JAKARTA – 21 April 2009 Lembaga Pengkajian dan Penelitian Ilmiah (LPPI) menyelenggarakan seminar sehari, dalam rangka acara diskusi dosen IIQ Jakarta. Menurut kordinator LPPI, Dr. Romlah Widayati, diskusi yang diselenggarakan setiap bulan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kegiatan kajian, dan diskusi ilmiah di kalangan dosen.
Diskusi yang dihadiri puluhan dosen IIQ dan beberapa mahasiswa kali ini, menghadirkan dua orang pemakalah, DR. Anshori, MA dan Ali Mursyid, M.Ag. Hadir pula beberapa dosen-dosen senior dan para pejuang IIQ, seperti Dr. Muahaemin dan Ibu Nadjiemah Hosen, putri Ibrahim Hosen. Adapun yang bertindak sebagai moderator Ibu Anis, MA dari LPPI IIQ.
Mula-mula Ali Mursyid mempresentasikan makalah tentang Al-Qur’an dan Kemiskinan Umat. Dalam hal ini, ia menjelaskan terlebih dahulu data-data tentang kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam. ”Makalah saya ini mencoba mencari jawab soal kemiskinan umat dari al-Qur’an itu sendiri”, kata Ali memulai presentasinya.
Lebih jauh Ali menyatakan bahwa meski tidak ada definisi eksplisit tentang apa yang disebut miskin di dalam al-Qur’an, tetapi yang jelas Al-Qur’an sangat mengajurkan adanya pemeberdayaan orang miskin, dan mengutuk sikap acuh tak acuh serta menelantarkan orang-orang miskin dan menederita. Pengentasan kemiskinan adalah mutlak adanya. Ali menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sendiri, menurut al-Qur’an bisa dilaksanakan dengan beberapa lengakah: Pertama meningkatkan etos kerja dan memahami secara benar arti kata zuhud, sabar, tawakal dan syukur. Kedua, meningkatkan kebiasaan saling membantu di dalam masyarakat, bisa dengan menggalakan shadaqah dan memenej zakat denganbaik. Ketiga, mendorong pemerintah untuk menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.
Sementara itu Dr. Anshori, MA, mejenlaskan isi makalahnya yang membahas secara kritis Metode Penafsiran Muhammad Abduh. Dia menjelaskan bahwa pendekatan penafsiran Abduh adalah kecenderungannya pada rasionalitas. Karena itu dalam beberapa tafsirnya terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal, lalu coba dirasionalitas kan. Bagi Abduh, tafsiran burung Ababil adalah kuman adanya. Karena sesuatu yang bisa merusak badan seseorang yang masuk akal adalah kuman, kata Anshori. Karena kecenderungan rasionalitasnya inilah maka kemudian Abduh dikenal sebagai pembaharu pada zamannya.
Setelah presentasi dua pemakalah tersebut. Selanjutnya di buka sessi diskusi. Dalam sessi ini ada pertanyaan, kritik, sanggahan dan usulan dilontarkan oleh para peserta. Ibu Nadjiemah Hosen menanyakan soal posisi penulis makalah ketika menyusun makalahnya. Dia juga mengusulkan sebaiknya hasil-hasil diskusi bukan hanya sebatas untuk diskusi saja, tetapi bisa juga untuk bahan rekomendasi ke pemerintah.
Sementara itu Dr. Muhamemin selain melengkapi dan menyempurnakan keterangan pemakalah Ali Mursyid, belaiu juga mengkritik pola penafsiran Muhammad Abduh dengan menyatakan bahwa pola penafsiran Abduh adalah bi al-ra’yi al-madzmumah (pendekatan rasionalitas yang kurang baik). Dr. Romlah juga sejalan dengan Dr. Muahemin, dengan menyatakan Abduh ini menfasirkan ”tubuh pasukan berhala yang hancur karena lemparan burung ababil dengan menyatakan bahwa itu adalah cacar”, ini penafsiran yang aneh, karena tidak ada penafsir lain yang menyatakan begitu. Demikian kritik Ibu Romlah. Beberapa peserta lain juga bersuara, dan diskusi pun terasa gayeng, hangat dan menarik. Selamat berdiskusi dosen IIQ. (AM)
Wednesday, April 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment