itu bahagiah dengan berbagai ragamnya. Dikatakan dalam buku ini:

“Kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap makhluk hidup. Ada yang bahagia bila terpenuhi urusan makan, minum dan segala kebutuhan biologisnya, maka ini adalah kebahagiaan kelompok binatang ternak (baha’im). Ada yang merasa bahagia bila berhasil melakukan penyerangan, bisa mengalahkan dan bahkan membunuh lawan, ini adalah kebahagiaan bagi kelompok binatang liar (siba’). Ada yang merasa bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat, ini adalah kebahagiaan bagi syaitan. Sementara kebahagiaan bagi para malaikat adalah kebahagiaan bisa taat kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa bisa membangkang, tidak memiliki syahwat dan tidak pernah marah.” (hlm. 4)

Setelah menjelaskan model dan ragam kebahagiaan di atas, al-Ghazali memberi pilihan kebebasan bagi kita. Silahkan apakah kita mau memilih kebahagiaan yang model mana? Jika kita hanya sibuk mencari materi untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan, minum dan bahagia hidup berumah tangga, maka apa beda kita dengan binatang ternak? Bila kita hanya sibuk dan senang berbuat anarkhis maka mungkin kita ini tidak ada bedanya dengan binatang buas. Jika kita senang dan bahagia dengan melakukan penipuan, sering berbuat curang untuk keuntungan pribadi, maka mungkin kita tidak berbeda dengan syaitan. Dan jika kita ini merasa berbagaia dengan berbuat baik, senang melakukan ketaatan kepada Allah, menjalankan sunnah Nabi, berbuat baik kepada sesama, maka mungkin yang menguasai diri kita adalah unsur kebahagiaan malaikat.

Manusia sendiri, menurut penulis buku ini, sesungguhnya terdiri dari berbagai unsur di atas, unsur binatang ternak, binatang buas, syaitan dan malaikat. Unsur mana yang paling dominan dalam diri setiap orang, akan mempengaruhi bagaimana ia menggapai kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Ghazali menyebutkan bahwa tempat kebagiaan tertinggi bagi orang pada umumnya (awam) adalah kebahagiaan surga, sementara kebahagiaan tertinggi bagi orang-orang spesial (khawash) adalah menggapai ridha Allah swt.
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk menggapai kebagiaan tertinggi, manusia harus terlebih dahulu mengenal dirinya, mengenal jiwanya. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa (nafs) manusia, terbagi menjadi dua hal, yaitu hati (qalb) dan ruh. Hati (qalb) di sini bukan berarti qalb dalam arti fisik yang terdapat dalam dada tiap manusia, tetapi qalb dalam arti ruhani dan bathini. Qalb semacam inilah yang merupakan bagian dari nafs yang dibebani taklif untuk ta’at kepada Allah swt, yang akan menerima pahala dan dosa, yang dapat merasakan bahagia dan sengsara. Qalb lah yang dapat ma’rifat kepada Allah swt.

Terkait dengan qalb ini, dijelaskan bahwa Allah swt mencipatakan dua alam yang berbeda, ‘alam khalqi dan ‘alam amri. Ini sesuai firman Allah swt: alâ lahû al-khalqu wa al-amru. Manusia sejatinya terdiri dari alam khalqi dan alam amri sekaligus. Alam khalqi adalah ciptaan Allah swt yang mengenal dimensi panjang, lebar dan terukur serta bisa dihitung. Sedangkan alam amri sebaliknya, yaitu ciptaan Allah yang tidak mengenal dimensi panjang, lebar, tidak terukur dan tidak bisa dihitung. Qalb insan adalah tergolong alam amri dan bukan alam khalqi, karena qalb yang dimaksud bukanlah hati dalam arti fisik.

Sementara itu ruh, adalah sebagian besar tetap menjadi rahasia Allah, yang juga terdapat dalam ‘alam amri. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt: “wa yas’alûnaka ‘an al-rûhi qul al-rûhu min amri rabbi, wamâ utîtum min al-‘ilmi illâ qalîla”, ayat ini diterjemahkan al-Ghazali dengan: “orang-orang bertanya kepadamu Muhammad, tentang persoalan ruh. Katakanlah bahwa ruh itu merupakan ciptaan Allah yang tergolong ‘alam amri. Kamu sekalian tidak diberi pengetahuan mengenai hal ini kecuali sangat sedikit” Agama atau syariat Islam, tidak memerintahkan, menganjurkan dan tidak berkepentingan untuk mengetahui ruh ini. Karena kewajiban agama adalah bukannya mengetahui ruh, yang memang urusan Tuhan, tetapi kewajiban agama adalah beribadah, bermujahadah kepada Allah dan mengetahui tanda-tanda hidayah Allah. Sebagimana dikatakan dalam firman Allah; “Wa al-ladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannâ subulanâ”. Dalam hal ini al-Gazali menyatakan bahwa barang siapa tidak bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menggapai hidayah Allah maka tidak akan dapat mengetahui hakikat ruh (hlm. 11).

Penjelasan selanjutnya, bagian keempat, mengenai qalb dan para ‘bala tentara’-nya, atau dengan istilah lain, hati dan para anggota pelaksananya. Sebagaimana konsep sufi pada umumnya, al-Ghazali menyatakan bahwa jiwa (nafs) manusia itu bagaikan sebuah kota. Hati adalah rajanya, syahwat adalah wali kotanya, akal adalah panglimanya, kekuatan marah adalah para polisinya yang memiliki dendam kesumat. Hati sebagai raja menasihati sehingga kerajaan kotanya dapat tenang. Menasihati ini harus terus dilakukan oleh hati, karena wali kota-nya adalah syahwat, dan kekuatan marah menjadi polisi kota-nya, jika hati berhenti menasihati maka hancurlah kota tersebut, hancurlah jiwa manusia. Hati sebagai raja juga harus berembug dengan panglima (akal) dan menjadikan wali kota (syahwat) dan polisi (amarah) mesti terkenadli oleh panglima (akal). Jika ini yang terjadi maka kota (jiwa manusia) akan tenang dan bahagia.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kebahagiaan sejati dapat diraih dengan memperhatikan tiga hal dalam diri kita, yaitu: kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu. Untuk mencapai kebahagiaan, orang harus mengurangi dan memenaj sedemikian rupa, kekuatan amarah dan kekuatan syahwatnya. Jika tidak maka, baik amarah maupun syahwat sesungguhnya cenderung merusak diri sendiri. Dengan memanej amarah, sesorang bisa bersikap sabar, tenang dan bahagia. Dan dengan menjaga syahwat seseorang dapat menjaga kehormatan dan muru’ahnya. Meski manusia, sebagai binatang, dibekali dengan sifat amarah dan sifat syahwat, tetapi manusia diberi kelebihan lain yang tidak dikaruniakan pada binatang. Yaitu ilmu yang puncaknya bisa mencapai ma’rifatullah. Inilah yang mengantarkan pada kebahagiaan sejati, menurut al-Ghasali.

Pada bagian akhir, al-Gazali menjelaskan keajaiban-keajaiban hati. Di antaranya dia menjelaskan bila hati seseorang suci, dituntun agama, menjahui segala kekotoran lahir dan bathin maka hatinya bersih bagai cermin. Sehingga terkadang timbul berbagai keajaiban, seperti bisa mengetahu kejadian yang belum terjadi, bisa mengetahui berbagai hal tanpa melalui proses belajar sekalipun. Ini karena hati bersih bagai cermin, sementara lauh mahfudz juga bagaikan cermin, maka teranglah bagi hati yang bersih segala ketentuan Allah swt yang ada di lauh mahfudz.

Demikianlah konsep racikan kimia kebahagiaan menurut Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebuah konsep kebahagiaan ruhani dengan pendekatan khas sufi dan berbasiskan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Wallahu a’lam bi al-shawab
____________
Penulis adalah anggota kajian Rumah Kitab dan dosen UIN Syahid dpk di IIQ Jakarta. Tulisan ini adalah hasil kajian Kitab Mingguan di Rumah Kitab.

Friday, July 16, 2010

Kitab Kuning Pasca Gus Dur

29/06/2010
Oleh Affandi Mochtar

Kitab kuning sebagai khasanah Islam yang banyak dikaji di pesantren, khususnya pesantren tradisional, sesungguhnya masih menjadi rujukan utama bagi keberagamaan umat Islam di Indonesia. Namun sayangnya, karena dianggap ‘tradisional’ maka promosinya dan citranya tidak sebaik manfaatnya. Presiden keempat RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu tokoh yang membuktikan keunggulan literatur pesantren yang bernama kitab Kuning ini.

