Tuesday, December 8, 2009

Makna Sosial Ibadah Kurban

Oleh Ali Mursyid
Dosen IIQ Jakarta


Seorang yang kaya raya dan hidup serba ada di sebuah desa di tegur oleh kiai setempat. “Hartamu melimpah, kenapa sampai saat ini engkau belum melaksanakan ibadah kurban?” tegur seorang kiai kepadanya. Ia menjawab: “Bukankah kiai pernah mengajarkan bahwa kambing atau sapi yang disembelih untuk ibadah kurban itu akan menjadi kendaraan kita di akhirat. Kalau itu betul, maka saya tidak akan melaksanakan ibadah kurban. Di dunia saja saya hanya terbiasa mengendarai sedan, masa nanti di akhirat harus mengendarai kambing atau sapi.”

Demikianlah, meski dialog kiai dengan orang kaya di atas hanyalah dialog imajiner, tetapi bisa saja dalam satu tempat atau kesempatan, hal tersebut merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terutama bila ibadah kurban hanya dimaknai secara formal dan simbolik, hanya dimaknai sebagai prosesi penyembelihan dan pembagian daging hewan kurban, yang di akhirat nanti hewan yang disembelih ini akan menjadi kendaraan penyelamat dari api neraka.

Tulisan ini bukan hendak menyalahkan pemaknaan ibadah kurban secara formal tersebut, karena pemaknaan itu juga merupakan pemahaman ulama-ulama terdahulu yang tentu sesuai dengan konteks zaman saat itu, juga merupakan cara praktis agar agama dapat dipahami dan dilaksanakan dengan mudah oleh masyarakat banyak. Tetapi kalau hanya sisi-sisi formal peribadatan yang dikenal kebanyakan masyarakat, maka kemudian agama (Islam) sebagai nilai-nilai keadilan, kebenaran universal, dan pembelaan terhadap mereka yang tertindas bergeser menjadi sekedar ketrampilan beribadah, ketrampilan mengerjakan shalat, puasa, haji, dan termasuk ibadah kurban. Orang lalu sibuk dengan sah atau tidaksnya suatu ibadah dilaksanakan. Energi mereka banyak dihabiskan untuk sekedar mempelajari syarat wajib, syarat sah dan rukun serta hal-hal yang membatalkan sebuah peribadatan. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakannya tidak ada-- yang mencoba menangkap esensinya, apalagi mewujudkannya dalam kehidupan sosial dengan segala bentuk dan setumpuk permasalahannya.

Padahal sesungguhnya dalam Islam, tidak ada peribadatan yang dilaksanakan yang tidak diharapkan dampaknya pada kehidupan sosial. Adalah sangat tidak mungkin agama dengan segala bentuk peribadatannya, diturunkan Allah swt kepada masyarakat manusia tanpa maksud. Bukankah agama (Islam) diturunkan kepada Muhammad saw untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat? Bukankah Al-Qur’an turun Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun dengan cara bertahap; berusaha mengontrol setiap perubahan yang terjadi di masyarakat saat itu. “Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan) maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tangan (kekuasannya), lisan (perkataannya) atau paling tidak dengan hatinya,” demikian sabda Nabi Muhammad swa. Secara tersirat beliau berpesan bahwa paling tidak seorang muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya, bukan bersikap tidap peduli. Puluhan ayat dan ratusan hadits menekankan keterkaitan keimanan dengan kepekaan sosial, rasa senasib dan sepenanggungan dengan anggota masyarakat yang lain.

Begitu juga ibadah kurban, meski nampak dalam prakteknya menyerupai persembahan para suku pedalaman kepada dewa-dewa mereka namun sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Walau ayang diajarkan adalah; siapa yang berkurban akan mendapat pahala besar dari Allah swt, tetapi dalam prakteknya, daging kurban tersbut dibagikan kepada fakir miskin, dan bukan menjadi daging sesajen. Kurban sesungguhnya lebih bermakna dan sarat dengan pesan kemanusiaan daripada ibadah yang berharap pahala.

Ibadah kurban dilaksanakan tidak untuk menunjukkan kelebihan seseorang atas yang lainnya, sebab hakikat kurban adalah memberikan, menyerahkan sesuatu dengan sukarela, tanpa mengingat kepentingan diri sendiri. Karena itu harus dikerjakan dengan ikhlas dalam rangka iman dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj, 22: 37)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa hakikat ibadah kurban bukan pada penyembelihan hewan, melainkan pada sikap taat dan patuh kepada Allah swt. Hakikat ibadah kurban adalah mendidik seorang muslim agar memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi terhadap kehidupan di sekitarnya. Dengan ibadah kurban ini, Islam menghendaki agar hubungan antara si kaya dan si miskin, antara yang kuat dan yang lemah terjalin sebaik-baiknya melalui silaturahim, saling peduli dan saling menyantuni.

Ibadah kurban juga mengingatkan kita kepada Nabi Ibrahim as yang bersedia mengorbankan Islmail, putra semata wayang yang sangat disayanginya. Bagaimana tidak, setelah Ibrahim menunggu sekian lama akan kehadiran seorang anak dalam keluarganya, tiba-tiba Allah mewahyukan kepada beliau untuk mengorbankan anaknya, justru ketika sang anak baru tumbuh dan sedang lucu-lucunya. Pada awalnya, Ibrahin bingung dan guncang jiwanya, namun akhirnya kecintaan beliau pada Allah menunutunnya untuk menglahkan ego kebapakannya demi menjalankan perintah Allah swt.
Kalau Ibrahim berani mengorbankan Ismail, maka sekarang apa yang akan kita korbankan. Apa ‘Ismail’ kita? Kedudukan? Harga diri? Profesi? Uang? Rumah? Sawah dan kebun? Mobil? Keluarga? Citra diri? Masa muda? Keelokan para rupa? Mungkin sampai saat ini, kebanyakan kita belum tahu pasti, apa ‘Ismail’ kita yang patut kita korbankan demi kecintaan kita kepada Allah swt?

Ada beberapa petunjuk untuk mengetahuinya. ‘Ismail’ kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, setiap sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar perintah Allah, dan setiap sesuatu yang membutakan mata kita dan telinga kita untuk melihat dan mendengar kebenaran. Kalau kita ini Ibrahim, maka korbankalah ‘Ismail-Ismail’ kita itu?

Selain itu, digantinya Ismail dengan hewan sembelihan (domba besar dan gemuk) mengisyaratkan bahwa yang harus dihilangkan dari diri kita sebagai muslim adalah segala sifat buruk kebinatangan. Sikap mateialistis (hubud dunya), gila jabatan (hubbul jah), serakah, sombong, ingin menang sendiri, tidak mengenal belas kasihan serta tidak saling menghargai dan menghormati sesama manusia, KKN, menumpuk kekayaan, sedangkan orang lain menderita, semua itu harus segera ditinggalkan. Wallahu a’lam bi al-sahawab
________________________
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Al-Basyar yang tebit di Cirebon

No comments: