Sunday, September 28, 2008

Ketika Rakyat Berebut Zakat

Oleh Ali Mursyid

M

embagikan zakat memang wajib dan diganjar pahala. Namun, jika dilakukan serampangan, malah menuai bencana bahkan mendatangkan dosa. Pembagian zakat oleh pengusaha dermawan asal Pasuruan, Haji Syaikhon, 55, kemarin (15/09/2008) bisa menjadi pelajaran. Maksud hati ingin membantu fakir miskin dengan zakat Rp 30.000, tapi malah berujung tragedi tewasnya 21 orang, satu kritis, dan 12 orang terluka. Demikianlah ditulis di www.kompas.com (16/09/2008). Ya Allah apa lagi ini, di tengah Ramadhan yang seharusnya penuh berkah, malah terjadi musibah yang memilukan, rakyat sekarat berebut zakat.

Dengan tragedi yang memilukan ini, kemudian banyak tokoh agama dan beberapa pejabat negara memberi komentar. Ada yang menyalahkan si orang kaya pemberi zakat. Bahkan ada yang terang-terangan menyatakan bahwa kejadian yang mengenaskan itu akibat si orang kaya pamer kekayaan. Ada yang mengatakan bahwa kejadian ini akibat orang tidak percaya dengan badan amil zakat yang ada. Ada juga yang menganalisa akutnya kemiskinan di negeri ini. Tetapi benarkah demikian, apa akar masalahnya? Siapa yang paling bertanggungjawab atas tragedi ini?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung berkomentar. Ia dengan tegas mengkritik Departemen Agama (Depag) RI yang tidak memaksimalkan fungsinya dalam mengatur distribusi zakat. Menteri Agama, Maftuh Basyuni, juga memberikan kritik pedas terhadap cara H. Syaikhon membagi-bagikan zakat. Menurutnya pembagian zakat massal tersebut banyak mengandung unsur riya alias pamer. Pihak kepolisian juga menyesalkan mengapa keluarga Syaikhon tidak berkodinasi dengan aparat dalam acara yang melibatkan ribuan massa. Dalam hal ini Kapolri Jenderal Sutanto, menyatakan ”Lebih bagus mendatangi warga yang hendak diberikan zakat. Jangan pakai diumumkan karena nanti berdatangan banyak dan jadi tidak terkendali”. Ujung-ujungnya, kordinator panitia pembagian zakat H. Farouq (28) ditetapkan sebagai tersangka. Karena dialah yang dianggap bertanggungjawab atas tragedi zakat ini.

Polisi dan Pemerintah Beratnggungjawab

Berbeda dengan komentar para pejabat di atas, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mensinyalir bahwa, tragedi zakat H. Syaikhon merupakan kesalahan aparat kepolisian. “Panitia zakat kok disalahkan. Itu kesalahan polisi. Panitia nggak mau minta bantuan polisi, karena polisi biasanya minta uang,” tegas Gus Dur sesaat menjelang acara Ngaji Bersama Gus Dur yang di Surabaya, Kamis (18/09/2008). Bagi Gus Dur, jika saja pihak kepolisian mau menjaga dan membantu proses pembagian zakat itu, tentu saja nggak akan ada kejadian itu. “Kalau memberitahu polisi, biasanya polisi njaluk duwit. Jadi, itu salah polisi, bukan panitia,” tegas Gus Dur.

Sejalan dengan Gus Dur, Adhie M Massardi, Juru Bicara Komite Bangkit Indonesia, menyatakan bahwa seharusnya, tanpa perlu menunggu korban berjatuhan, bila di suatu tempat ada ribuan orang berkerumun, polisi setempat seharusnya cepat tanggap dan segera mengirim anggotanya untuk melayani dan mengayomi masyarakat. Ia juga mengingatkan Menteri Agama Maftuh Basyuni, seharusnya paham kenapa tetap lebih banyak umat Islam membagikan zakat secara pribadi dan tidak melalui Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Karena memang citra pemerintah di mata rakyat masih bermasalah, terutama yang menyangkut soal uang. ”Benar, dalam pembagian zakat yang nyaris menjadi tradisi tahunan H Syaichon, aroma riya tercium sangat kuat. Tapi salahkah, bila dalam berbuat baik, rakyat kecil ingin mendapat ”pujian” warganya? Toh para pejabat pemerintah, juga anggota DPR dan partai-partai politik, melakukan hal yang sama. Bahkan dengan program BLT yang nyata-nyata menggunakan uang rakyat, pemerintah juga mengharapkan hal yang sama yang mungkin diharapkan H Syaichon?” kata Adjie menambahkan.