Almarhum Gus Dur adalah sosok yang lahir dari keluarga kyai dan pesantren yang akrab dengan Kitab Kuning. Pendidikan dasarnya ditempuh di lingkungan pendidikan pesantren, yang mempelajari Kitab Kuning. Dia belajar ke luar negeri, ke Mesir, ke Irak di Baghdad, juga belajar agama dengan literatur kitab kuning. Dia balik ke Indonesia, juga menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas, yang tidak terlepas dari kitab kuning. Pada masa awal kepempimpinannya di NU, dia menghidupkan kajian kitab kuning. Dia diundang ke berbagai seminar, berbicara di berbagai forum dengan perspektif kitab kuning, yang di dalamnya terdapat berbagai pandangan ulama yang beragam mengenai berbagai hal.

Ketokohan Gus Dur mendorong kitab kuning menjadi salah satu referensi pemikiran Islam di Indonesia. Kalau orang memberi penghargaan intelektual pada Nurcholish Madjid (Cak Nur) misalnya, maka salah satu point penilaiannya adalah karena Cak Nur bisa membaca dan menguasai kitab kuning, sebagaimana Gus Dur. Betapa kitab kuning oleh Gus Dur menjadi element penting bagi pemikiran Islam di Indonesia. Di tangan Gus Dur, kaedah-kaedah yang bersumber pada Kitab Kuning dicoba eksperimenkan untuk menyelesaikan berbagai masalah di negeri ini.

Memang kita akui bahwa landasan dasar keberagamaan umat Islam adalah al-Qur’an dan Hadis. Tetapi hanya merujuk pada al-Qur’an dan Hadis begitu saja, akan menyebabkan terjadinya simplikasi. Dan jika jika hanya langsung merujuk pada teks Al-Qur’an dan Hadis tanpa melihat pandangan ulama dan proses berfikirnya, maka berarti mengabaikan proses pemikiran, metode penalaran ulama yang begitu kaya yang terdiri dari ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh dan lainnya. Jika ini yang terjadi, maka berarti kita membaca Al-Qur’an dan Hadis tidak dengan ilmunya. Padahal cara menafsirkan teks itu sendiri sesungguhnya sangat complicated. Inilah yang gagal ditangkap oleh banyak orang sekarang ini. Sepertinya hanya dengan berdasarkan ayat Al-Qur’an yang ditemukan dari koran, majalah, buletin atau internet lalu seseorang bisa berdalil atas sesuatu, menghukumi sesuatu. Ini adalah pendangkalan khasanah Islam, yang sesungguhnya sangat kaya raya. Akan terjadi missing link yang panjang kalau kita mengabaikan kahzanah Islam seperti yang ada di kitab kuning.

Karena itu, sekarang ini, sepeninggal Gus Dur, kita hendaknya tidak membiarkan kitab kuning kembali hanya dikaji di pesantren-pesantren saja, dan tidak mewarnai keberagaman kita sehari-hari. Untuk itu menurut hemat saya, sepeninggal Gus Dur, sepeninggal tokoh kuat yang dapat membawa kitab kuning ke kancah nasional, kita berkewajiban menjaga posisi kitab kuning sebagai referensi utama dalam keberagamaan kita.

Untuk itu paling tidak ada beberapa langkah perlu dilakukan: Pertama, membentuk Kitab Kuning Study Centre, yang berusaha menyediakan koleksi kitab kuning dan hasil kajian serta penelitian tentang kitab kuning yang pernah dilakukan. Dalam hal ini, secara kreatif kita bisa mensosialisasikan kitab kuning melalui perpustakaan digital dan Library Mobile, mobil perpustakaan kitab kuning. Suatu saat mungkin jika ada acara Bahtsul Masail di suatu daerah, maka mobil perpustakaan kitab kuning ini bisa diberangkatkan ke daerah tersebut. Demikian juga jika ada kajian yang memerlukan perpusatakaan Kitab Kuning.

Kedua, dalam rangka mengembalikan posisi penting Kitab Kuning sebagai literatur keberagamaan kita, maka kita perlu menggelorakan forum Bahstul Masail, yang merupakan forum kajian atas berbagai masalah yang dibahas dengan basis rujukan dan perspektif Kitab Kuning. Ini adalah forum dan sekaligus juga sebagai instrumen untuk pengembangan berfikir kritis. Untuk menggelorakan forum Bathsul Masail, maka kiranya perlu digagas penyelelenggaraannya Bahtul Masail yang tidak sebatas di lingkungan kalangan pesantren saja, tetapi juga merambah tempat dan kalangan lebih luas lagi. Seperti di masyarakat pada umumnya, di masyarakat kelas menengah atau kalangan professional. Atau kita juga bisa melaksanakan Bahtul Masail di Perguruan-Perguruan Tinggi, termasuk Perguruan Tinggi umum. Ini penting, agar kalangan Perguruan Tinggi umum bukan hanya disuguhkan model model dakwah Islam ala tarbiyah dan usroh saja. Dengan Bahtsul Masail ini mereka akan tahu model kajian Islam yang lebih otoritatif, sekaligus juga beragam dan bervariatif.

Ketiga, kita perlu menggelorakan kembali kajian-kajian Kitab Kuning, dengan berbagai variasi studinya. Secara sederhana yang disebut dengan kajian atau mengaji kitab kuning adalah membacanya dan menerjemahkannya serta menjelaskan isi kandungannya. Namun sebagai upaya pengembangan, kajian atau pengajian Kitab Kuning juga bias dilakukan dengan pola kontekstualisasi, membacanya, menjelaskan kandunagnnya, dan kemudian mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat. Serta tidak lupa dicarikan legitimasi ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi-nya.

Keempat, dalam rangka menggelorakan studi atas kitab kuning maka kiranya perlu ada riset atas Kitab Kuning. Riset ini bisa dilakukan dari yang paling sederhana, seperti riset yang dilakukan untuk keperluan tahqiq, sampai dengan riset yang dilakukan sebagai sebuah studi wacana, studi kritis dan seterusnya. Untuk mewujudkan kegiatan penelitian kita perlu berjejaring dengan banyak pihak, tokoh, akitifs dan para peneliti. Termasuk jaringan lembaga penelitian di dalam dan di luar negeri.

Kelima, selain kajian dan penelitian, kiranya kita juga perlu mewujudkan model kajian Kitab Kuning yang lebih kreatif, termasuk memanfaatkan teknologi informasi. Walaupun secara khas namanya sorogan, bandongan, wetonan dan bahtsul masail tetap kita pertahankan, tetapi kita juga perlu membuat model pembelajaran Kitab Kuning yang berbasis teknologi informasi. Secara sederhana, misalnya saja kita membuat daftar glosari bagi kosa kata yang sering terulang-ulang dalam Kitab Kuning. Pada perkembanganya, glosari bias dikompilasi dan disusun menjadi sebuah kamus, Kamus Kitab Kuning. Itu sebagai salah satu contoh mudah.
Keenam, perlu ada kegiatan penerbitan yang mencoba melakukan reproduksi dan kreasi wacana dan kandungan kitab kuning. Penerbitan ini penting sebagai media sosialisasi dan penyebaran wacana hasil-hasil kajian dan penelitian atas Kitab Kuning.

Keenam, gagasan untuk melangkah di atas sungguh timbul dari kepekaan diri atas termajinalkannya kembali posisi Kitab Kuning di jagad intelektual Indonesia. Kepedulian ini bukan sesuatu yang istimewa, tetapi lebih merupakan panggilan jiwa. Kalau kita tidak lagi peka dan terlibat menyelamatkan posisi strategis Kitab Kuning dalam kebergamaan kita ini, maka nanti ada sesuatu yang dihilang di masa yang akan datang itu. Dan indikasi akan hal tersebut sudah mulai Nampak.

Sebagai contoh mudah, beberapa minggu lalu diberitakan ada kelompok waria bikin acara kemudian dibubarkan oleh kawan-kawan kita. Jauh sebelum itu, banyak peristiwa yang penyelesaianya bukan dicarikan dari dalam, tetapi dicarikan dalil dan fatwanya dari luar. Ini karena keberagamaan kita tidak lagi merujuk atau menggali dari para pandangan ulama terdahulu yang ada di Kitab Kuning.

