Oleh Ali Mursyid*
Kalaulah kemiskinan itu berbentuk manusia, sungguh aku akan membunuhnya (Ali Bin Abi Thalib)
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang keberadaannya bersamaan awal mula Allah mencipta manusia dan hidup di alam semesta. Konsep kemiskinan bukan semata misalnya, ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga menyangkut mentalitas individu di dalam menjalani hidup. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang (terpaksa) abai pada dua aspek penting kesehatan dan pendidikan. Maka menjadi logis bila dikatakan kemiskinan merupakan musuh bersama umat manusia. Bahkan kemiskinan (kefakiran) dalam Sabda Nabi Muhammad Saw dapat menjadi sumber kekafiran.
Dalam beberapa literature, kemiskinan diartikan sebagai keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa dimiliki se-perti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Saat ini, ada tiga pasangan capres-cawapres telah mendeklarasikan diri untuk maju dan sudah mendaftarkan diri ke KPU, yaitu SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Salah satu isu yang dijual oleh para calon itu adalah isu kemiskinan. Karena di antara persoalan krusial yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Berdasarkan data BPS (2008), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 34,96 juta orang atau 15,42 persen dari total penduduk. Memang, terdapat penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai angka 37,17 juta orang. Dengan jumlah ini, semoga kedepan angka kemiskinan menjadi berkurang lagi.
Faktor Penyebab Kemiskinan dan Penyelesaiannya
Para ilmuwan sosial membagi dua jenis penyebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan terjadi karena faktor perilaku individu yang tidak produktif. Kedua, kemiskinan terjadi karena strukstur sosial yang mengakibatkan ada dan langgengnya kemiskinan tersebut. Dalam hal ini sistem sosial yang tidak adil dan kurang berpihak dalam melakukan pemberdayaan rakyat miskin, dapat menyebabkan individu menjadi terus-menerus miskin.
M. Quraish Shihab menuliskan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan atau kezaliman manusia lain.
Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang berarti mahluk yang hidup dan berjalan di muka bumi. Termasuk manusia. Jadi kalau ada manusia yang kekurangan rizki dan miskin, maka sesungguhnya ada pihak lain (sistem) yang menghalang-halanginya untuk mendapatkan rizki yang layak.
Berdasarkan beberapa faktor penyebab kemiskinan di atas, Al-Qur’an menganjurkan banyak cara yang bisa ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga ranah: Pertama, pada ranah individu. Pada ranah ini bisa dilakukan dengan cara peningkatan semangat kerja. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Peningkatan semangat kerja ini merupakan langkah yang seiring dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.
”Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (QS. Ali ’Imran, 03: 14).
Kedua, pada ranah keluarga dan masya-rakat. Menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi tidak dapat diandalkan. Teori ini telah di-praktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.
Dalam hal ini, Al-Qur’an walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS. AT-Taubah, 09: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan.
Ketiga, Ranah Pemerintah. Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya adalah kewajibannya, bukan kebaikannya.
Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah haditsnya menyebutkan, “Dari Jarir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya”. (HR. Bukhari). Pada kesempatan berbeda Nabi Saw. juga bersabda, “Dari Abdullah bin Musawir, “aku mendengar Ibnu Abbas memberi khabar kepada Ibnu Zubair, bahwa dirinya mendengar Nabi Saw. bersabda: “Bukanlah seorang mukmin yang sempurna, manakala dirinya kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”. (HR. Bukhari). Sebuah pelajaran dapat kita petik dari kedua hadits Nabi di atas adalah bahwa kemiskinan tidak perlu terjadi, seandainya umat itu saling berkasih sayang dan tidak membiarkan saudaranya dalam keadaan lapar.
Dalam potret sejarah Islam, para khalifah juga bergelut dengan problem kemiskinan umat dalam beberapa hal menunjukkan hasil yang baik. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, pernah membangun pilot proyek yang menjadikan Yaman sebagai provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. pada masa itu Gubernur Yaman, Mu’adz bin Jabal, mengirim sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi Yaman ke Madinah, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil zakat di tahun ketiga. Zakat dikirim ke ibu kota setelah tidak adanya mustahiq di propinsi Yaman. Bukti kedua, pengentasan kemiskinan juga terjadi pada dua tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana pada waktu itu sudah tidak diketemukan lagi orang miskin yang ada dalam negara tersebut. Inilah tauladan, bila memiliki kesungguhan dan keuletan, pasti Allah akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.Wallahu a’lam bi al-shawab[]
________________________________________
*Penulis adalah staf pengajar di IIQ Jakarta, dan Ma’had Ali Babakan Ciwaringin Cirebon. Tulisan ini di muat di Bulet Jumat, Warkah al-Basyar, 22 April 2009
Wednesday, June 10, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment