Sunday, December 27, 2009

Ceramah Sepuluh Syuro KH. Said Aqiel Siradj

Tulisan di bawah ini adalah rekaman ceramah KH. Said Aqiel Siradj pada acara peringatan 10 Muaharam di keraton kasepuhan Cirebon, 07/01/2009, yang dibayang-bayangi tindak intoleransi dan diskriminasi dari kelompok keagamaan garis keras. Rekaman ini ditranskrip, dituliskan dan diedit oleh Ali Mursyid

ISLAM BUKAN HANYA AQIDAH DAN SYARIAH
TETAPI PERADABAN DAN ILMU PENGETAHUAN*

Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ‘ala maulana wa syafiina wa habibina rasulillah, Muhammad saw. Wa man tabai’a sunnatahu wa jama’ana ila yaumina hadza, ila yaumil ba’tsi wa kafa.

Ashabal Fadhilah Sadatana Ahlal Baitil Mushtafa, Habibabana wa hamzakumullah, Wa ‘ala ru’usihim Assayiid Hasan Alai al-Idrus. Hadratsus Syaikh KH. Mahfudzh, KH. Hassan Kriyani, Rekan-Rekan Pengurus NU, Wawan Arwani, rekan-rekan pengurus PMII, pimpinan Forum Umat Islam se wilayah III, Bapak Syaihu, Sadati wa Sayidati ahlil kubur

Alhamdulillah pada malam hari ini, saya juga merasa berbahagia bisa menghadiri acara yang sangat mulia dzikra syahadati sebeti rasulillah saw, sayidina wa imamina Abi Abdillah al-Hussein as. Mudah-mudahan kita semua medapatkan berkahnya, syafaatnya, sehingga kita menjadi umat yang selamat bahagia dunia akhirat amin ya rabbal amin.

Soal ada halangan, tempatnya pindah, saya harap kepada seluruh panitia, jangan marah. Maafkan mereka yang memindahkan tempat acara ini. Maafkan yah, jangan marah, jangan dendam. Allahummahdihim fainnahum la ya’lamun. Alhamdulillahi al-ladzi ja’ala a’da’na umaqa.

Hadirin yang saya hormati, setelah al-khalifah al-rasyid yang keempat, al-Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibantai, dibunuh pagi Jum’at 17 Ramadhan th. 40 H. oleh seorang yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Pembunuh Sayyidina Ali ini orangnya qiyamul lail wa shiyamun nahar, hafidhul Qur’an. Orangnya tiap malam tahajud, sampai jidatnya hitam, tiap siang puasa, dan hafal al-Qur’an. Mengapa dia membunuh Sayyidina Ali? Karena menurutnya Sayyidina Ali itu kafir? Apa Kafir? Keluar dari Islam. Kenapa Ali kafir? Karena menurutnya, Ali menerima hasil rapat manusia. Hukum atau keputusan rapat manusia. Padahal, la hukma ilallah (tidak ada hukum selain hukum Allah), wa man lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun (maka barang siapa menggunakan selain hukum Allah, maka kafir). Ali tidak menggunakan hukum Allah, tetapi menggunakan hukum hasil kesepakatan rapat di Dummatul Jandal. Kalau kafir, maka harus dibunuh. Eh anak kemarin sore, mentang-mentang jidatnya hitam dan jenggotnya panjang, mengkafirkan man aslama min al-shibyan, shihru rasulillah, fatihu khaibar, min al-sabiqin al-mubasyirun bi al-jannah, bab al-ilm.

Anak kemarin sore berani mengkafirkan remaja yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali shalat jamaah di masjidil haram. Waktu itu ditertawakan oleh Abu Jahal dan teman-temannya. Waktu itu yang pertama kali shalat jama’ah di masjidil haram tiga orang. Saat itu imamnya Rasulillah, makmumnya sayyidah khadijah al-kubra dan Sayyidina Ali. Tiga orang itulah yang pertama kali shalat terang-terangan di dunia ini. Dikafirkan oleh anak kemarin sore, maklum pernah ikut pesantren kilat dua minggu.

Ali adalah shihru rasulillah, menantu rasul. Ia juga dijuluki bab al-ilmu, sahabat yang intelek dan cerdas. Ali juga adalah min al-sabiqin al-awwalin al-mubasyirun bi al-jannah, salah satu orang yang sudah dikasih tahu pasti masuk surga. Di samping sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Thaha, Zubair, Abdullah bin Auf, Abu Ubaidah, Amr bin Jarrah, sampai orang sepuluh yang dikasih tahu pasti masuk surga.

Sayyidina Ali juga dipercaya sebagai Fatihu Khaibar, yang memimpin perang mengalahkan benteng terakhirnya Yahudi di Khaibar. Dan Imam Ali juga selalu hadir dan ikut bersama rasul dalam peperangan perjuangan jihad fi sabililillah. Yang begini dikafirkan oleh anak kemarin sore, bernama Abdurrahman ibn Muljam.

Ini, penyakit seperti ini sudah mulai masuk ke Cirebon. ”Alah baca al-Qur’an juga plentang-plentong. Ngerti nggak itu asbab al-nuzul? Ngerti nggak itu tafsir? Negerti nggak itu mushtalah hadits? Shahih, hasan dan dha’if? Ngerti nggak itu qira’ah sab’ah? Apalagi qira’ah sab’ah, qira’ah yang biasa aja nggak bener kok! Ngerti nggak ushul fiqh? Ngerti nggak itu ilmu kalam? Tarikhu Tamaddun? Tarikhu Hadharah wa Tsaqafah? Ngerti nggak itu? Tahu-tahu mudah sekali mengkafirkan dan menyalah-nyalahkan orang. Alah, Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun, Alhamdulillah al-ladzi ja’ala a’da’na umaqa, juhala. Alah. ”

Setelah Sayyidina Ali terbunuh di Kuffah, maka gubernur Syam, Muawiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Hasyim merasa plong, tidak ada saingan. Tidak ada yang diperhitungkan lagi. Maka ia mendeklarasikan diri sebagai penguasa tunggal. Lalu setelah itu buru-buru ia mengangkat anaknya yang bernama Yazid, diangkat menjadi putra mahkota, yang akan mewariskan tahta, artinya kalau ia mati, langsung digantikan anaknya, yang bernama Yazid. Yazid sendiri adalah anak seorang ibu yang bernama Maesun, orang Badui pedalaman, yang tidak suka tinggal di istana, dan suka hidup di padang pasir dan suka tidur di kemah. Yazid sendiri tidak pernah belajar ngaji dan belajar agama, ia hanya belajar berburu, naik kuda, memanah dan memainkan senjata.

Setelah Muawiyah meninggal, Yazid langsung menjadi penggantinya, penguasa umat Islam. Waktu itu diutus beberapa utusan berangkat dari Damaskus ke seluruh provinsi untuk mengambil sumpah setia dari tokoh-tokoh yang ada kepada Yazid. Utusan-utasan itu berangkat ke Mesir, ke Basrah, ke Kuffah dan juga diantaranya ke Madinah. Sampai di Madinah, para sahabat besar, seperti Abdullah ibn Umar dan lain-lainnya mau berbai’at karena dipaksa dan dibawah intimidasi. Meski yang lain bai’at, Imamuna Sayidina Husein meminta waktu untuk berfikir. ”Nanti saya fikir dulu malam ini”, katanya.

Lalu Sayyidina Husein pulang ke rumah. Di dalam kegelapan malam, beliau beserta seluruh keluarganya meninggalkan Madinah al-Munawarah berjalan kaki menuju Makkah al-Mukarramah. Masuk kota Makkah, ketika orang datang haji, orang-orang datang ke Minna, beliau beserta keluarganya keluar dari Makkah. Beliau saat itu sudah sering haji.

Ketika Sayyidina Husein keluar dari Makkah, di tengah jalan ia dinasihati oleh seorang penasihat, bahwa kalau mau melakukan perjuangan jangan pergi ke Kuffah. Karena orang Irak mudah berhianat. Sebaiknya kamu ke Yaman, karena orang Yaman jujur dan mudah tidak hianat.

Ditengah jalan lagi, Sayyidina Husein berjumpa seorang penyair bernama Farazdaq. Farazdaq bertanya mau kemana wahai yang mulia? Beliau menjawab, saya mau ke Kuffah, saya menerima lebih dari seratus surat, agar saya hijrah dan membangun peradaban di sana. Farazdaq berkata; ”Jangan percaya orang Kuffah, mulutnya bersama kita tetapi hatinya beserta Muawiyah”. Sayyidina Husein menjawab, saya akan tetap menuju Kuffah. Farrazdaq berkata lagi: ”Kalau begitu, perempuan dan anak-anak jangan kamu bawa”. Tetapi mereka tetap diajak bersama. Rupanya Allah sudah menentukan mati syahidnya Husein, sehingga Sayidina Husein tidak menerima masukan orang lain. Akhirnya beliau tetap berjalan bersama keluarga dan pengikutnya. Ada bukunya berjudul Ashabu Husein, sedikit sekali, yang bersenjata hanya berjumlah 54 orang.

Setelah Sayyidina Husein meninggalkan Farrazdaq, lalu ada orang yang bertanya. ”Wahai Farrazdaq, tadi kamu berbicara sama siapa, kok kelihatanya asyik banget”, tanya orang tersebut. Farrazdaqpun menjawab dengan lantunan bait-bait syair, yang artinya:

Tadi yang saya ajak ngomong itu, kamu ndak tahu? Kamu ndak tahu?
Dia sudah dikenal seluruh umat manusia
Baik penduduk tanah halal dan tanah haram
Ka’bah pun sudah kenal dia
Siapa dia itu?
Dia adalah anak orang yang paling mulia (Sayyidina Ali)
Dia adalah orang yang bertakwa, bersih dan suci
Kalau kamu ndak tahu? Dia putra Fatimah
Ketika orang Quraish melihatnya
Orang Quraish akan mengatakan, bahwa orang inilah
ujung orang yang mendapat kemuliaan
Dengan kakeknyalah para Rasul dan Nabi di akhiri
Karena kakeknya Nabi yang terakhir

Sayidina Husein beserta rombongan terus melanjutkan perjalanan. Dan sesampainya di padang Karbala dihadanglah oleh 400 pasukan penunggang kuda yang diperintah oleh Abdullah ibn Ziyad, yang dipimpin Umar ibn Sa’ad ibn Abd al-Waqas.

Terjadi peperangan yang tidak seimbang, termasuk hampir tentara Husein yang hanya berjumlah 54 orang. Semua yang ikut Sayidina Husein mati syahid, kecuali Imam Ali Zainal Abidin, tidak meninggal karena tidak keluar kemah karena sedang sakit demam. Dan juga istri Sayidina Husein, Fatimah, adiknya juga Sayidah Zainab dan kakaknya lagi. Kira-kira ada 4 orang yang selamat.

Sebenarnya mudah sekali untuk membunuh dan membantai Sayidina Husein, gampang. Tetapi tiap orang yang mendekat dan hendak membunuh beliau, maka akan berusaha menjauh, dan mengatakan kalau bisa jangan saya yang membunuh, tetapi yang lain saja. Kalau datang waktu adzan, waktu shalat, semuanya berhenti, lalu tidak ada yang berani menjadi Imam Shalat. Semua sepakat Sayidina Husein yang mengimami shalat. Jadi yang memusuhi juga makmum ke Sayidina Husein. Habis shalat lalu bertempur lagi.

Sampai akhirnya seorang yang menjadi jausyan (tentara, algojo), dengan berani menarik Sayidina Husein dari kudanya. Begitu jatuh, dinaikkin, diinjak, ditebas lehernya, dipisahkan kepala dan badannya. Badanya diinjak-injak oleh kuda sampai rata dan menyatu dengan tanah Karbala. Tinggallah kepalanya. Kepalanya ditancapkan di tombak, dibawa ke Kuffah, diarak keliling kota Kuffah, bersama 4 keluarganya tadi. Dari Kuffah lalu dibawa ke Syiria, Damaskus. Di kereta itu isinya, istrinya, adiknya, anaknya, dan saudaranya. Luar biasa sekali (kejamnya red.).

Sampai di Damaskus, kepala itu dipasang di depan istana Yazid. Dan setiap orang yang lewat diperintahkan oleh tentara untuk memaki-maki dan menjelek-jelekannya. Setelah kepala itu cukup lama terpajang di depan istana Yazid, Sayidah Zaynab memberanikan diri agar dizinkan membawa kepala itu pulang ke Madinah. Yazid mengizinkan. Tetapi di tengah jalan dicegat oleh tentara Yazid agar kepala tersebut tidak sampai ke Madinah. Karena takut dapat membangkitkan dan membakar emosi penduduk Madinah. Makanya kemudian kepala tersebut dibelokkan ke Mesir. Makanya makam Sayidina Husein ada di Kairo di Mesir. Ali Zainal Abidin, putra beliau, dipulangkan ke Madinah.

Saudara-saudara dan para hadirin sekalian, kenapa saya cerita demikian? Ini karena ideologi apa pun, agama apa pun, keyakinan apa pun tidak bisa besar tanpa ada pengorbanan, tanpa ada syahadah (kesyahidan). Ini terlepas dari agama apa saja. Kristen bisa maju karena banyak pengirbanan. Budha dan Hindu masih tetap ada karena banyak pengorbanan. Demikian juga Islam, berkembang sampai sekarang karena pengorbanan syuhada, banyak nyawa yang mengalir, demi mempertahankan agama Islam.

Pertama kali yang syahid dalam agama Islam adalah perempuan, namanya Sumayah. Istrinya Yasir, ibunya Amar bin Yasir, yang dibunuh oleh Abu Jahal. Lalu seminggu kemudian, suaminya dibunuh, Yasir. Seminggu kemudian, Amar akan dibunuh. Tetapi selamat, karena dalam keadaan terpaksa ia pura-pura murtad. Begitu pura-pura murtad, langsung menghadap Rasulullah saw, dan menyatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, diancam dibunuh, ia pura-pura murtad, pura-pura mecaci maki Rasul. Rasul menanyakan, bagaimana isi hati Amar? Amar menjawab, hatinya tetap beriman. Rasul pun memaafkannya, karena memang dalam keadaan terpaksa. Jadi yang pertama syahid dalam Islam itu perempuan. Kalau laki-laki itu biasanya omongnya saja yang besar. Kalau perempuan itu buktinya ada.

Selanjutnya banyak lagi darah pengorbanan para syuhada tercurah demi mempertahankan Islam. Syuhada Badar, syuhada Uhud. Sayidina Hamzah ibn Abbas, Sayidina Hmzah ibn Abdi Muthalib, Mus’ab ibn Umay, Sayidina Khalid ibn Walid, dan yang lainnya. Darah syuhada mengalir demi melanggengkan ajaran Islam.

Syahadah Sayidina Husein tudak akan percuma, tidak sia-sia. Islam bisa sampai di Indonesia itu antara lain, disebabkan oleh syahadah Sayidina Husein. Bagitu Sayidina Husein, sebagai ahlu bait yang dibenci penguasa. Sayidina Husein memiliki putra, Ali Zainal Abidin. Zainal Abidin punya putra Muhammad al-Baqir. Muhammad al-Baqir punya putra Ja’far al-Shadiq. Ja’far al-Shadiq punya putra Musa al-Kadzim, Ismail. Musa al-Kadzim punya putra Ali al-Uraifi, yang kuburannya sekarang kuburannya di Madinah digusur dan dijadikan jalan tol. Imam al-’Uraifi punya putra namanya, ’Isha. ’Isha punya putra Ahmad. Ahmad hijrah dari Madinah ke Yaman. Dari Yamanlah Ahmad al-Muhajir punya keturunan sampai ke Kamboja, sampai ke Cirebon, Gresik. Para wali songo di pulau Jawa ini adalah kuturunan dari al-’Uraifi. Seandainya ahlu bait itu hidupnya enak, tidak dikejar-kejar mungkin Islam akan lambat datang ke Indonesia.

Syahadah Sayidina Husein tidak sia-sia. Dengan syahadah Sayidina Husein mempercepat Islam tersebar ke Timur. Pada malam hari ini kita mengenang kembali, menghormati pengorbanan cucu Rasul saw. Kita ini bukan saudaranya, bukan cucunya, bukan besannya, tetapi menghormati saja kok males banget. Malah ada yang tidak percaya, ”haul itu apa?”, ”kirim doa itu apa?” ”ndak akan nyampe”, katanya. Coba kalau kita balik doanya, doakan bahwa: ”mudah-mudahan Bapak sampean masuk neraka”. Nah kalau didoakan seperti ini maka orang itu marah juga. Berarti percaya bahwa doa itu sampai dong.

Islam yang datang ke Jawa ini adalah Islam ahli sunnah wal jama’ah, Islam yang selalu menjunjung tinggi tawasuth, berfikir moderat. Tidak ekstrem. Islam yang dibawah para habaib, sayyid, dan saddah, yang berdakwah dengan cara-cara damai. Dulu tidak ada para habaib yang galak. Mereka berdakwah dengan cara dan sarana-sarana kebudayaan yang ramah. Para wali dan Sunan itu kan para habaib, tidak ada yang galak. Tidak tahu kalau sekarang, dan akhir-akhir ini, apa ada habib yang galak. Yang jelas dulu tidak ada para habaib kalau berdakwah pakai cara-cara mengobrak-abrik rumah orang. Saya tidak tahu, kalau sekarang, mungkin ada habib yang berdakwah secara keras?

Dakwah para dakwah habib itu dengan cara-cara ramah, dan memasukkan bahasa dan budaya ke sini. Banyak kata dalam bahasa Arab masuk ke bahasa Indonesia. Dulu para ulama memoles sedemikian rupa, melalui cara-cara budaya, bahasa, yang damai. Tidak ada paksaan dalam agama. Dan itu tidak sesuai dengan ajaran Islam

Ada seorang namanya al-Hasyim dari Bani Salim al-Khazraj. Ia musyrik, punya dua anak beragama Kristen. Sewaktu Nabi masuk Madinah, ia masuk Islam. Ia pun memaksa dua anaknya agar masuk Islam. Lalu turunlah ayat al-Qur’an yang berbunyi: ”La ikraha fi al-din” (tidak ada paksaan dalam agama). Jadi asbab al-nuzul turunya ayat La ikraha fi al-din adalah karena kondisi berikut.

Oleh karena itu, mari kita yang ahli sunnah, dan para ahlu bait, dan para pecinta keluarga Nabi, kita tunjukkan bahwa kita berakhlak. Kita jauhi segala tindak kekerasan, kita jauhi cara-cara dakwah syiddah dan ikrah.

Rasulullah ketika Fathu Makkah, begitu masuk Makkah, lalu menyebarkan jargon bahwa hari ini adalah bukan hari pembalasan tetapi hari kembali membangun kasih sayang (yaumul marhamah). Dengan demikian sekonyong-konyong para musuh Quraisy Makkah datang ke Muhammad saw. Maka kemudian turunlah ayat yang menyeru agar Nabi pun memaafkan mereka dan meminta ampun mereka kepada Allah

Islam bukan hanya agama aqidah dan syariah. Tetapi Islam juga adalah agama Tamadun dan Tsaqafah, Islam adalah agama peradaban dan pengetahuan. Globalisasi yang di bawah islam dari timur ke Barat, adalah kemajuan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Bukan globalisasi fitnah dan fawahisy, yang seperti kita laksanakan sekarang ini

Oleh karen aitu, agama tidak akan maju, bila tidak dibarengi dengan peradaban. Agama tidak akan maju bila tidak dibarengi dan diwarnai dengan budaya. Karena agama itu suci dari langit, akan langgeng bila disosialisasikan, bila dibumikan secara manusiawi, dan bukan melulu didoktrinkan. Aqidah, Iman dan Shalat serta Puasa memang dari ajaran langit. Tetapi tidak akan langgeng bila tidak dibarengi dengan budaya. Kita harus mempertahankan nilai ketuhanan dengan aktifitas manusia di bumi. Menjadikan peradaban sebuah doktrin.

Dulu kan ada tradisi sesajen, para ulama dan kyai tidak langsung menyatakannya sebagai syirik. Tetapi menyatakanya bahwa kalau kamu punya uang yah sedekahnya atau sesajennya jangan cuma di empat pojok. Tetapi ayo menyembelih kambing saja. Setelah kambing disembelih, lalu orang deramwan itu tanya mau taruh dipojok mana daging kambing itu? Maka kyai akan menjawab jangan ditaruh tetapi mari undang para tetangga untuk makan-makan dan doa serta tahlil bersama. Nah dakwah semacam ini kan ramah. Tidak langsung mengatakan ini itu syirik dan bid’ah, nanti umat lari.

Jangan sekali-kali menuding ini itu syirik atau bid’ah. Mengerti tidak apa itu bid’ah itu?. Apa yang tidak dilakukan dan diajarkan Nabi itu bid’ah Kalau tidak ngerti, diantara contoh bid’ah adalah tulisan Arab yang ada titiknya itu bid’ah. Nah titik itu ditemukan oleh Abu Aswad al-Dualy pada th. 65 H. Sudah ada titiknya juga masih banyak yang belum bisa baca al-Qur’an, maka, Imam Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, gurunya Imam Syibawaih, bikin syakal (harakah), fathah, kasrah dan dhammah.

Sudah ada titik dan syakal, nyatanya masih banyak orang yang tidak bisa baca al-Qur’an, maka Imam Abu Ubay Qasim ibn Salam w. 242 H menyusun ilmu Tajwid, agar benar dalam membaca al-Qur’an. Mau bener baca al-Qur’an pakai ilmu Tajwid. Ilmu Tajwid itu bid’ah, karena memang semua ilmu pengetahuan itu bid’ah. Karena memang Rasul tidak mengajarkannya.

Contoh lagi, ada seorang gubernur dari Asia Tengah, Amir al-Mahdi kirim surat pada Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i (Imam Syafi’i). Surat itu isinya tanya, saya kalau baca al-Qur’an dan Hadits, itu isinya nampak bertentangan? Lalu untuk menjawab ini Imam Syafi’i menyusun kitab Ar-Risalah, yang berisi kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Serta ada Ushul Fiqh baru kemudian ada Ilmu Fiqh. Lalu kemudian ada penjelasan dalam Ilmu Fiqh mengenai rukun shalat. Kalau mau shalatnya benar yah mengikuti Ilmu Fiqh, yang susunannya ulama.Kalau Cuma lihat al-Qur’an dan Hadits tidak akan ketemu

Contoh satu lagi, biar jelas saja. Contohnya ada orang pergi haji, masuk hotel ambil kamar yang bagus. Begitu tanggal 8 mau ke Arafah, ia mau cari tahu berapa jarak hotel ke Arafah, ke mana arahnya, naiknya apa? Dia lalu buka al-Qur’an dan Hadits, yah tidak akan ketemu. Nah sebaiknya bagaimana, yah ikut saja rombongan yang ke Arafah. Nah ikut saja itu kan bahasa Indonesia, bahasa Arabnya yah taqlid saja.

Jadi kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan baik tanpa ilmu Fiqh, yang bukan bikinan Rasul, bukan sahabat Abu Bakar, Utsman dan Ali. Sahabat Husein juga tidak bikin Ilmu Fiqh. Nah bila ada orang shalatnya bagus sekali, lalu kita tanya, Bapak kan shalatnya bagus sekali, dari mana belajarnya Pak? Lalu bila ia jawab, ia belajar dari al-Qur’an dan Hadits, itu bohong. Kalau mau jujur, ia sebenarnya belajar dari ayah atau gurunya, yang mentok-mentoknya merujuk pada kitab Safinah. Atau kalau Safinah terlalu besar, yah mentok merujuk pada Fashalatan, atau minimal buku Petunjuk Shalat Lengkap.

Yang namanya ibadah itu harus dengan ilmu. Sedangkan ilmu itu bukan karangan Rasul dan para sahabatnya. Ilmu Mushtalah Hadits itu disusun oleh Imam Syihabuddin Arrahumuruzi atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz, setelah mengingat banyakanya hadits dha’if dan palsu. Jadi Islam itu agama peradaban, akhlak dan pengetahuan. Bukan hanya doktrin yang sering ditampilkan sangar itu.

Karena itu mari mulai malam hari ini, tingkatkan ahlak kita, tingkatkan ilmu pengetahuan kita. Pahamilah Islan dengan baik dan benar. Kalau mau memahami al-Qur’an tidak bisa langsung, polosan. Harus mengerti asbab al-nuzul, ilmu tafsir, ilmu qira’ah, ilmu bahasa Arab, nahwu sharafnya. Kalau ingin memahami ilmu hadits maka harus memahami ilmu mushtalah al-hadits.

Pada kesempatan ini, mari kita rayakan jasa para habaib dalam menyebarkan agama Islam. Seandainya tidak ada habaib dan ahlu bait, mungkin kita akan jauh bisa meneladani akhlak Rasul saw. Imam Syafii pernah menyatakan, bahwa kalau ada orang yang mencintai Ahlu Bait, lalu dianggap Syiah, maka OK tidak apa-apa, silahkan saya dianggap Syiah.