Contoh lainnya, sebut saja misalnya bahwa para penghafal Al-Qur’an, hafidz dan hafidzah di Indonesia selama ini belajar dari guru-guru ahli al-Qur’an yang ada di pesantren-pesantren tanah air. Seperti kyai Ali Ma’shum Krapyak, Mbah Arwani Kudus dan Kyai Mufidz Pandanaran. Belakangan mereka dituntut memiliki sanad dari Saudi Arabiyah, dari Qatar. Nanti kemudian di sertifikasi. Lalu dengan sertfifikat itu kemudian bisa minta bantuan dari negeri-negeri Timur Tengah, seperti Arab Saudi. Saya kira untuk kepentingan teknis, agar hafalanya bagus dan jaringannya luas maka itu sah-sah saja. Tetapi ini berarti keindonseiaan klita dalam konteks keberagamaan itu didegradasi. Ini mengerikan, karena menyangkut otoritas keberagamaan dan ke-Indonesia-an yang krisis.

Di sisi lain, sekarang ini ada fenomena premisif terhadap berbagai element yang afailiasinya ke Barat; meski itu atas nama demokrasi, pluralisme dan lainnya. Menurut saya, ini seperti melanggengkan kolonialisasi. Menghadapi ini kita perlu memproyeksikan Reinventing Indonesian Islam. Dalam hal ini,minimal kita dapat bercermin pada pada periode 80-an, melalui gagasan Mbah Ahmad Shiddiq, yang berhasil merumuskan keislaman Indonesia sedemikain rupa. Dengan konsep Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim)ز

Selain keenam langkah di atas, kita juga perlu menggelorakan kembali pendidikan humanistik di negeri ini. Kenapa menggagas pendidikan, karena syarat terciptanya peradaban yang luhur, adalah adanya pendidikan yang baik. Kenapa memilih pendidikan humanistik, karena pendidikan humanistik bersentuhan langsung dengan upaya memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat. Ini berbeda dengan pendidikan skolastik, yang hanya berorientasi mengisi otak para peserta didik, tanpa disertai upaya pemberdayaannya.

Salah satu contoh produk pendidikan humanistik adalah Gus Dur. Dia disebut sebagai guru bangsa, padahal tidak pernah bekerja menjadi guru. Ini karena penyuaraan Gus Dur yang selalu berpihak pada kemanusiaan. Apa yang disuarakannya dalam setiap forum ini kedengaran di plosok-plosok dan menggerakan masyarakat di daerah-daerah.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tokoh-tokoh kita dan pimpinan-pimpinan kita yang sekarang ada lebih banyak lahir dari proses politik. Ini yang membuat mereka terlihat sangat praktis dan pragmatis. Dengan menghidupkan kajian Kitab Kuning pasca Gus Dur ini, kita memimpikan lahirnya calon tokoh dan pemimpin yang memiliki paradigma yang cukup dan memadai.

Said Aqiel Siradj Pasca Gus Dur

KH. Said Aqiel Siradj, ketua umum PBNU sekarang ini, sesungguhnya tokoh yang bisa diharapkan melakukan langkah-langkah dinamisasi kitab kuning sehingga kembali pada posisi strategisnya, sebagaimana pada era kepemimpinan al-maghfurlah Gus Dur.

Kang Said –panggilan akrab KH. Said Aqiel Siradj- terlahir dari keluarga pesantren Cirebon, dibesarkan di lingkungan pesantren yang kental dan salaf. Belajar ke Timur Temgah, khususnya di Madinah, belajar berbasis kitab-kitab salaf, kitab-kitab kuning. Kemudian berperan di dunia internasional sebagai tokoh intelektual muslim yang berbasis nalai-nilai Islam tradisional pesantren, nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning. Ketika beliau diminta pulang ke tanah air oleh Gus Dur, dan beberapa saat menemani beliau, juga selalu berusaha menghidupkan kajian kitab kuning. Lontaran wacananya yang mencoba menegaskan kembali Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah di tubuh NU, sungguh merupakan hasil bacaan yang cemerlang terhadap khazanah Islam pesantren, kahzanah kitab kuning.

Sesibuk apa pun, Kang Said selalu saja menyempatkan diri untuk member pengajian. Ini dilakukannya di rumahnya, minimal setiap Selasa malam Rabu beliau member pengajian bandongan, dengan membacakan kitab Mafatih al-Ghaib atau Tafsir Kabir karya Al-Razi di hadapan ratusan audience (mustami’in) yang dengan suka rela dating ke kediamannya. Tidak sedikit dari mereka yang mengaji ini adalah para dosen ulumul Qur’an dan tafsir dari perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah air. Dari berbagai khidmah beliau terhadap kajian dan pengajian kitab kuning inilah, tampaknya Kang Said lah pemimpin NU, setelah Gus Dur yang bisa diharapkan kembali melakukan dinamisasi kitab kuning. Wallahu a’lam bi al-Shawab

* Penulis adalah Wakil Sekjen PBNU yang juga Sekdirjen Pendidikan Islam di Kementrian Agama RI. (Tulisan ini adalah ceramah di Parung akhir Mei 2010 yang disunting oleh Ali Mursyid)

Tuesday, May 18, 2010

Affandi Mochtar: “Agar Tidak Radikal, Pendidikan Islam Harus Belajar dari Pesantren”

“Agar tidak menjadi radikal, pendidikan Islam di Indonesia harus belajar dari pesantren”. Ini secara implisit dinyatakan oleh DR. H. Affandi Mochtar, MA, dalam acara penutupan workshop perpustakaan yang diselengarakan Dikti Depag RI, Minggu 16/05/2010 di Hotel Syahid Yogyakarta.

Selain Affandi Mochtar, pejabat Depag RI yang juga sekjen tanfidzh PBNU, narasumber lain yang hadir pada acara ini adalah Prof. DR. KH. Machasin, MA, pejabat Depag RI yang juga rais am PBNU. Hadir dalam acara ini, utusan dari berbagai perpustakaan PTAI dari seluruh pelosok negeri, baik negeri maupun swasta.

Pada kesempatan ini Affandi Mochtar menjelaskan panjang lembar mengenai peta pendidikan Islam Indonesia di era kontemporer. Mula-mula, Affandi menuturkan bahwa, pendidikan Islam di Indonesia sekarang ini, memang tidak seperti masa lalu. Jika pada masa lalu pendidikan Islam masih out of the ring, di luar sistem, maka sekarang pendidikan Islam sudah masuk dalam sistem, sudah termasuk dalam program pembangunan negeri ini. Dalam hal ini, pendidikan Islam bisa dipetakan menjadi Tiga Ranah besar.”

Pertama, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum. Ini sesungguhnya bukan wilayah pendidikan agama yang berada di bawah naungan atau kementrian agama. Pada ranah ini ada beberapa persoalan. Di antaranya ada yang menengarai bahwa pendidikan agama yang diselenggarakan oleh sekolah umum dan perguruan tinggi umum memiliki sumbangan bagi munculnya radikalisme agama dan kekerasan atas nama agama. Saya tidak tahu bagaimana tingkat kebenaran anggapan tersebut. Tetapi memang anggapan itu ada. Karena soal itu dan soal-soal lainnya maka pendidikan Islam di umum juga menjadi wilayah tanggungjawab kementrian agama. Dan melalui perpustakaannya, kita bisa membenahinya lewat pintu strategis ini.

Kedua, pendidikan Islam di madrasah. Ketiga, pendidikan Islam melalui Sekolah Diniyah dan Pesantren. Dari ketiga ranah tadi, nampaknya ada kontestasi antara perguruan tinggi agama Islam dengan pendidikan pesantren. Misalnya saja, pada kasus bahtsul masail, masyarakat masih percaya dalam hal ini, pada lulusan pesantren-pesantren tradisional, dari pada lulusan perguruan tinggi Islam, apalagi umum. Dalam hal ini lulusan perguruan tinggi Islam masih dipertanyakan kapasitasnya.

Lebih jauh Affandi menyatakan bahwa, karena keadaan di ataslah, kemudian kementrian agama RI menyelenggarakan Religius Studies dalam program pasca dan doctor di beberapa PTAIN (UIN) yang ada. Program ini kini mulai terlihat kemajuannya. Indikasinya adalah mulai banyaknya lulusan PTAI jadi ulama, jadi pengurus di PBNU. Misalnya, Prof. Dr. Machasin, jadi rais am di PBNU, dan DR. Malik Madani jadi ulama juga, jadi katib am di PBNU.

Selain itu juga, karena itulah juga Kementrian Agama menyelenggarakan pembenahan perpsutakaan di PTAI-PTAI, baik negeri maupun swasta. Pembenahan perpsutakaan yang dimaksud adalah bukan hanya berarti memajukan perpustakaan tetapi juga berarti membangun sesuatu yang lebih besar dari pada itu.