Lebih jauh dari sekedar mencari siapa yang salah dan bertanggungjawab, nampaknya tragedi zakat H. Syaikhon adalah indikasi kuat dari semakin meningkatnya kemiskinan di negeri ini. Kemiskinan tak lagi sekedar menjadi mimpi buruk. Ia telah benar-benar menjelma menjadi barisan manusia-manusia tak berdaya yang hadir di mana pun ada remah-remah rezeki, termasuk di rumah keluarga H Saikhon.

Kemiskinan ini ditandai dengan kemerosotan pendapatan dan daya beli rakyat, terutama sejak pemerintah menaikkan harga BBM, yang di Pasuruan melahirkan ribuan orang yang merasa layak mendapat zakat. Sebab kenaikan harga BBM faktanya telah menaikkan harga kebutuhan hidup. Jadi, sesungguhnya yang terjadi di Pasuruan bukanlah semata karena prosedur yang dilanggar muzakki (pemberi zakat), melainkan akibat jumlah orang miskin yang merasa menjadi mustahik bertambah banyak. Adalah tugas dan tanggung jawab negara untuk mengurangi tingginya angka kemiskinan itu.

Jika Rakyat Sengsara, Perempuan Jadi Korban

Di samping itu, mari kita melihat sisi lain dari kejadian ini. Mari kita perhatikan siapakah yang selalu datang bersemangat untuk antre dalam acara pembagian zakat atau pembagian BLT? Mereka rata-rata adalah perempuan. Nampak bahwa perempuanlah yang berani berkorban. Mereka ini sehari-hari dipusingkan oleh masalah dapur dan belanja kebutuhan keluarga. Anak-anak di bulan puasa ini minta menu buka yang lebih enak dari biasanya. Sementara harga-harga kebutuhan pokok di pasar semakin tidak terjangkau dan hari raya akan datang pula. Perempuan pun berani berkorban, demi keluarga. Sayangnya, peran dan pengorbanan perempuan yang demikian besar ini, kadang dilupakan. Baik oleh keluarga maupun masyarakat.

Wejangan dari Gus Mus

Sementara itu KH. Mustafa Bishri (Gus Mus) memberi wejangan yang cukup menyejukkan. Menurutnya peristiwa-peristiwa berdesakan berebut zakat, BLT dan lainnya di berbagai tempat, nampaknya seiring dengan semakin meningkatnya ‘ketergantungan’ masyarakat pada materi. Kepentingan duniawi sudah menjadi ‘tuhan’ yang dapat menggiring orang untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal; membuat orang terhormat mencampakkan kehormatannya; membuat orang beragama menjual agamanya; membuat saudara tega terhadap saudaranya; dan lain sebagainya.

Peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti itu tidak terbayangkan bisa terjadi di zaman dulu di saat masyarakat masih menganggap hidup di dunia ini hanya sekedar mampir ngombe, singgah minum sebentar. Di saat hidup sederhana masih menjadi budaya yang dipujikan. Di saat pasar rakyat masih belum dijuluki pasar tradisonal yang harus mengalah dengan mall-mall dan supermarket-supermarket. Di saat masyarakat belum dijejali setiap hari oleh iming-iming tv agar menjadi konsumtif dan hedonis.
Mumpung masih di bulan suci Ramadan yang kata para kiai dan ustadz bulan pelatihan mengendalikan diri, apabila kita setuju bahwa akar masalah –hampir semua masalah-dalam masyarakat adalah akibat kecintaan yang berlebihan terhadap materi dan pemanjaan yang kelewatan terhadap jasmani, sehingga melupakan ruhani, maka usulan yang paling masuk akal saya ialah: mari lah kita kampanyekan untuk kembali kepada budaya hidup sederhana. Memandang dunia dan materi secara pas: hanya sebagai sarana dan alat dan bukan tujuan hidup. Wallahu a’lam bi al-shawab