Sesungguhnya, tragedi pembantaian di Karbala yang demikian bukan hanya tragedinya Syiah, tetapi tragedi kemanusiaan. Seharusnya ini bukan hanya milik Syiah tetapi yang lain juga. Wallahu Muwafiq Ila Aqwam al-Thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tuesday, December 15, 2009

Teladan Imam Malik: Toleran Terhadap Perbedaan dan Kritis Pada Perbedaan

Oleh Ali Mursyid

“Manakala kamu menemukan pendapatku keliru, maka tinggalkan ia dan buanglah jauh-jauh. Dan manakala kamu menemukan pendapatku benar maka ikutilah apa yang aku ikuti. Jangan mengikuti aku.” (Imam Malik)

Pernyataan di atas dikemukakan oleh Imam Malik, ulama penggagas salah satu madzhab besar di kalangan Islam Sunni, madzhab Maliki. Beliau adalah guru Imam Syafi’i, yang pandangan dan madzhabnya banyak diikuti umat Islam Indonesia. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa meski beliau dikenal sebagai ulama besar di zamannya dan memiliki otoritas sebagai Imam Madzhab, Imam Malik tidak memaksakan pandangannya, tidak merasa bahwa pandangannya adalah yang paling benar, sementara yang lain pasti salah.
Ketika khalifah Al-Manshur ingin menetapkan kitab Al-Muwatha, karya utama Imam Malik, sebagai pegangan utama dan dasar perundang-undangan di Negara Islam saat itu, Imam Malik melarangnya. Beliau menolak penyatuan pemahaman keagamaan ini dengan mengutip hadits yang menyatakan bahwa perbedaan pandangan di antara umat Islam adalah rahmat. Penolakan Imam Malik atas penyatuan paham keagamaan oleh pemerintah dengan menggunakan karyanya Al-Muwatha, menyiratkan sikap muru’ah dan istiqamahnya. Sebagai ulama dan fuqaha besar pada zamannya, beliau tidak mau memberangus perbedaan-perbedaan pandangan yang ada dan berkembang di masyarakat, meski hal itu dikehendaki penguasa.

Sikap toleran dan menghargai perbedaan yang dimiliki Imam Malik, juga diikuti oleh muridnya, Imam Syafi’i. Sebagai murid, Imam Syafi’i sering berbeda pandangan dengan Imam Malik. Namun demikian, hubungan mereka sebagai guru dan murid, tetap terjaga dengan baik. Membiarkan dan memberi ruang bagi para murid untuk berbeda pandangan dengan guru, adalah salah satu sikap toleran yang dicontohkan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i juga menyatakan bahwa “Ra’yi shawab yahtamil al-khatha’ wa ra’yu ghairi khatha’ yahtamil al-shawab (pendapatku memang benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain memang salah, tetapi mengandung kemungkinan benar).”

Imam Malik: Ulama Besar pada Masanya

Imam Malik sendiri bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M dari keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya Imam Malik menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Ia juga berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Di usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Tegas dan Kritis Terhadap Penguasa

Imam Malik adalah sosok yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al-Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian dengan paksaan. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tetapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.

Khalifah Mansur tidak berkenan dengan tindakan keponakannya itu. Khalifah mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang Imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang Imam. Namun Imam Malik menolak undangan tersebut.

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Menjawab panggilan penguasa, Imam Malik mengatakan dengan tegas, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia”. Mendengar itu, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah dan duduk bersama dengan rakyat kecil.

Bercermin pada Sejarah Islam

Dari sejarah Islam, kita tahu bahwa banyak ulama dan bahkan Nabi Muhammad saw sendiri diceritakan sebagai pribadi yang tegas dalam menyampaikan kebenaran dan kritis pada kedzaliman, meskipun itu datang dari penguasa.

Dalam sejarah Islam juga kita ketahui bahwa sikap toleran dan menghargai perbedaan sesungguhnya bukan hanya dicontohkan Imam Malik dan Imam Syafi’i saja. Para ulama sejak dahulu menghargai perbedaan pandangan yang ada dengan sikap penuh toleransi.

Banyak sekali kitab-kitab fikih perbandingan yang ditulis secara khusus untuk mengulas berbagai perbedaan pandangan yang ada. Sebut saja misalnya, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah karya Abdur rahman al-Jazairi, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan banyak lagi yang lain. Penulisan kitab-kitab itu antara lain diniatkan supaya kita dapat memahami kenyataan adanya perbedaan-perbedaan itu dengan penuh lapang dada. Sebagai umat Islam, sebenarnya kita telah diberi pelajaran berharga, bagaimana menyikapi perbedaan dalam bingkai toleransi dan saling menghormati satu sama lain.

Tetapi kenyataannya, kenapa sikap toleran dan menghargai perbedaan belakangan mendapatkan banyak rintangan dan hambatan. Bahkan ironisnya, terkadang sikap toleran dan menghargai keragaman ini dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar ajaran dan sejarah Islam. Mestinya kita banyak belajar dari ajaran dan sejarah Islam yang otentik yang sangat toleran dan menjunjung perbedaan. Wallahu a’lam bi al-shawab
________________
* Penulis Ali Mursyid, dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Al-Hanif yang duterbitkan MMS

Tuesday, December 8, 2009

Makna Sosial Ibadah Kurban

Oleh Ali Mursyid
Dosen IIQ Jakarta


Seorang yang kaya raya dan hidup serba ada di sebuah desa di tegur oleh kiai setempat. “Hartamu melimpah, kenapa sampai saat ini engkau belum melaksanakan ibadah kurban?” tegur seorang kiai kepadanya. Ia menjawab: “Bukankah kiai pernah mengajarkan bahwa kambing atau sapi yang disembelih untuk ibadah kurban itu akan menjadi kendaraan kita di akhirat. Kalau itu betul, maka saya tidak akan melaksanakan ibadah kurban. Di dunia saja saya hanya terbiasa mengendarai sedan, masa nanti di akhirat harus mengendarai kambing atau sapi.”

Demikianlah, meski dialog kiai dengan orang kaya di atas hanyalah dialog imajiner, tetapi bisa saja dalam satu tempat atau kesempatan, hal tersebut merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terutama bila ibadah kurban hanya dimaknai secara formal dan simbolik, hanya dimaknai sebagai prosesi penyembelihan dan pembagian daging hewan kurban, yang di akhirat nanti hewan yang disembelih ini akan menjadi kendaraan penyelamat dari api neraka.

Tulisan ini bukan hendak menyalahkan pemaknaan ibadah kurban secara formal tersebut, karena pemaknaan itu juga merupakan pemahaman ulama-ulama terdahulu yang tentu sesuai dengan konteks zaman saat itu, juga merupakan cara praktis agar agama dapat dipahami dan dilaksanakan dengan mudah oleh masyarakat banyak. Tetapi kalau hanya sisi-sisi formal peribadatan yang dikenal kebanyakan masyarakat, maka kemudian agama (Islam) sebagai nilai-nilai keadilan, kebenaran universal, dan pembelaan terhadap mereka yang tertindas bergeser menjadi sekedar ketrampilan beribadah, ketrampilan mengerjakan shalat, puasa, haji, dan termasuk ibadah kurban. Orang lalu sibuk dengan sah atau tidaksnya suatu ibadah dilaksanakan. Energi mereka banyak dihabiskan untuk sekedar mempelajari syarat wajib, syarat sah dan rukun serta hal-hal yang membatalkan sebuah peribadatan. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakannya tidak ada-- yang mencoba menangkap esensinya, apalagi mewujudkannya dalam kehidupan sosial dengan segala bentuk dan setumpuk permasalahannya.

Padahal sesungguhnya dalam Islam, tidak ada peribadatan yang dilaksanakan yang tidak diharapkan dampaknya pada kehidupan sosial. Adalah sangat tidak mungkin agama dengan segala bentuk peribadatannya, diturunkan Allah swt kepada masyarakat manusia tanpa maksud. Bukankah agama (Islam) diturunkan kepada Muhammad saw untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat? Bukankah Al-Qur’an turun Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun dengan cara bertahap; berusaha mengontrol setiap perubahan yang terjadi di masyarakat saat itu. “Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan) maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tangan (kekuasannya), lisan (perkataannya) atau paling tidak dengan hatinya,” demikian sabda Nabi Muhammad swa. Secara tersirat beliau berpesan bahwa paling tidak seorang muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya, bukan bersikap tidap peduli. Puluhan ayat dan ratusan hadits menekankan keterkaitan keimanan dengan kepekaan sosial, rasa senasib dan sepenanggungan dengan anggota masyarakat yang lain.

Begitu juga ibadah kurban, meski nampak dalam prakteknya menyerupai persembahan para suku pedalaman kepada dewa-dewa mereka namun sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Walau ayang diajarkan adalah; siapa yang berkurban akan mendapat pahala besar dari Allah swt, tetapi dalam prakteknya, daging kurban tersbut dibagikan kepada fakir miskin, dan bukan menjadi daging sesajen. Kurban sesungguhnya lebih bermakna dan sarat dengan pesan kemanusiaan daripada ibadah yang berharap pahala.

Ibadah kurban dilaksanakan tidak untuk menunjukkan kelebihan seseorang atas yang lainnya, sebab hakikat kurban adalah memberikan, menyerahkan sesuatu dengan sukarela, tanpa mengingat kepentingan diri sendiri. Karena itu harus dikerjakan dengan ikhlas dalam rangka iman dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj, 22: 37)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa hakikat ibadah kurban bukan pada penyembelihan hewan, melainkan pada sikap taat dan patuh kepada Allah swt. Hakikat ibadah kurban adalah mendidik seorang muslim agar memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi terhadap kehidupan di sekitarnya. Dengan ibadah kurban ini, Islam menghendaki agar hubungan antara si kaya dan si miskin, antara yang kuat dan yang lemah terjalin sebaik-baiknya melalui silaturahim, saling peduli dan saling menyantuni.

Ibadah kurban juga mengingatkan kita kepada Nabi Ibrahim as yang bersedia mengorbankan Islmail, putra semata wayang yang sangat disayanginya. Bagaimana tidak, setelah Ibrahim menunggu sekian lama akan kehadiran seorang anak dalam keluarganya, tiba-tiba Allah mewahyukan kepada beliau untuk mengorbankan anaknya, justru ketika sang anak baru tumbuh dan sedang lucu-lucunya. Pada awalnya, Ibrahin bingung dan guncang jiwanya, namun akhirnya kecintaan beliau pada Allah menunutunnya untuk menglahkan ego kebapakannya demi menjalankan perintah Allah swt.
Kalau Ibrahim berani mengorbankan Ismail, maka sekarang apa yang akan kita korbankan. Apa ‘Ismail’ kita? Kedudukan? Harga diri? Profesi? Uang? Rumah? Sawah dan kebun? Mobil? Keluarga? Citra diri? Masa muda? Keelokan para rupa? Mungkin sampai saat ini, kebanyakan kita belum tahu pasti, apa ‘Ismail’ kita yang patut kita korbankan demi kecintaan kita kepada Allah swt?

Ada beberapa petunjuk untuk mengetahuinya. ‘Ismail’ kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, setiap sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar perintah Allah, dan setiap sesuatu yang membutakan mata kita dan telinga kita untuk melihat dan mendengar kebenaran. Kalau kita ini Ibrahim, maka korbankalah ‘Ismail-Ismail’ kita itu?

Selain itu, digantinya Ismail dengan hewan sembelihan (domba besar dan gemuk) mengisyaratkan bahwa yang harus dihilangkan dari diri kita sebagai muslim adalah segala sifat buruk kebinatangan. Sikap mateialistis (hubud dunya), gila jabatan (hubbul jah), serakah, sombong, ingin menang sendiri, tidak mengenal belas kasihan serta tidak saling menghargai dan menghormati sesama manusia, KKN, menumpuk kekayaan, sedangkan orang lain menderita, semua itu harus segera ditinggalkan. Wallahu a’lam bi al-sahawab
________________________
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Al-Basyar yang tebit di Cirebon

Wednesday, June 10, 2009

Pengentasan Kemiskinan Umat

Oleh Ali Mursyid*

Kalaulah kemiskinan itu berbentuk manusia, sungguh aku akan membunuhnya (Ali Bin Abi Thalib)

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang keberadaannya bersamaan awal mula Allah mencipta manusia dan hidup di alam semesta. Konsep kemiskinan bukan semata misalnya, ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga menyangkut mentalitas individu di dalam menjalani hidup. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang (terpaksa) abai pada dua aspek penting kesehatan dan pendidikan. Maka menjadi logis bila dikatakan kemiskinan merupakan musuh bersama umat manusia. Bahkan kemiskinan (kefakiran) dalam Sabda Nabi Muhammad Saw dapat menjadi sumber kekafiran.

Dalam beberapa literature, kemiskinan diartikan sebagai keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa dimiliki se-perti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.

Saat ini, ada tiga pasangan capres-cawapres telah mendeklarasikan diri untuk maju dan sudah mendaftarkan diri ke KPU, yaitu SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Salah satu isu yang dijual oleh para calon itu adalah isu kemiskinan. Karena di antara persoalan krusial yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Berdasarkan data BPS (2008), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Memang, terdapat penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai angka 37,17 juta orang. Dengan jumlah ini, semoga kedepan angka kemiskinan menjadi berkurang lagi.

Faktor Penyebab Kemiskinan dan Penyelesaiannya

Para ilmuwan sosial membagi dua jenis penyebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan terjadi karena faktor perilaku individu yang tidak produktif. Kedua, kemiskinan terjadi karena strukstur sosial yang mengakibatkan ada dan langgengnya kemiskinan tersebut. Dalam hal ini sistem sosial yang tidak adil dan kurang berpihak dalam melakukan pemberdayaan rakyat miskin, dapat menyebabkan individu menjadi terus-menerus miskin.

M. Quraish Shihab menuliskan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan atau kezaliman manusia lain.

Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang berarti mahluk yang hidup dan berjalan di muka bumi. Termasuk manusia. Jadi kalau ada manusia yang kekurangan rizki dan miskin, maka sesungguhnya ada pihak lain (sistem) yang menghalang-halanginya untuk mendapatkan rizki yang layak.

Berdasarkan beberapa faktor penyebab kemiskinan di atas, Al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang bisa ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga ranah: Pertama, pada ranah individu. Pada ranah ini bisa dilakukan dengan cara peningkatan semangat kerja. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Peningkatan semangat kerja ini merupakan langkah yang seiring dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.

”Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali ’Imran, 03: 14).

Kedua, pada ranah keluarga dan masya-rakat. Menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi tidak dapat diandalkan. Teori ini telah di-praktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.

Dalam hal ini, Al-Qur’an walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS. AT-Taubah, 09: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan.

Ketiga, Ranah Pemerintah. Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya adalah kewajibannya, bukan kebaikannya.

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah haditsnya menyebutkan, “Dari Jarir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya”. (HR. Bukhari). Pada kesempatan berbeda Nabi Saw. juga bersabda, “Dari Abdullah bin Musawir, “aku mendengar Ibnu Abbas memberi khabar kepada Ibnu Zubair, bahwa dirinya mendengar Nabi Saw. bersabda: “Bukanlah seorang mukmin yang sempurna, manakala dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”. (HR. Bukhari). Sebuah pelajaran dapat kita petik dari kedua hadits Nabi di atas adalah bahwa kemiskinan tidak perlu terjadi, seandainya umat itu saling berkasih sayang dan tidak membiarkan saudaranya dalam keadaan lapar.

Dalam potret sejarah Islam, para khalifah juga bergelut dengan problem kemiskinan umat dalam beberapa hal menunjukkan hasil yang baik. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, pernah membangun pilot proyek yang menjadikan Yaman sebagai provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. pada masa itu Gubernur Yaman, Mu’adz bin Jabal, mengirim sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi Yaman ke Madinah, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil zakat di tahun ketiga. Zakat dikirim ke ibu kota setelah tidak adanya mustahiq di propinsi Yaman. Bukti kedua, pengentasan kemiskinan juga terjadi pada dua tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana pada waktu itu sudah tidak diketemukan lagi orang miskin yang ada dalam negara tersebut. Inilah tauladan, bila memiliki kesungguhan dan keuletan, pasti Allah akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.Wallahu a’lam bi al-shawab[]

________________________________________
*Penulis adalah staf pengajar di IIQ Jakarta, dan Ma’had Ali Babakan Ciwaringin Cirebon. Tulisan ini di muat di Bulet Jumat, Warkah al-Basyar, 22 April 2009

Monday, May 25, 2009

Pengentasan Kemiskinan Umat

Oleh Ali Mursyid*

Kalaulah kemiskinan itu berbentuk manusia, sungguh aku akan membunuhnya (Ali Bin Abi Thalib)

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang keberadaannya bersamaan awal mula Allah mencipta manusia dan hidup di alam semesta. Konsep kemiskinan bukan semata misalnya, ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga menyangkut mentalitas individu di dalam menjalani hidup. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang (terpaksa) abai pada dua aspek penting kesehatan dan pendidikan. Maka menjadi logis bila dikatakan kemiskinan merupakan musuh bersama umat manusia. Bahkan kemiskinan (kefakiran) dalam Sabda Nabi Muhammad Saw dapat menjadi sumber kekafiran.

Dalam beberapa literature, kemiskinan diartikan sebagai keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa dimiliki se-perti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.

Saat ini, ada tiga pasangan capres-cawapres telah mendeklarasikan diri untuk maju dan sudah mendaftarkan diri ke KPU, yaitu SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Salah satu isu yang dijual oleh para calon itu adalah isu kemiskinan. Karena di antara persoalan krusial yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Berdasarkan data BPS (2008), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Memang, terdapat penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai angka 37,17 juta orang. Dengan jumlah ini, semoga kedepan angka kemiskinan menjadi berkurang lagi.

Faktor Penyebab Kemiskinan dan Penyelesaiannya

Para ilmuwan sosial membagi dua jenis penyebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan terjadi karena faktor perilaku individu yang tidak produktif. Kedua, kemiskinan terjadi karena strukstur sosial yang mengakibatkan ada dan langgengnya kemiskinan tersebut. Dalam hal ini sistem sosial yang tidak adil dan kurang berpihak dalam melakukan pemberdayaan rakyat miskin, dapat menyebabkan individu menjadi terus-menerus miskin.

M. Quraish Shihab menuliskan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan atau kezaliman manusia lain.

Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang berarti mahluk yang hidup dan berjalan di muka bumi. Termasuk manusia. Jadi kalau ada manusia yang kekurangan rizki dan miskin, maka sesungguhnya ada pihak lain (sistem) yang menghalang-halanginya untuk mendapatkan rizki yang layak.

Berdasarkan beberapa faktor penyebab kemiskinan di atas, Al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang bisa ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga ranah: Pertama, pada ranah individu. Pada ranah ini bisa dilakukan dengan cara peningkatan semangat kerja. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Peningkatan semangat kerja ini merupakan langkah yang seiring dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.

”Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali ’Imran, 03: 14).

Kedua, pada ranah keluarga dan masya-rakat. Menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi tidak dapat diandalkan. Teori ini telah di-praktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.

Dalam hal ini, Al-Qur’an walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS. AT-Taubah, 09: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan.

Ketiga, Ranah Pemerintah. Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya adalah kewajibannya, bukan kebaikannya.

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah haditsnya menyebutkan, “Dari Jarir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya”. (HR. Bukhari). Pada kesempatan berbeda Nabi Saw. juga bersabda, “Dari Abdullah bin Musawir, “aku mendengar Ibnu Abbas memberi khabar kepada Ibnu Zubair, bahwa dirinya mendengar Nabi Saw. bersabda: “Bukanlah seorang mukmin yang sempurna, manakala dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”. (HR. Bukhari). Sebuah pelajaran dapat kita petik dari kedua hadits Nabi di atas adalah bahwa kemiskinan tidak perlu terjadi, seandainya umat itu saling berkasih sayang dan tidak membiarkan saudaranya dalam keadaan lapar.

Dalam potret sejarah Islam, para khalifah juga bergelut dengan problem kemiskinan umat dalam beberapa hal menunjukkan hasil yang baik. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, pernah membangun pilot proyek yang menjadikan Yaman sebagai provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. pada masa itu Gubernur Yaman, Mu’adz bin Jabal, mengirim sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi Yaman ke Madinah, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil zakat di tahun ketiga. Zakat dikirim ke ibu kota setelah tidak adanya mustahiq di propinsi Yaman. Bukti kedua, pengentasan kemiskinan juga terjadi pada dua tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana pada waktu itu sudah tidak diketemukan lagi orang miskin yang ada dalam negara tersebut. Inilah tauladan, bila memiliki kesungguhan dan keuletan, pasti Allah akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.[]

________________________________________
*Penulis adalah staf pengajar di IIQ Jakarta, dan Ma’had Ali Babakan Ciwaringin Cirebon. Tulisan ini di muat di Bulet Jumat, Warkah al-Basyar, 22 April 2009

Sunday, April 26, 2009

Mari Selamatkan Karya Ulama Indonesia

Oleh Ali Mursyid

Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internaional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.

Para ulama ini menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang hingga sekarang masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi internasional, utamanya di Timur Tengah. Karya para ulama Indonesia atau Nusantara, baik yang telah berupa cetakan atau masih dalam bentuk manuskrip atau tulisan tangan (makhthûthâth), jumlahnya sangat besar. Salah satu sumber dari Aceh menyebutkan, khusus karya ulama di Aceh sebelum terjadinya tsunami saja diperkirakan mencapai 10.000 naskah.

Karya-karya ulama-ulama lainnya tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Gowa, Bone, Lampung, dan seterusnya. Tokoh-tokoh ulama besar Nusantara yang memiliki karya-karya fenomenal yang menyebar di berbagai wilayah nusantara tersebut dapat disebutkan beberapanya, seperti: Syeikh Abdurrauf al-Sinkili, Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Palimbani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Yasin Al-Padangi, Kyai Ihsan Jampes, Syeikh Mahfudh Termas, Kyai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kyai Mutamakkin.

Besarnya jumlah karya ulama Nusantara ini di satu sisi merupakan kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan kepada kita, generasi penerus. Di Sisi lain, turâts yang sangat kaya ini mengharuskan kita untuk tidak sekedar memelihara, tetapi akan lebih baik jika dipelajari, dikaji, dan ditelaah secara ilmiah serta dijadikan discource intelektual Islam Indonesia.

Gerakan penyelamatan dan pengumpulan naskah-naskah karya ulama Indonesia lalu menjadi penting dilakukan. Ini mengingat banyaknya manuskrip karya ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang tercecer dan berserakan di mana-mana. Padahal, tidak sedikit naskah yang ditulis para ulama dan intelektual Nusantara menjadi referensi akademik secara internasional.

Karena itulah kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indonesia atau Nusantara menjadi penting untuk diselnggarakan. Kegiatan Tahqîq ini sendiri diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Tahqîq Naskah, yaitu kajian atau pembetulan karya tulis ulama yang umumnya masih berupa makhthûthâth atau manuskrip serta ditulis lebih dari satu orang, dan antara satu dengan lainnya tidak selalu sama hasilnya. Kedua, Tahqîq Al-Manhâj, yakni pembetulan metodologis dalam pembelajaran bidang studi atau suatu kitab yang dinilai kurang efektif. Untuk melaksanakan tahqîq ini harus didasarkan pada manuskrip atau makhtûthâth asli yang berupa tulisan tangan, dan bisa beberapa manuskrip atau makhtûthâth.

Beberapa tahun lalu, tepatnya 2007 kegiatan Tahqîq ini telah dimulai di Indonesia, dengan dipelopori oleh Departemen AgamaRI. Sejak itu beberapa naskah karya ulama Indonesia telah coba ditahqîq. Di antara kitab-kitab yang telah ditahqîq tersebut adalah: (1) Karya Nawawi al-Bantani dalam bidang Tafsir, Marah Labid. (2) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Tasawuf, Sirâj At-Thâlibîn. (3) Karya Kyai Soleh Darat Semarang dalam bidang Tasawuf, Minhâj Al-Atqiya. (4) Karya Kyai Mahfudz Termas dalam bidang Hadits,; Al-Khil’ah Al-Fikriyah dan Manhâj Dzawin Nadhar. (5) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Fiqh; Manâhij Al-Imdâd dan Fiqh Siyasah/ (6) Karya Sayyid Utsman Betawi dalam bidang Fiqh, Al-Qawânîn Asy-Syar’iyyah. Sumber lain menyebutkan bahwa hingga kini, kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indoensia telah berhasil mengumpulkan ribuan halaman dari beberapa kitab karya ulama. Pada tahun 2007 sebanyak 4.000 lembar yang terangkum dalam 11 judul kitab. Sementara di tahun 2008, sebanyak 3.500 lembar yang terangkum dalam 10 judul kitab. Antara lain karya Syekh Yasin Al-Padangi, Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz At Tirmasi. Masih banyak lagi karya, naskah atau manuskrip yang belum ditahqiq. Siapa berikutnya yang mau ambil bagian?