Pembenahan perpustakaan yang dilakukan melingkupi beberapa hal penting: (1) Penguatan Kelembagaan dan Kapasitas Perpustakaan. (2) Pembenahan konsep perpustakaan yang ada di madrasah-madrasah. (3) Pengembangan di perpustakaan di perguruan-perguruan tinggi. Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah regulasi, legalisasi dan SDM serta kapasitas perpustakaan itu sendiri. Di samping perpustakaan ini harus merawat manuskrip, ia juga lain harus melakukan digitalisasi perpustakaan. Ini memerlukan keseriusan dan enegri yang luar biasa.

Di luar itu semua, tingkat excelency perpustakaan bukan hanya soal saranannya yang lengkap tetapi juga tingkat kunjungan penggunanya yang lebih penting. “Untuk apa perpustakaannya bagus dan lengkap tetapi sepi pengunjung. Ke depan, nampaknya kita harus memiliki desain sendiri yang unik mengenai perpustakaan perguruan tinggi Islam, sisi uniknya di mana, ini harus jelas ke depanya”, kata Affandi dengan tegas.

Sementara itu Machasin banyak melontarkan berbagai tantangan dan kendala yang menghadang perpustakaan untuk bisa maju. Dari sisi internal, menurutnya kendaanya terutama kareana rendahnya budaya baca dan budaya berkunjung ke perpustakaan. Dari rendahnya budaya baca ini menyebabkan rendahnya perhatian ke perpustakaan, kata Machasin. Sedangkan masalah di luar perpustakaan, biasanya adalah soal gedung, SDM, dana dan manajemennya. “Nah ini semua insya Allah akan kita benahi tahap demi tahap, tuturnya. (Ali Mursyid)

Thursday, January 14, 2010

Dari Islam Indonesia untuk Kebangkitan Dunia

Ini adalah transkrip ceramah KH. Masdar F. Mas’udi dalam acara Harlah PMII Cirebon tahun 2008

Islam di Tengah Peradaban Dunia

Sekarang ini kita mesti rajin menyebarkan Islam sebagai agama damai dan rahmatan lil’ alamin. Karena belakangan muncul kecenderungan fundamentalisme dalam beragama, yang rajin mempromosikan kekerasan untuk berbagai kepentingannya. Kita mesti menekankan Islam yang ramah dan beradab di mata peradaban-peradaban yang lain.
Di dunia sendiri dengan mudah dapat dikatakan ada dua jenis peradaban. Peradaban yang anti agama dan peradaban yang berbasiskan pada transendetalisme agama. Ada dua peradaban anti agama atau anti spiritulitas yang datang belakangan yang dapat kita saksikan, yaitu peradaban Komunisme, dan Nazisme. Itulah peradaban modern yang dibangun berdasarkan paradigma anti spiritualitas. Dan umurnya betul-betul pendek.

Peradaban berbasis komunisme hanya berusia sekitar 60 tahun, bahkan kalau dilihat pada kejayaannya mungkin sekitar 40 tahun. Dia lahir akhir dekade ke-2, abad ke-20, persisnya revolusi Bolyswik pada th. 1917 di Rusia, dan berakhir --meskipun masih ada akar yang tersisa-- pada tahun 1979. Yang lebih pendek lagi usianya adalah peradaban anti spiritualitas, atheistic radikal, yaitu Nazisme. Nazisme lebih kasar terhadap agama, dan usianya hanya sekitar 15 tahun.

Sementara peradaban-peradaban dunia yang dibangun berdasarkan asumsi keagamaan, meskipun kadang-kadang perilakunya juga sama dengan yang anti agama, sama-sama menyukai kekerasan juga. Tapi usianya sungguh panjang, bisa ribuan tahun. Dan peradaban yang sekarang bertahan di abad 21 ini, hampir sama semuanya, yaitu peradaban yang dibangun berdasarkan asumsi-asumsi transendental.

Sebutlah misalnya Barat, peradabannya bertolak bukan hanya dari Kristiani 2000 tahun yang lalu, tetapi juga dari agama-agama yang sebelumnya. Seperti Mesir Iskandaria, dari Athena, mungkin juga mewarisi ajaran Ibrahim as, melalui Nabi Musa as, yang didikumenter melalui perjanjian lama. Jadi usianya sekitar sudah 4000 tahun.
Yang kedua peradaban China, itu berusia sekitar 3000 tahun, itu ada Budisme, confusianisme, yang menghargai spiritualitas transenden. Kemudian di Hindu, India, itu sudah berusia 3000 tahun. Yang paling muda adalah peradaban Islam, 1 setengah millenium, tepatnya 1500 tahun. Oleh sebab itu, saya kira masa depan peradaban, saya kira adalah masa depan peradaban berbasis agama, bukan lagi peradaban yang berbasis anti agama.

Dari 4 peradaban yang kita sebutkan tadi, dan sekarang yang percaturan yang menguasai dunia --bukan hanya secara budaya, tapi juga ekonomi, militer-- yang paling kuat adalah peradaban Barat. Posisi ke-2 dan ke-3 sekarang sedang diperebutkan adalah China dan India, dan yang paling aman adalah di posisi ke-4 itu untuk umat Islam.

Posisi yang paling terbelakang. Dan dalam posisi seperti inilah, maka limbah ketidakadilan dalam relasi global, itu yang paling banyak menerima limbahnya adalah umat Islam. Jadi kalau kita melihat berbagai kekerasan tingkat global, yang diderita oleh bangsa-bangsa muslim, mulai dari Palestina, Libanon, Irak, Afganistan, dan sebentar lagi kemungkinan besar Iran, itu 50% sebabnya atau mungkin malah lebih sebabnya adalah kelemahan yang ada pada umat Islam sendiri. Bukan semata-mata karena kerakusan dan keangkaramurkaan dari pihak lain. Seangkaramurka serakusnya orang lain kalau kita kuat, tidak akan terjadi kedzaliman terhadap kita

Ada sebuah teori kedokteran yang disebut dengan teori patogin, bahwa sebetulnya di kanan-kiri tubuh ini, itu begitu banyak virus, baik yang bersahabat maupun yang memusuhi kita. Tapi apabila tubuh ini daya tahannya baik, maka virus yang ada dikanan-kiri, yang semula memusuhi jadi bersahabat. Tapi sebaliknya apabila tubuh ini daya tahannya lembek, maka virus yang semula bersahabatpun bisa menjadi musuh kita. Mungkin ini rahasia ibda’ bi nafsik (memulai dari diri sendiri). Orang lain akan memusuhi kita dan akan memusuhi kita, tetapi bila kita kuat dan berwibawa, tidak akan berani mereka sembrono. Cuma kadang-kadang umat Islam menyukai menuding orang lain ketimbang menuding dirinya sendiri. Kata orang menuding 1 jari, tapi semua 4 jari keluar tanpa kita sadari. Sehingga kita sibuk menduing virus di kanan-kiri kita yang jumlahnya tidak terbatas. Tetapi kita melupakan membangun daya tubuh kita sendiri, saya kira ini persoalan mentaliti. Yang sungguh serius, kita tidak pernah menguatkan diri kita, tetapi rajin mengolok-olok pihak lain yang sudah kuat.

Dari Islam untuk Kedamaian

Bicara soal Islam yang damai, dan seterusnya. memang kita semua sama tahu kalau Islam itu berasal dari kata salam yang artinya damai, atau salom dari bahasa Yunani. Dalam hadits sangat jelas sekali, sudah clear, tidak perlu ditafsiri yang macem-macem. Al-musliman saliman muslimun, mnillisanihi wa yadihi. Orang Islam adalah orang yang dapat menjaga mulut dan tangannya untuk rasa damai pihak lain. Kalau sampai orang lain terluka dengan mulut dan tangan kita, berarti kita bukanlah orang muslim seperti yang didefinisikan Rasulullah SAW. Jadi, perdefinisi Islam adalah anti kekerasan.

Akan tetapi, persepektif yang lebih banyak berkembang, adalah perspektif yang dikembangkan dengan hal-hal yang bersifat simbolik, tidak riil. Maka definisi Islam seringkali definisi yang merujuk kepada konsistensi ibadah mahdlohnya. Al-Islam syahadatu an la ilaha ilallah memang shohih, dan seterusnya,itu yang shohih. Tetapi tidak kalah shohih juga dengan definisi Islam yang versinya lebih substantif. Suatu ketika Rasululloh ditanya,....Ayyul Islam khairun ya rosulullah?, keberislaman yang macam manakah yang lebih baik? Rasulullah menjawab Itha’amut’tha’am, wa isfasu salam ala man arafta wa man lam ta’rif. Keberislaman yang disebut khoiruh (paling baik) itu pertama adalah ith’amutha’am (memberi makan) dalam arti mewujudkan kesejahteraan, terutama ekonomi, baru setelah itu kita bicara soal kedamaian. Yang kedua, ifsaus salam (memberi salam), dalam arti menebar kedamaian (salam) kepada orang yang anda kenal dan kepada orang tidak anda kenal. Kepada orang yang dikenal, karena mungkin satu organisasi, satu partai dan satu bangsa, tapi juga kepada wa man lam ta’rif, kepada orang yang tidak dikenal pun, dia harius merasa damai atas kehadiran kita, karena dia beda organisasi, beda partai, atau mungkin beda bangsa.