_____________

*Penulis adalah alumni pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin sekarang brhidmah pada kerja-kerja kemanusiaan di Fahmina Institute

Monday, September 15, 2008

Lagi-Lagi TKW Indramayu Jadi Korban

Oleh Ali Musyid


Baru empat bulan merantau di Arab, Caswati binti Sarim (25 th) tewas misterius awal Juni lalu, dan jenazahnya baru dipulangkan, Kamis (10/7) kemarin. Meskipun ada tanda-tanda yang tidak beres, jasad TKW asal Desa Sidamulya, Blok Bendayasa RT 09 RW 03 Kecamatan Bongas ini, langsung dimakamkan oleh pihak keluarganya.


Lebih mirisnya, saat jenazah Caswati tiba di kampungnya, hanya diantar mobil ambulan tanpa disertai dokumen resmi penyebab kematian. Saat keluarga membuka peti dan melihat langsung kondisi mayat Caswati, terdapat tanda hitam di bagian tengkuk (leher belakang). “Sakitnya apa, kita tidak tahu. Sebab, tidak ada dokumen penyebab kematian yang menyertainya. Yang mengherankan, kenapa saat jenazah dibawa ke Indonesia, kematiannya sudah 41 hari yang lalu,” ujar salah seorang kerabat korban, di sela-sela acara pemakaman.


Keterangan lain menyebutkan bahwa, ibu satu orang anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di kota Sarjah, Arab Saudi ini, sebelumnya dikabarkan oleh pihak PJTKI, yakni PT Akbal Putra Mandiri, Jakarta Timur, meninggal dunia akibat sakit. Kabar mengejutkan itu diterima suami korban, Warma (34 th) pada tanggal 2 Juni lalu. Informasi itu terbilang aneh. Pasalnya, selang tiga bulan sebelumnya, pihak keluarga korban mengaku pernah menerima kabar dari Caswati secara langsung jika kondisinya baik-baik saja. Dan sampai kabar kematian diterima, korban juga tidak mengeluhkan kondisi kesehatannya selama bekerja.


Sebenarnya, pihak keluarga sudah berusaha menuntut PJTKI, untuk mendapat penjelasan penyebab kematian Caswati lebih detail. Termasuk juga, biaya penguburan dan asuransi yang menjadi hak korban, karena ia berangkat menjadi TKW secara legal. Namun, upaya itu tidak ditanggapi secara serius. Itu terbukti, ketika jenazah dikirim ke kampung, pihak PJTKI tidak turut mendampingi. (Radar Online, edisi 11 Juli 2008)

***

Sejak awal tahun 1990-an, penyiksaan dan kematian tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi mulai terkuak. Pada pertengahan tahun 1990-an, Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi memberikan pernyataan kritis tentang hal itu. Setelah ”Reformasi”, soal itu terkuak lebar-lebar. Sementara itu Direktur Ekdsekutif Migrant Care, Anis Hidayat menyatakan bahwa: ”Tahun 2007, di kota Riyadh saja, 102 TKW tewas”.


Laporan penelitian setebal 133 halaman berjudul As if I am Not Human: Abuses against Domestic Workers in Saudi Arabia menyebutkan bahwa struktur sosial budaya masyarakat Arab menyebabkan pekerja rumah tangga (PRT) cenderung dianggap sebagai budak. Ini diperparah dengan sistem kafala (sponsor), yang menyebabkan nasib PRT migran sepenuhnya berada di tangan majikan.