Wednesday, April 22, 2009

Dari Tema Kemiskinan Sampai Tafsir Rasional

JAKARTA – 21 April 2009 Lembaga Pengkajian dan Penelitian Ilmiah (LPPI) menyelenggarakan seminar sehari, dalam rangka acara diskusi dosen IIQ Jakarta. Menurut kordinator LPPI, Dr. Romlah Widayati, diskusi yang diselenggarakan setiap bulan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kegiatan kajian, dan diskusi ilmiah di kalangan dosen.

Diskusi yang dihadiri puluhan dosen IIQ dan beberapa mahasiswa kali ini, menghadirkan dua orang pemakalah, DR. Anshori, MA dan Ali Mursyid, M.Ag. Hadir pula beberapa dosen-dosen senior dan para pejuang IIQ, seperti Dr. Muahaemin dan Ibu Nadjiemah Hosen, putri Ibrahim Hosen. Adapun yang bertindak sebagai moderator Ibu Anis, MA dari LPPI IIQ.

Mula-mula Ali Mursyid mempresentasikan makalah tentang Al-Qur’an dan Kemiskinan Umat. Dalam hal ini, ia menjelaskan terlebih dahulu data-data tentang kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam. ”Makalah saya ini mencoba mencari jawab soal kemiskinan umat dari al-Qur’an itu sendiri”, kata Ali memulai presentasinya.

Lebih jauh Ali menyatakan bahwa meski tidak ada definisi eksplisit tentang apa yang disebut miskin di dalam al-Qur’an, tetapi yang jelas Al-Qur’an sangat mengajurkan adanya pemeberdayaan orang miskin, dan mengutuk sikap acuh tak acuh serta menelantarkan orang-orang miskin dan menederita. Pengentasan kemiskinan adalah mutlak adanya. Ali menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sendiri, menurut al-Qur’an bisa dilaksanakan dengan beberapa lengakah: Pertama meningkatkan etos kerja dan memahami secara benar arti kata zuhud, sabar, tawakal dan syukur. Kedua, meningkatkan kebiasaan saling membantu di dalam masyarakat, bisa dengan menggalakan shadaqah dan memenej zakat denganbaik. Ketiga, mendorong pemerintah untuk menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.

Sementara itu Dr. Anshori, MA, mejenlaskan isi makalahnya yang membahas secara kritis Metode Penafsiran Muhammad Abduh. Dia menjelaskan bahwa pendekatan penafsiran Abduh adalah kecenderungannya pada rasionalitas. Karena itu dalam beberapa tafsirnya terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal, lalu coba dirasionalitas kan. Bagi Abduh, tafsiran burung Ababil adalah kuman adanya. Karena sesuatu yang bisa merusak badan seseorang yang masuk akal adalah kuman, kata Anshori. Karena kecenderungan rasionalitasnya inilah maka kemudian Abduh dikenal sebagai pembaharu pada zamannya.

Setelah presentasi dua pemakalah tersebut. Selanjutnya di buka sessi diskusi. Dalam sessi ini ada pertanyaan, kritik, sanggahan dan usulan dilontarkan oleh para peserta. Ibu Nadjiemah Hosen menanyakan soal posisi penulis makalah ketika menyusun makalahnya. Dia juga mengusulkan sebaiknya hasil-hasil diskusi bukan hanya sebatas untuk diskusi saja, tetapi bisa juga untuk bahan rekomendasi ke pemerintah.

Sementara itu Dr. Muhamemin selain melengkapi dan menyempurnakan keterangan pemakalah Ali Mursyid, belaiu juga mengkritik pola penafsiran Muhammad Abduh dengan menyatakan bahwa pola penafsiran Abduh adalah bi al-ra’yi al-madzmumah (pendekatan rasionalitas yang kurang baik). Dr. Romlah juga sejalan dengan Dr. Muahemin, dengan menyatakan Abduh ini menfasirkan ”tubuh pasukan berhala yang hancur karena lemparan burung ababil dengan menyatakan bahwa itu adalah cacar”, ini penafsiran yang aneh, karena tidak ada penafsir lain yang menyatakan begitu. Demikian kritik Ibu Romlah. Beberapa peserta lain juga bersuara, dan diskusi pun terasa gayeng, hangat dan menarik. Selamat berdiskusi dosen IIQ. (AM)

Sunday, March 29, 2009

Menag: Titik Krusial Dalam Teks Al Quran Pada Penafsiran

Cisarua, 23/3 (Pinmas)--Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, titik krusial dalam teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal dan makna.

"Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar bahkan liberal," kata Maftuh di hadapan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al Quran di Cisarua, Bogor, Senin malam.

Oleh karena itu, lanjut dia, tugas berat para ulama adalah mengawal pemahaman teks-teks keagamaan tersebut agar tetap benar dan baik, terhindar dari segala bentuk penyelewengan.

"Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud (kaku) dalam menyikapi persoalan," Maftuh menegaskan.

Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat. Keduanya merupakan kesalahan dan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir, katanya.

Di tengah masyarakat global yang plural seperti saat ini, menurut Menag, diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks.

Prinsipnya adalah, "menjaga kemurnian ajaran dengan tidak menutup diri bagi setiap perkembangan, dan senantiasa mengikuti perkembangan tanpa harus melebur di dalamnya", tegasnya.

Menag menyatakan menyambut segala usaha untuk mengembangkan wacana keagamaan yang moderat, toleran, damai dan mencerahkan. Wajah kusam Islam dan umat Islam saat ini, selain karena propaganda kelompok tertentu, juga disebabkan oleh sikap, prilaku dan pemikiran sebagian komunitas Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.

Sikap seperti ini, katanya, pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. Pada surah Al-Baqarah ayat 78, Al-Qur`an menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai "ummiyyan" (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik.

Kalaupun mengerti, katanya lagi, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar.

Atas dasar itulah sejak semula Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keberadaan terjemah dan tafsir Al-Qurân dengan mengusahakan penyusunan Terjemah Al-Qurân maupun Tafsir Al-Qurân.

Namun perlu tetap disadari, tegasnya, bahwa terjemah Al-Qurân atau tafsir Al-Qurân, betapapun bagus dan sempurnanya, tetap bukanlah Al-Qurân itu sendiri dan tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud pesan-pesan Allah.

Namun demikian, segala upaya untuk menghadirkan pesan-pesan tersebut dalam bentuk penafsiran perlu mendapat dukungan dan apresiasi. Dalam hal ini ia mendukung penuh upaya Lajnah Pentashihan Al-Qur`an untuk menyusun tafsir tematik yang diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dengan pendekatan Al-Qur`an.

"Melalui tafsir tematik tersebut diberharap dapat menghadirkan Al-Qur`an untuk berdialog bersama tentang berbagai persoalan," katanya.(ant/ts)
Sumber: depag.go.id

Menag: Jangan Jual Ayat al-Qur'an

Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni minta para calon anggota legislatif atau partai politik untuk menghindari penggunaan ayat-ayat Al-Qur`an dalam berkampanye sehingga ajaran agama yang sifatnya abadi dapat dijaga untuk kepentingan yang lebih luas lagi.

"Jangan ayat-ayat Al-Qur`an dijual," kata Maftuh di hadapan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al-Qur`an di Cisarua, Bogor, Senin (23/3) malam. Pernyataan ini juga diulangi ketika membuka Rapat Kerja Daerah Kanwil Departemen Agama Jawa Barat di Ciloto. "Pemilu (pemilihan umum) ini hanya sesaat saja. Janganlah ayat-ayat Al-Qur`an dijual murah hanya sekedar menarik suara dalam pemilu ini," katanya menegaskan.

Menag mengakui, suhu politik menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden semakin meningkat dan bila tidak dikelola dan disikapi secara arif akan menimbulkan banyak persoalan.

Gesekan antara berbagai kepentingan akan mudah sekali menyulut konflik di tengah masyarakat. Karena itu, Menag mengajak para ulama dan tokoh masyarakat untuk meneguhkan kembali tekad memelihara persatuan dan kesatuan dalam wadah persaudaraan sebangsa dan se-Tanah Air. "Pemilu ini kan hanya sesaat saja. Sementara ajaran Al-Qur`an itu adalah ajaran agama yang sifatnya abadi, yang tidak boleh dikorbankan begitu saja," katanya.