Jadi kalau ada orang ketika muncul, masyarakat sekitar dan membuat resah dan gelisah, tidak adil, cemas, itu pertanda yang menyakitkan bahwa belum ada keislaman pada dirinya. Islam bukan agama yang menakutkan, dan semakin menakutkan, bukan berarti semakin Islam.sama sekali tidak begitu.

Ada sebuah hadits yang saya kira juga layak direnungkan, abghadul ‘ibad ilallah man kana tsoubuhu khoiron min amallih, tshoubuhu tsoubal anbiya wa’amaluhu amalal jabbarin, artinya hamba yang paling dimukai Allah adalah jik apakainnya lebih baik dari amalnya, pakaiannya seperti pakaian Nabi tapi perilakunya seperti prilaku preman. Hamba yang demikian disebut abghadul ibad ilallah, hamba yang paling dimurkai Allah.

Dalam hadits yang sampaikan tadi, jelas terlihat bahwa untuk menciptakan perdamaian maka soal memenuhi kebutuhan, yang lebih substil dari kedamaian. Ada kebutuhan material yang harus dijawab terlebih dahulu. Begitu banyak anak-anak remaja atau pemuda, yang gampang direkrut untuk gerakan ini dan gerakan itu, demo ini demo itu, ngerusak ini dan ngerusak itu, karena sekedar mencari penghasilan harian. Inilah yang sesungguhnya terjadi di depan mata kita. Kalau saja mereka lebih sedikit sejahtera, apalagi sekarang lebih terdidik, saya kira tidak akan gampang direkrut untuk tindakan yang bodoh. Nah inilah sesungguhnya pesan dari Rasulullahh SAW.

Kekuatan perdamaian, yang tentu (sekali lagi digarisbawahi) harus dibangun berdasarkan tigkat kesejahteraan. Asumsi seperti ini harus menjadi pemenang di republik ini. Republik ini tidak boleh dipegang dan didominasi oleh orang-orang yang cenderung mengaku benar sendiri.

Saya kira kalau saya mencintai NU, itu karena saya memahami bahwa sejak awal NU saya lihat adalah orang-orang yang beragama dengan kerendahan hati, orang-orang yang beragama tanpa suka mengklaim dirinya yang paling benar, dan hanya benar sendiri, sambil menudingkan tangannya kepada orang lain. Saya benar, tapi orang lain mungkin juga. Saya kira ini yang membikin saya secara pribadi jatuh cinta kepada NU. Dan saya ingin di sana terus untuk mempertahankan karakter yang seperti ini.

Karena kita juga menyadari, bahwa orang yang paling saleh secara formil dan paling rajin sembayang 5 X sehari, adalah orang yang minimum 17 kali berdoa setiap harinya, “Ya Allah bimbinglah kami kejalan yang lurus”, apa itu artinya? Sama sekali tidak pantas, orang Islam yang baik merasa bahwa saya sudah berada di jalan yang benar, dan yang lain tersesat. Apa artinya doa, ihdinasshirotol mustaqim?, kalau kita tidak harus rendah hati dalam beragama. Bimbinglah kami di jalan yang lurus, kita masih terus meminta dibimbing kejalan yang lurus, jadi tidak ada sedikitpun ruang bagi

kita untuk mengklaim bahwa kita sudah berada di jalan yang benar, apalagi menuding yang lain sesat dan ahli neraka. Kesombongan yang luar biasa. Neraka, saja sudah dilihat belum, ini mengklaim sudah yaang menguasai, aneh bin ajaib. Jadi kalau ada peerubahan visi ke-NU-an, bila mulai ada kesombongan dalam beragama, saya kira harus dikoreksi dengan cepat.

Dari Indonesia
untuk Kebangkitan Islam dan Keutuhan Dunia

Saya katakan dengan tegas Indonesia harus dipertahankan. Kenapa demikian? Karena posisi dunia Islam yang lemah. Karena lemahnya itu kita jadi bulan-bulanan, dan ketika kita sibuk mengatasi kedzaliman orang lain. Kita tidak mengatasinya dengan membangun kekuatan dari dalam, tetapi langsung menghancurkan orang lain, dengan bom rakitan. Sejuta bom rakitan tidak mungkin menghancurkan mereka. Tetapi dengan membangun kualitas yang mencerminkan izzah (kemuliaan), saya kira ini yang harus dibangun.

Kalau dunia Islam masih dengan posisi yang lemah, dan kita sungguh tidak peduli dengan hal ini, saya kira kita berkhianat kepada cita-cita Rasul SAW, unutk menjadikan umatnya sebagai khoiru ummah (ummat terbaik). Saya kira misi yang ada di pundak kita bersama-sama adalah mewujudkan impian Rasulallah untuk mubahin fi kulli umam (membanggakan kalian semua atas umat-umat yang lain). Kalau kita tidak bisa menjadi kebanggaan Rasulallah, berarti kita memalukan beliau di depan para Nabi yang telah datang sebelumnya.

Dalam hal ini, di samping kualitas individu muslim yaang meningkat secara tajam, juga perlu ada satu ikatan kebersamaan yang kokoh. Dunia Islam sekarang lemah bukan hanya pada individu-individu perorangnya, tetapi juga pada individu-individu negaranya juga dalam posisi yang lemah. Hampir tidak ada negara Islam, yang tidak dibawa dominasi dan pendiktean pihak lain. Bahkan negara di dunia Islam yang paling kaya sekalipun, seperti Arab Saudi, justru sepenuhnya dibawah kendali pihak asing. Itu sejak abad ke-19, di bawah dominasi Inggris dan Prancis, dan sekarang sekaligus Amerika. Dan karena secara individu negara juga lemah, secara kolektif juga lemah, maka kita terbuka terhadap kedzaliman pihak lain seperti tidak ada proteksi apapun.
Misalnya saja, Korea Utara itu sudah lama punya senjata nuklir, Israel juga sudah punya senjata nuklir, karena senjata nuklir ini lambang kekuatan sebuah negara. Terhadap Korea Utara itu negoisasi yang terus diutamakan, bahkan dengan tawaran ganti rugi yang luar biasa. Ini tidak terjadi di Irak. Kenapa tidak seperti seperti di Irak, yang baru diduga sudah dihancurkan? Karena Korea Utara ada protektornya yaitu China, tidak mungkin AS menghancurkan Korea Utara, karena China siap membela kepentingannya. Tetapi negara-negara Islam seperti ada di tempat yang terrbuka, yang siapapun boleh menendangnya. Palestina sudah 50 tahun lebih, kemudian disusul dengan Afganistan belakangan, Irak menyusul, dan mungkin sebentar lagi juga Iran. Karena tidak ada satu negara pun dalam Islam yang cukup berwibawa dalam mengatakan “Amerika, jangan begitu, kalau anda melakukan itu, anda harus berhitung deengan saya” enggak ada yang dianggap berwibawa jika memang demikian.

Peradaban Barat sudah punya negara-negara yaang kokoh secara politik, ekonomi, militer ekonomi. Empat dari negara yang memegang hak veto itu adalah Barat, yang rumpunnya adalah peradaban Yudeo Kristianisme. Peradaban China, Buddhisme, sudah punya senjata nuklir, ini Islam yang punya senjata nuklir baru satu, itu Pakistan, dan itupun hadiah dari Amerika untuk menjaga keseimbangan dari pengaruh India. Jadi bukan untuk kepentingan Pakistan, tetapi untuk kepentingan Amerika.
Satu-satunya negara yang mampu menjadi superpower dunia Islam, dan ini mutlak perlu supaya ada kewibawaan, kiranya hanya Indonesia. Paling tidak karena lima keunggulannya. Pertama, wilayahnya paling luas diantara seluruh negara Islam, seluas Eropa, letaknya juga sangat srategis, 2/3 dari pelayaran kapal perang dan dagang lewat selat Malaka.