Memang tidak semua TKW bernasib buruk. Akan tetapi, yang bernasib buruk mengalami perlakuan seperti budak, mulai dari gaji tak dibayar sampai penyiksaan, termasuk penyiksaan seksual, bahkan kematian. Keadaan ini diantaranya karena sistem hukum di Saudi yang diskriminatif, dimana TKW-PRT korban kekerasan justru dicap buruk dengan tuduhan zinah dan melakukan sihir. Hal ini diperparah oleh seluruh mekanisme di Indonesia yang cenderung ’membiarkan’ pelaku kejahatan trafiking (perdagangan orang) terus berlangsung.


Jumlah PRT dari Asia di Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang--terutama berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal--dari delapan juta tenaga kerja di sana, atau sepertiga jumlah penduduk Saudi. Mereka mengisi kekosongan pelayanan dan jasa di bidang kesehatan, konstruksi dan pekerjaan rumah tangga. Dari Indonesia, menurut aktivis pembela hak-hak buruh migran Wahyu Susilo, jumlahnya sekitar 1,2 juta dari sekitar enam juta TKI di berbagai negara. Sebagian besar bekerja sebagai PRT. Jumlah TKW yang mengalami penyiksaan dan kematian akibat kekerasan, terbanyak terjadi di Arab Saudi.


Kita semua mengetahui, bahwa menjadi TKI atau TKW selain dapat menghasilkan uang lebih banyak, juga mendatangkan resiko terancam berbagai tindak kejahatan perdagangan manusia (trafiking). Trafficking ini dapat mengancam TKI atau TKW sejak tahap rekruitmen, pra-keberangkatan (pelatihan atau penampungan), tahap keberangkatan, masa kerja, kepulangan dan pasca kepulangan.


Disamping rentan dengan berbagai resiko, buruh migran juga kurang mendapatkan perlindungan dan pembelaan yang tegas dari pemerintah, terutama jika mereka terjerat trafiking. Padahal, sesungguhnya para buruh migran ini adalah pahlawan devisa yang mampu mengalirkan uang triliyunan rupiah ke negeri ini. Tetapi pemerintah justru berpangku tangan, ketika mereka diperas, baik oleh para petugas maupun mereka yang berkecimpung dalam penyelenggaraan dan pengiriman buruh migran; calo-calo dan PJTKI-PJTKI yang nakal, atau pihak-pihak lainnya.


Akar persoalan buruh migran ini -bila dilihat dari sisi hukum legal- sangat terkait dengan UU No. 39 th. 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini menempatkan pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas dan sekaligus pelaksana. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pemerintah bisa menjadi pembina dan pengawas yang obyektif, jika pada saat yang sama juga memiliki kepentingan sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja? Inilah salah satu akar persoalan lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.


Yang lebih penting dari semua itu adalah adanya keinginan serius pemerintah untuk memberantas perdagangan perempuan. Karena dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Lâ takrahû fatayâtikum ‘ala al-bighâli in aradna tahashunâ” (Janganlah kalian memaksa puttri-putrimu dalam pelacuran, jika memang mereka menhendaki penyucian).


Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pelacuran atau perdagangan perempuan terajadi karena desakan situasi dan kondisi. Karena itu tugas pemerintah adalah menciptakan situasi kondisi, sistem, dan undang-undang yang dapat memberantas habis praktek-prektek perdagangan perempuan.


Ini harus dilakukan, karena sebagai manusia, perempuan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara, ia berhak mendapat perlindungan hukum, untuk tidak dieksploitasi baik fisik maupun kejiwaan. Sebagai makhluk Allah SWT, perempuan berhak mendapat perlakuan setara dengan manusia jenis lainya. Rasul SAW bersabda bahwa: “Ingatlah, aku berpesan: agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka kecuali untuk kebaikan”.
(HR. al-Turmudzi). Wallahu a’lam bi al-shawab


Penulis adalah almnus pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin yang sekarang verkhidmah melakukan kerja-kerja kemanusiaan di Fahmina Institute