Pemilu hanyalah sebuah proses dan jalan untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Maka sangatlah naif bila bangsa Indonesia terjebak dalam kemelut proses yang berkepanjangan, sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan, katanya menambahkan.

Menag berharap persatuan dan kesatuan bangsa tidak tergadaikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Sebagai bangsa wajib untuk menyukseskannya, sebab dibutuhkan sistem pemerintahan yang tangguh untuk menghadapi badai krisis keuangan global yang dampaknya akan semakin dirasakan oleh banyak kalangan di tahun 2009.

Para ulama hendaknya dapat menjadi pengayom masyarakat dan dapat membimbing masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur`an.

Menag juga meminta kepada semua umat Islam Indonesia agar senantiasa mencermati Al-Qur`an yang beredar di Indonesia, baik dalam bentuk mushaf cetak maupun elektronik, ataupun dalam bentuk kutipan-kutipan agar terhindar dari kesalahan sekecil apapun.

Lantas lanjut Menag, apabila ditemukan sesuatu kesalahan penulisan, diharapkan masyarakat segera menyampaikannya kepada Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an atau Kantor Departemen Agama setempat. "Saya juga ingin mengingatkan agar jangan sampai Al-Qur`an dipakai untuk kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat," katanya.

Dalam konteks pemilu yang semakin hangat dewasa ini, Menag juga mengingatkan jajaran Departemen Agama untuk menghindarkan diri dari kegiatan politik praktis. "Saya haramkan pegawai Departemen Agama ikut dalam politik praktis," tegasnya.
[EL, Ant] Sumber: Gatra Online

Friday, January 2, 2009

KDRT Masih Sering Terjadi di Cirebon

Ali Mursyid

CIREBON - Dua kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diadukan ke Polresta Cirebon. Kasus pertama diadukan Ny Dn (25) warga Jl Kapten Samadikun. Ibu rumah tangga itu dianiaya oleh suaminya Mr (26) yang berprofesi sebagai tukang becak. Korban yang melapor ke polisi menceritakan, Rabu (24/12) sang suami meminta dibuatkan sarapan. Sebagai istri yang baik, Ny Dn menjalankan permintaan itu. Tapi bukannya senang dibuatkan sarapan, Mr malah memaki-maki istrinya bahkan melucuti pakaian istrinya lalu dibakar. Tak sampai di situ, Mr menarik istrinya ke kamar dan memukulinya hingga mengalami memar di bagian tangan, bahu, serta kepala.

Sementara peristiwa kedua diadukan Ny Nj (29), warga Jl Kebon Cai, Kecamatan Pekalipan. Wanita yang bekerja di salahsatu klub hiburan malam itu melaporkan suaminya Tf (29). Menurut Nj, Jumat dini hari (26/12) sekitar pukul 01.15, Tf menjemput dirinya menggunakan sepeda motor menuju ke rumah. Sesampai di rumah, Tf langsung menganiayanya dengan cara menendang hingga terjerembab ke lantai. (Sumber: Radar Cirebon).

Kedua kasus kekerasan di atas adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang masih banyak terjadi di masyarakat kita. Terungkap dalam Pelatihan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) II yang diselenggarakan Fahmina Institute pada 23-24 Desember 2008, bahwa diantara banyaknya persoalan sosial yang muncul dan berkembang di masyarakat, ada tiga persoalan yang dirasa paling sering muncul, adalah persoalan KDRT sebagai persoalan dengan angka tertinggi. Baru kemudian persoalan kenakalan remaja dan kejahatan perdagangan perempuan dan anak (trafiking).

Meski terungkap sebagai persoalan yang banyak muncul di masyarakat, tetapi sejatinya, fenomena KDRT adalah fenomena gunung es. Yang terungkap ke permukaan hanya kecil saja, sementara kejadian sebenarnya yang belum terungkap, sangatlah banyak.

Akar Masalah KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, selain kekerasan yang juga sering menimpa perempuan di ruang publik. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi, karena masih kentalnya budaya patriarkhi (pengunggulan terhadap laki-laki) di masyarakat kita. Di mana seorang laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan hanya karena ia laki-laki, sementara perempuan dianggap lebih rendah hanya karena ia perempuan. Laki-laki layak jadi pemimpin hanya karena dia laki-laki, sementara perempuan tidak boleh memimpin hanya karena dia perempuan. karena Asumsi patriarkhal seperti inilah yang menyebabkan relasi antara laki-laki dan perempuan jadi timpang. Akibatnya banyak perempuan gampang dan rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, sedikitnya dapat dakegorikan dalam beberapa bentuk; kekerasan fisik, kekerasan physokologis (kejiwaan), dan kekerasan seksual. Keempat bentuk kekerasan tersebut sering kali menimpa perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Meski demikian jarang atau sedikit sekali yang mengungkapkan, menceritakannya atau melaporkannya kepada pihak berwajib. Ini karena masih kentalnya anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan dapur dan ‘rahasia’ rumah tangga yang tabu untuk diceritakan dan diketahui orang lain.

Istri mana sih yang tidak malu bila ketahuan bahwa suaminya adalah pelaku kekerasan? Istri mana yang tidak malu jika ketahuan bahwa rumah tangganya tidak harmonis? Istri mana yang tidak takut bila melaporkan kasusnya, lalu suaminya marah dan menceraikannya, sementara dia tergantung secara ekonomi, dan anak-anaknya masih kecil? Ini semua membebani perempuan, terutama istri untuk mengungkapkan kekerasan yang menimpanya.

Perasaan susah dan terbebani untuk mengungkapkan KDRT yang terjadi itu bukannya tanpa sebab. Itu semua merupakan akibat dari kentalnya budaya patriarkhi yang merambah ke segala lini kehidupan. Sampai kemudian ada asumsi bahwa perempuan dan istri yang baik adalah yang manut dan nurut terhadap suami, meski sang suami sering berbuat kekerasan terhadapnya.

Parahnya asumsi-asumsi yang merendahkan perempuan dihadapan laki-laki, juga dalam beberapa hal justru dilegitimasi dengan penafsiran keagamaan yang misoginis (penuh kebencian terhadap perempuan). Hal ini dapat dilihat pada penafsiran kepatuhan istri dengan berargumentasikan hadits “bahwa seorang istri akan dilaknat oleh malaikat sampai dengan waktu subuh jika ia tidak memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan suami istri” atau ayat yang membolehkan seorang laki-laki memperistri lebih dari satu orang asalkan ia dapat berbuat adil (QS. al-Nisa: 3 ). Banyak sekali kaum laki-laki yang menggunakan ayat ini sebagai sebuah legitimasi untuk melakukan poligami. Menganggap telah berbuat”adil”, jika ia dapat memenuhi kebutuhan materi dan pemenuhan biologis (nafkah batin) yang teratur (rutin), sebagai salah satu bagian dari keadilan dia memperlakukan istri. Sedangkan untuk sebuah rumah tangga tidak hanya kebutuhan materi dan biologis saja, melainkan sebuah kasih sayang yang menjadi dasar utamanya. Sedangkan untuk kasih sayang serta adil sendiri masih lentur dan sifatnya relatif (tidak ada parameter yang baku).

Jika KDRT Terjadi, Maka….

KDRT, sejatinya bukan persoalan rumah tangga saja, bukan sesuatu yang harus dirahasiakan, ditutup-tutupi dan tabu diceritakan ke orang lain. Dengan diterbitkannya Undang-Undang PKDRT, maka KDRT adalah tindak pidana, karenanya baik korban maupun orang lain yang menyaksiskan, mendengar, melihat kekerasan dalam rumah tangga, maka sebaiknya melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Atau, korban dan masyarakat juga bias melaporkan kasus KDRT ke beberapa LSM yang ada di Cirebon dan sekitarnya, seperti WCC Mawar Balqis di Arjawinangun, LSM Bannati di Gempol dan juga ke Fahmina Institute.

Selain itu juga, perlu kiranya upaya-upaya kultural dilakukan dalam rangka mengikis budaya patriarkhi yang merugikan perempuan. Para tokoh agama juga diharapkan dapat melakukan penafsiran ulang terhadap beberapa produk penafsiran keagamaan yang misoginis. Ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad saw: ““Ingatlah, aku berpesan agar kalian berbuat baik kepada perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian. Padahal kalian sedikitpun tidak berhak memperlakukan mereka kecuali untuk kebaikan. (HR. At-Turmudzi).