Kedua, kekayaan alam Indonesia juga luar biasa, sekarang ada ditemukan --sebetulnya sudah lama, tapi baru dibuka-- sumber energi panas bumi, yang tidak akan perrnah habis, dan itu terbarukan terus menerus dan itu bisa mencukupi hampir dua kali pada kebutuhan energi nasional. Di sanping kita juga punya hutan, kalau Arab punya minyak tetapi kita juga punya hutan, kita juga punya kekayaan laut yang luar biasa. Dari laut Arafuru saja yang dicuri satu tahun adalah sekitar 4 M dollar atau sekiiatr 40 Triliyun rupiah. Itu yang dicuri dari satu titik saja.

Ketiga, Indonesia adalah negara yang pendduduk muslimnya terbesar di seluruh dunia. Dan yang keempat, Indonesia dianggap negara yang paling siap, untuk mengikuti tata peradaban modern. Itu dengan demokrasi yang dianggap paling matang, meskipun kita lihat dan merasakan masih begitu banyak masalah, tetapi tetap dianggap yang paling maju, karena memang masa depan peradaban modern ya peradaban syuro baynahum, bukan hanya ditangan segelintir penguasan saja. Itulah tatanan demokrasi.

Tetapi lima keunggulan tadi semua bermasalah. Wilayah yang luas terus diguncang dengan disintegrasi. Teritorial baru belakangan agak tenang, seperti Aceh dan Papua, tetapi punya potensi api dalam sekam terutama bagi Papua. Letak yang sangat strategis juga belum punya makna, karena hanya menjaga selat Malaka saja itu dibutuhkan 30 kapal Pregag, Indonesia hanya punya tiga buah kapal. Itu pun sudah tua. Selebihnya punya Singapura, Malaysia dan Thailand. Sehingga meekalah yang menikmati keunggulan. Kita hanya bisa menikmati separuh sebelah Barat. Kita kehilangan keunggulan separuhnya.

Kekayaan yang luar biasa melimpah, juga ternyata bermasalah serius karena korupsi yang masyaa Allah parahnya. Korupsi di negeri ini bukan hanya dikorup dari tangan rakyat lalu disimpan di dalam negeri, tetapi dikorup dan disimpan di luar negeri. Sehinngga dosanya dosa berlipat, yang pertama dosa korupsi, yang kedua dosa menaruh kekayaan rakyat di tangan asing.

Kemudian kekuatan Umat Islam Indonesia yang merupakan yang terbesar di dunia juga bermasalah. Ini baik secara kuantitas, kemanusiaannya maupun visinya ideologinya juga sedang bermasalah. Demokrasi juga dalam ancaman yang mulai serius karena muncul dan menguatnya sikap antagonisme keyakinan, sikap keberagamaan yang sombong, sikap keberagamaan yang tidak rendah hati, sikap keberagamaan yang lebih suka menuding orang lain. Berbeda sedikit, lemparkan ke neraka. Ini juga ancaman keunggulan Islam di Indonesia saat ini.

Bagi umat Islam, tentu saja ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Karena Indonesia bukan hanya negara yang penduduknya Islam, karena sekali lagi negara lainpun memandang dan mendefinisikan Indonesia seperti itu. Islam yang berkembang asal mulanya di Indonesia adalah yang semula saya katakan adalah yang rendah hati, yang mampu melihat ada orang lain juga, meskipun agama berbeda keyakinan berbeda, kita tidak berhak menghabisi mereka. Orang yang paling kafir pun boleh hidup di bumi ini, barangkali karena kita sejak kecil diajari makna Ar-Rohman dan Ar-Rohim. Itu ketika kita ngaji pada Kiai kita di kampung, memberi makna Ar-Rohmaan itukan yang Maha Welas Asih Dunia dan Akhirat, kepada siapapun, orang kafir dan mukmin. Dalam hal ini, orang kafir berhak menghirup udara Allah, berhak menginjak bumi Allah, juga berhak meneguk airnya Allah SWT. Bahwa nanti karena keimanannya, kekafirannya, itu akan diperlakukan berbeda, itu urusan nanti di akhirat. Saya kira makna yang tidak kita sadari sejak kecil itu sesungguhhnya bermakna cukup dalam. Karena bermakna bahwa kita tidak boleh mendiskriminasikan orang lain hanya karena perbedaaan agama, apalagi hanya beda sub keyakinan agama.

Tetapi paham yang damai dalam beragama kini dalam ancaman. Karena tumbuhnya fundamentalisme, ekstrimisme dan radikalisme. Umat beragama lalu penuh dengan klaim kebenaran untuk dirinya sendiri sekaligus diikuti dengan tudingan kepada pihak lain sebagai orang yang tidak berhak hidup di bumi Allah ini. Kalau ini terus berkembang, maka, bisa dipastikan Bhinneka Tunggal Ika, baik dari sudut agama, keyakinan, tradisi, suku, itu juga akan pecah berkeping-keping, dan ketika Indonesia pecah, habislah harapan dunia Islam, untuk adanya negara yang kuat dan berwibawa di mata Internasional. Karena negara Islam yang lain di luar Indonesia adalah negara-negara yang belum bisa menjadi negara super power. Mungkin secara keseluruhan Arab bisa, tetapi Arab bisa diyakini sampai kapanpun tidak akan pernah bersatu. Ini sekali lagi Indonesia, kita semua memegang harapan masa depan kedamaian dunia.

Jadi bukan hanya kepentingan umat Islam Indonesia kokoh, tetapi juga kepentingan dunia Islam secara keseluruhan sangat membutuhkan Indonesia yang kokok dan maju, dan itu ada di pundak umat Islam, dan kalau kita runut, pundak umat Islam yang memikul tanggung jawab itu adalah pundak umat Islam yang moderat. Mudah-mudahan NU masih memikul tanggung jawab ini.

Memang ada masalah di dalam moderasi, biasanya moderat itu seolah-olah ada penyakit bawaan, untuk tidak militan. Moderat tetapi militan itu kayaknya aneh? Kayaknya aneh, karena dua hal yang tidak pernah atau sulit ketemu. Mungkin karena militan cenderung kita artikan sebagai bertindak secara fisik dan keras. Padahal militansi itu tidak sesederhana itu, militansi adalah istiqomah, dan percaya diri terhadap apa yang kita yakini, hanya minus menuding orang lain saja. Yang perlu dicatat adalah, kadang-kadang sifat moderasi seperti juga seringkali melakukan kekerasan, tapi kekerasan by omission di dalam istilah sekarang ini. Yaitu kekerasan karena membiarkan pelaku-pelaku kekerasan memainkan kekerasannya.

Dari Ikatan Tradisi Menuju Kebangkitan Organisasi

Saya kira langkah yang dibutuhkan dan sangat sederhana untuk kaum moderat, adalah kesediaan atau dalam istilah yang lebih keras militansi untuk mengorganisir diri. Dan mengorganisir diri ini sesuatu kebutuhan mutlak yang secara normatif keagamaan-pun sepertinya digarisbawahi. Kita melihat dunia Barat, kenapa kokoh? Karena civil societynya di sana kokoh, dan negaranya juga kokoh, dan mereka secara individu negara masih terus membina kebersamaan dengan negara lain. Kurang apa, Inggris, Prancis, German, tetapi mereka butuh kebersamaan lebih luas lagi, membangun Uni Eropa, membangun NATO, AS juga kurang apa, tidak kekurangan apa pun, tapi dia butuh membangun kekuatan dengan aliansi-aliansi kekuatan lain. Kesadaran inilah yang kemudian disebut kesadaran berjamaah. Di dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan, alaikum bil jamaah, itu sesungguhnya bukan hanya anjuran berjamaah sholat. Tetapi berjamaah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena sesungguhnya sholat berjamaah pun maknanya adalah sholat yang terorganisir. Kalau kita berjamaah hanya di dalam sholat, maka kita akan lemah di luar masjid, bahkan diluar saat-saat kita di luar menjalankan ibadah saja.

Kita lihat misalnya dunia Kristiani, yang sekarang mungkin secara total sekitar 3 miliyar, umat Islam di dunia sekitar 1,3 milyar, Katholik saja hampir sama dengan jumlah umat muslim dunia 1, 3 M, tapi di Kristen itu, di kalangan agama Nashroni, tidak ada seorang Nashroni yang tidak menjadi bagian dari organisasi keagamaannya. Jadi tidak ada di orang Kristen yang dibilang, “kamu Kristen apa?”, “saya Kristen saja” itu tidak ada. Semua Kristen pasti punya afiliasi, saya Kristen Katholik, saya Kristen Protestan, saya Methodist, saya Baptis, saya Mormon, dst, jadi tidak ada yang ngambanng. Sementara umat Islam justru sebaliknya, banyak yang merasa bahwa, msalnya anda Islam organisasinya apa? Jawabnya, tidak, saya Islam saja. Ini salah kaprah yang serius sesungguhnya. Karena ketika orang mengatakan bahwa saya Islam saja, berarti ia tidak punya rumah kebersamaan. Kalau dalam bahasa hadits, ini diumpamakan kambing yang dilepas sendirian dan gampang diterkam oleh Srigala.

Karena berjama’ah, umat Kristiani menjadi kokoh. Ketika mereka tergabung dalam wah-wadahnya yang terkait dengan agama dan tempat ibadahnya, maka mereka menyebut organisasi itu selalau gereja, gereja Katholik, gereja Protestan, Methodist, Baptis, Mormon, segala macem yang terkait dengan gereja.

Mininum ada tiga hal kenapa umat Kristiani harus tergabung dalam wadah keagamaan tertentu. Pertama ketika lahir, begitu di baptis, dia dibaptis di mana, apakah di Katholik, apakah di Protestan, meski datang Kiai organisasi keagamaan. Yang kedua, ketika orang kristen menikah, jika ia tidak tercatat di gereja manapun, tidak akan ada pendeta yang mau menikahkan. Lebih-lebih ketika dia mati, kalau tidak terdaftar namanya di gereja manapun, tidak akan ada ornag yang peduli. Dan ini bagi mereka menjadi sangat penting mengabdikan diri kepada organisasi keagamaan. Karena rata-rata orang Kristen hidup di kota yang muansa individualistiknya kuat.

Kalau kita lihat di kompleks-kompleks kota, tampaknya di kompleks saya misalnya hanya ada dua orang Kristen, tetapi begitu dia meninggal, puluhan bahkan ratusan orang datang. Ini dari mana? Karena ukhuwah jamaahnya kuat sekali. Dan itulah yang menyebabkan mereka dapat menikmati fasilitas dari Allah. Yaitu fasilitas keunggulan dan kemenangan. Kam min fiatin qalilatin gholabat fiatan kashiratanh biidznillah (hadits), biidznillah. Biidnillah itu makna sebenarnya berjamaah, karena mengorganisir diri sesunggihnya maka kelompok kecil bisa mengalahkan kelompok besar, karena bil jamaah. Di dalam hadits lain dikatakan, Yadullah fauqal jama’ah, , artinya kekuatan Allah yang tentu luar biasa itu hanya dinikmati oleh mereka yang mampu mengorganisir diri.

Coba kita lihat misalnya di Indonesia, saudara kita dari kalangan Nasrani itu hanya sekitar 7%, tapi apa dari mereka yang tidak bisa mereka perbuat, dengan kualitas tinggi, apakah bidang pendidikannya, apakah bidang sosialnya, atau bidang ekonominya, mereka sungguh unggul, sekolah terbaik mereka punya, rumah sakit terbaik mereka punya, padahal mereka hanya 7%. Karena mereka bil jama’ah, mengorganisir diri dengan sungguh baik. Saudara kita Kristen di Irian Jaya, yang tentu mulanya hanya 10 orang, 20 orang, paling banyak ratusan, kenapa sejak awal sudah punya helikopter? Karena Kristen yang ada di Irian itu hanya bagian kecil saja Kristen yang ada di Australia, Eropa, di Amerika, dan tergabung secara sistematis, melalui organisasi gereja. Jadi tidak ada yang mustahil karena bil jamaah.

Sementara itu berjamaah umat Islam dalam berjama’ah masih terbatas pada sholat berjamaah di masjid. Ini harus di reaktualisasi, dibawa keluar pintu masjid, jamaah itu dalam arti mengorganisir diri, berjamaah itu berorganisasi. Terserah memilih organisasi apa, itu pilihan yang tidak dapat dipaksakan, tetapi jangan nyempal sendirian. Karena kalau ada batu sendirian di jalan, kalau kecil dilempar, kalau besar di pecahkan, karena mengganggu. Tetapi kalau dia bergabung dengan yang lain, maka batu yang kecil bisa menjadi batu yang banyak bermanfaat. Dalam kaitan ini, kebiasaan salah kaprah umat Islam, tidak mau mengorganisir diri, ini sumber kelemahan yang sangat serius. Dan inilah yang menjadi sebab kenapa umat Islam nasional secara global tidak kompetitif.

Dan kalau kita lihat dari jumlah umat Islam hampir 1, 3 M, itu yang relatif sudah terorganisir dengan baik (well organized) itu baru tiga kelompok, yaitu Ahmadiyah, Syiah dan fundamentalis (salafi atau turunannya wahabi mungkin). Sementara hamparan dari 2/3 umat Islam yang ahlussunnah wal jamaah, atau sunni ini yang paling tidak terorganisir. Mereka sendiri-sendiri, satu-satunya kerangka organisasi sudah ada, itu di Indonesia NU. Itupun kita lihat betapa longgarnya organisasi ini. Dan belum bisa disebut sebagai organisasi. Baru bisa disebut sebagai kerumunan. Kerumunan yang dipersatukan dengan tradisi yang kita warisi secara alami begitu saja.
Saya sering mengumpamakan NU itu ibarat mesjid besar, di dalamnya ada puluhan juta orang. Tetapi ketika Imam mulai takbir di mihrab, yang berbaris lurus dan rapih di belakangnya itu hanya marbot-marbotnya saja. Itu pun tidak semuanya, makmum yang lain itu, semua tadinya sama, sama-sama qunut, tapi sholatnya sendiri-sendiri. Atau bermakmum, berjamaah dengan imam-imam lokal di pojok-pojok masjid . Jadi tidak ada yang namanya kesatuan fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan). Meski jika kita telusuri kenapa bisa begitu? Ini saja sudah dikatakan untung. Karena di Indonesia sudah ada kerangka wadah kebersamaan untuk kelomp ahlu sunnah wal jamaah ini .namanya NU. Tetapi NU sendiri masih jauh dari memenuhi syarat.

Dari Egoisme Menuju Kebersamaan

Kenapa lemah pada kebersamaannya? Karena kelemahan ini bersumber pada kekuatannya juga. Kekuatan NU secara kultural karena ada kekuatan-kekuatan Kiai yang berpengaruh. Itu tadi saya sebut sebagai ada imam-imam lokal, yang menjalankan jamaah di pojok-pojok sendiri. Ada Kiai-kiai lokal yang punya pengaruh, ini kekuatan NU, tetapi sekaligus menjadi hambatan menguatnya NU. Karena tokoh-tokoh ini yang skornya kalau di bobot itu bisa di atas 10, apalagi yang khos bisa diatas 15-20. Tetapi yang bobotnya 12,15, 20, ini tidak pernah mau dikalikan dengan yang lain.Jadi sampai kiamat, bobotnya hanya 20 saja. Sementara di kelompok lain, orangnya hanya 7 bobotnya, tidak ada yang khos,, biasa-biasa saja. Tetapi yang bobtnya rndah itu mau dikalikan mau dijumlahkan 7 kali 1000 jadi 7000. Tapi di kalngan kita bobotnya 20 bahkan mungkin 50, tapi inginnya sendiri saja. Jadi sampai kiamat tetap saja hanya 50 itu kekuatannya.

Secara psikologis masalah organisasi NU adalah masalah ananiyah (egoisme). Padahal syarat untuk berorganisasi adalah kesediaan untuk meleburkan ana menjadi nahnu. Kalau ana-nya masih tetap bertengger apalagi hamzah-nya masih besar-besar, maka menjadikan ana menjadi nahnu sulitnya luar biasa. Jadi berorganisasi adalah kesediaan untuk meleburkan ananiyah ke dalam nahnuwiyah. Kalau ditelusuri dalam tasawuf ini masalah keikhlasan. Tetapi agak kurang pantas bicara keikhlasan di hadapan kiai-kiai.

Jadi sekarang kalau secara alami ana besar mengalami semakin sedikit jumlahnya. Dan kita tidak bisa menghentikan berkurangnya ana-ana besar di NU, kita tidak bisa merekayasa. Ini alami. Di satu pihak kita mungkin menangisi berkurang atau mungkin habisnya kiai-kiai besar yang berpengaruh. Tetapi di sisi lain tidak ada irodah Allah yang tidak membawa hikmah. Ini adalah kesempatan emas bagi NU untuk betul-betul membangun organisasi. Karena ke nahnuwiyah (kebersamaan) akan lebih gampang dimunculkan dari ana-ana yang kecil, ketimbang ana-ana yang besar. Ini sama halnya dengan kita membangun cor, mesti butuh batu yang dipecah. Batu kecil tidak perlu dipecah, untuk menjadi bagian dari bangunan. Sedangkan batu besar, harus dipecah terlebih dahulu.

Jadi saudara sekalian, saya kira sekali lagi bahwa moderasi yang dipahami secara pasif, itu dapat menghambat adanya kekuatan umat secara keseluruhan dan ini menjadi kunci kekalahan umat Islam secara global. Jadi dengan demikian maka tantangan terbesar kita adalah bagaimana membangun kebersamaan yang terorganisir untuk hamparan umat Islam yang memiliki kesadaran dan naluri yang rendah hati. Ini mutlak harus dibangun dengan cepat. Mungkin ini memerlukan revolusi juga, khususnya dengan yang berkaitan dengan mental. Mengenai bagaimana meleburkan hamzah ana kedalam nun–nya nahnu. Bagaimana meleburkan egoisme dan menjalin kebersamaan.

Dari Ritualitas Simbolik Menuju Keberagamaan Subtantif

Hal lain yang ingin saya tekankan bahwa keberagamaan yang moderat itu membutuhkan titik tekan yang lebih berat, lebih besar, bukan hanya kepada aturan-aturan formal fiqhiyaah, tapi justru menyentuh pada piwulang-piwulang yang lebih substantif yang sering digumuli oleh tasawuf. Lemahnya tasawuf ini yang ..agama dengan keras kepala, beragama dengan sombong adalah beragama yang mengingkari Tashawuf. Tetapi mohon bahwa Tashawuf di sini jangan berhenti pada ritualisme yang keras, tetapi pada akhlaq, mentalitas, sikap bathin. Atau ahwalul qalb dalam istilah Imam Ghozali. Dalam istilah Ta’lim Muta’alim disebtkan sebagai rendah hati, percaya diri, menjaga kebersamaan, penuh semangat berkorban.Itu semua adalah yang harus dibangun. Dan sekali lagi inilah tantangan dakwah kita yang sesungguhnya. Jarang saya dengar dakwah berbicara mengenai mentalitas yang unggul, tetapi lebih menekankan aspek-aspek formal keagamaan, dan mengedepankan garis-garis pemisah antara kelompok yang satu dengan yang lain. Mubaligh yang ada nampaknya lebih ayak muballigh-mubaligh kepala suku, yang membangun kesetiaaan sempit (primordialisme), bukan yang menyebarkan kedamian membantu dan kebersamaan.

Kiranya perlu ada sublimasi dalam kehidupan beragama. Dan untuk itu, dispilin yang harus dimasuki adalah disiplin ilmu Tashawuf yang lebih menekankan pembinaan akhlaq. Ini bukan sesuatu yang baru, karena sesungguhnya dikatakan dalam hadits Nabi bahwa al-dien husnul khuluq. Beragama itu adalah berbudi pekerti yang baik, berprilaku yang baik. Dikatakan juga dalam kesempatan lain bahwa, “Yang paling sempurna imannya diantara kalian adalah yang paling baik budinya, bukan paling kasar ucapannya”. Saya kira ini yang seharusnya dikumandangkan lebih keras oleh semua pendakwah dan tokoh-tokoh agama.

Dalam agama sendiri selalu saja ada empat unsur utama. Pertama adalah yang berkaitan dengan keyakinan. Ini sifatnya given dari atas. Orang menyakini begini dan meyakini begitu ialah intervensi dari langit. Dalam bahasa Islam disebut hidayah, yang merupakan hak preogratif Allah SWT. Rasul pun tidak bisa memberi hidayah. Diakatakan dalam hadits, Innaka la tahdi man ahbabta, artinya, “Sungguh kamu (Muhammad) tidak akan bisa menunjukkan orang yang kau cintai sekalipun”.

Kedua, berhubungan dengan ritualitas, peribadatan, ibadah mahdlah. Ritualitas ini simbolisasi dari keyakinan tadi, oleh karena itu ritualitas bukan substantif, tapi perlu sebagai simbol, meskipun perlu dia simbol, oleh karena itu kita tidak boleh fanatik di dalam masalah ini. Saya pikir-pikir, kenapa masalah sholat tidak ada hadits mutawatirnya, mestinya kalau Nabi serius betul untuk mengajari sholat dari A sampai Z supaya jangan ada yang keliru, pastinya beliau pernah membuka kursus, bagaimana sholat yang benar sebenar-benarnya. Setelah kursus, seminggu misalnya lalu praktek, dan sahabat sholat bareng lalu berkeliling mengawasi, dari satu gerak ke gerak yang lain sambil membawa penjalin. Kalau ada yang keliru,langsung peringatkan saja. Itu tidak ada, tidak dilakukan oleh Nabi. Beliau tidak pernah membuka kursus, ketika ditanya bagaimana cara sholat, Nabi bilang, Shaluu kama raitumuni ushalli, maksudnya “ikuti saja deh. saya.” Ritual, dalam hal ini shalat memang penting, tetapi sekali lagi itu simbol.

Oleh karena itu ada peringatan, fawaylullilmusholin”, celakalah bagi orang-orang yang shalat. Shalat yang terjebak sekedar menjalankan ritulitas saja. Jangan sampai kita tenggelam di dalam simbolisme, seolah-olah itu segala-galanya. Bahkan di dalam hadist shahih disebutkan bahwa kanjeng Nabi ditanya sewaktu shalat. Beliau menjawab juga, jadi kalau saja tidak boleh ada sedikitpun kesalahan, tata cara sholat yang nyebal, sekali lagi pasti Nabi membuka kursus sholat minimal lima hari berturut-turut, dan diawasi ketika praktek, dan dengan demikian maka pasti diriwayatkan periwayatan .mutawatirnya. Tetapi tidak ada hadits mutawatir satu pun yang meriwayatkan itu.

Begitu juga soal Haji, dikatakan bahwa Nabi bersabda: “Khudz ‘annnî manâsikakum....”.., artinya bagaimana kalian berhaji, tiru saja saya, kata Rasul. Maka ketika ada sahabat bertanya, “Nabi saya bercukur ketika berkorban? Nabi menjawab “if’al wala harst:”, lakukan saja tidak masalah. Lalu ada sahabat Nabi lain yang bertanya, “Ya Nabi saya telah berkorban sebelum saya melempar jumrah, ini bagaimana? Nab menjawab sama “if’al wala harts”. Jadi sebenarnya ritualitas atau peribadatan mahdhah seharusnya bukanlah hal yang harus membuat orang spaneng dan fokus di situ, apalagi menuding oarng lain neraka karena perbedaan tata cara seperti itu.

Yang ketiga adalah code. Code ini adalah etika. Sekarang ini justru seolah yang paling penting adalah aturan-aturan hukum, bagaimana menghukum dan memotong tangan, memenjarakan, bukan itu. Code, itu syariah. Syariat itu jalan kebenaran, jalan keluhuran, yang substansinya adalah ahlak. Yaitu bagaimana membikin orang lain merasa damai dan terrtolong oleh kehadiran kita. Tetapi sekarang kita lebih memahami syariat sebagai aturan untuk menghukumi orang lain. Sesungguhnya itu bagian yang paling permukaan saja.

Dan yang terakhir adalah civilization, membangun peradaban. Peradaban ini adalah reaksi kreatif manusia terhadap lingkungan sosialnya, maka karya peradaban adalah organisasi, aturan-aturan main, struktur. Itulah peradaban. Maka semakin canggih sebuah organisasi, maka semakin meunujukkan masyarakat yang semakin beradab. Semakin terbelakang sebuah komunitas, organisasinyapun semakin lembek. Itu yang pertama
Yang keempat, unsur peradaban adalah reaksi kreatif terhadap alam dan lingkungan, maka lahirlah sebuah peradaban teknologi berupa bangunan, jembatan, yang meemenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan memenuhi manusia hidup. Sesungguhnya Islam harus mengcover empat unsurdi tasa, dan peradaban itulah sungguhnya misi kekhilafahan manusia, jadi kakhilafahan manusia itu adalah sesungguhnya misi membangun peradaban, melanjutkan ciptaan Allah, jangan sejak dulu begitu saja, sampai kiamat masih seperti itu juga.

Saat ini saat yang baik untuk lahir kembali. Ibarat bangunan, umat Islam dan masyarakat Islam Indoneisa khususnya adalah bangunan runtuh. Membangun kembali bangunan yang runtuh, itu bisa menghadapi dua kemungkinan yang berbeda. Apakah keterpurukan menjadi kematian dan dikuburkan. Ataukah keterpurukan itu akan menjadi titik untuk kebangkitan. Tentu pada akhirnya, terserah kita semua.Wallahu a’lam bi al-shawab