Monday, May 14, 2007

POTRET BURAM MADRASAH KAMPUNG KITA

Ali Mursyid

“Kalau madrasah ini diperbaiki, baik sarana prasarana maupun managerial pengelolaannya, tentu membutuhkan biaya besar. Ujung-ujungnya madrasah ini menjadi mahal. Dan orang-orang miskin menjadi sulit sekolah”, kata seorang kepala Madrasah Aliyah, ketika ditanyakan berbagai kemungkinan perbaikan pengelolaan madrasahnya. Tragis memang nasib madrasah (sekolah agama) khususnya yang terletak perkampungan. Di satu sisi ia berkewajiban meningkatkan mutu pendidikannya dari waktu ke waktu, di sisi lain ia mesti melayani kebutuhan kaum mustadh’afin akan pendidikan. Di satu sisi madarasah ingin melengkapi sarana prasarana dan memperbaiki managerial pengelolaannya, di sisi lain ia terbentur pada persoalan dana. Dan rasanya tidak tega, kalau mesti membebani para siswa dari keluarga-keluarga yang makan saja susah. Soalnya kemudian, adakah pendidikan yang bermutu bagi kaum mustadh’afin?

Akar Masalah
Sekarang ini, hampir semua orang membenarkan bahwa pendidikan bermutu mesti mahal. Para orang tua, khususnya di kota, rela menguras isi kantong demi memasukkan anaknya di sekolah-sekolah ‘bonafid’. Anggapan bahwa pendidikan bermutu mestilah mahal terus menguat seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Sejatinya, anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Fakta membuktikan, asalkan ada usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat, pendidikan murah dan bermutu bisa diselenggarakan. Ini yang dicontohkan oleh SMP Alternatif Situbondo. Dengan SPP siswa Rp. 10.000,- perbulan --itu pun boleh saja gratis--sekolah ini telah menempati rengking teratas di Jawa Timur. Bahkan Media Kompas menjulukinya sebagai sekolah global, sekolah berkelas dunia meski terletak di desa Kalibening Situbondo. Bukan hanya itu, dengan biaya pendidikan yang relatif murah, para siswa SMP Alternatif itu dapat menikmati sarana pendidikan layaknya sekolah-sekolah mahal, seperti mengakses internet setiap hari secara gratis. Itu semua terselenggara atas keinginan dan upaya sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah untuk menghadirkan pendidikan murah dan bermutu. Jadi akar masalah yang dilematik bagi madrasah atau pendidikan bermutu bagi mustadh’afin adalah tidak adanya upaya serius dari pemerintah dan masyarakat untuk menyelenggarakannya.

Tanggungjawab Pemerintah
Sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya perbaikan pendidikan, baik upaya peningkatan mutu ataupun peningkatan kesempatan bagi rakyat banyak untuk mengenyamnya. Sayangnya itu dilakukan secara tidak berkesinambungan dan tidak menyentuh akar persoalan sebenarnya. Sebut saja kebijakan mengenai kurikulum, baik madarasah maupun sekolah pada umumnya, selalu saja berganti mengikuti pergantian mentri. Ironinya ketika madrasah-madrasah di pedesaan baru mulai melaksanakan kebijakan ‘Tuan Mentri’--yang tentu saja setelah bertahun-tahun kebijakan itu diintruksikan dari departemen agama--eh, sebentar kemudian Pemilu, ganti mentri, dan ganti pula kebijakannya.
Contoh ketidaksinambungan perhatian pemerintah pada pendidikan adalah soal minimnya alokasi dana bagi dunia pendidikan. Kalaupun ada upaya peningkatan dana pendidikan maka itupun dilakukan sangat politis dan knrtoversial, sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Sebut saja kebijakan dana kompensasi kenaikan BBM bagi pendidikan, selain kontrovesial, politis, prosedural juga hanya bersifat karitatif dan tidak menyelesaikan masalah.
Khususnya bagi madrasah di desa, selain siswa, para gurunya juga sungguh memprihatinkan. Dengan honor minim--itu pun kalau ada--para guru madrasah mencoba terus mengabdikan diri untuk mengajar. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, para guru ini biasanya melakukan usaha-usaha lain, yang terkadang sangat menyita waktu dan perhatiannya. Perhatian dan pengabdiannya ke madrasah pun bersifat minimal, sekedar mengajar saja. Soal maju-mundurnya madrasah, peningkatan kwlitas lulusan dan yang semacamnya, tidak jadi perhatian atau bagian dari pengabdiannya. Mutu lulusan madrasah pun akhirnya sulit bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum. kebijakan pemerintah di dunia pendidikan belum menyentuh akar persoalan semacam ini.

Nilai-Nilai Yang Terlupakan di Masyarakat
Islam mengajarkan bahwa diantara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Artinya kewajiban pendidikan anak atau generasi penerus terbebankan pertama kali pada orang tua, bukan pada sekolah. Tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap dunia pendidikan adalah primer, sedangkan sekolah hanya sekunder. Ini yang sekarang terlupakan di masyarakat bahkan cenderung terbalik, sekolah adalah segalanya dan masyarakat atau orang tua nomor dua saja dalam tanggungjawab mendidik. Karenanya kemudian perhatian masyarakat (orang tua) terhadap mutu pendidikan anaknya, sekarang ini minim saja, karena hampir semua dibebankan pada sekolah. Celakanya sekolahnya tidak bermutu, kecuali dengan biaya relatif mahal. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam perbaikan pendidikan (madrasah) menjadi sangat signifikan. Pelibatan yang dimaksud adalah pelibatan yang sesungguhnya, yang bukan hanya ketika hendak butuh persetujuan kenaikan SPP dan lainnya. Pelibatan masyarakat ini bisa dilakukan dalam berbagai aspek, seperti dalam menyusun visi madrasah dan peningkatan mutu pembelajaran melalui peningkatan kesejahteraan pengelola serta para gurunya.
Nilai lain yang mulai terlupakan di masyarakat adalah nilai yang menyatakan bahwa mencari ilmu, belajar dan sekolah adalah kewajiban agama. Di masyarakat pedesaan, orang terkadang merasa sudah paling Islami kalau sudah naik haji. Puncak keislaman seorang muslim lalu diukur dari naik haji atau tidak, meski pendidikan di masyarakat sekitarnya terlantar. Masyarakat pun nampak lebih bergairah membangun masjid-masjid baru atau sangat meriah ketika menghantar tetangganya yang naik haji, tetapi tak mau tahu nasib madrasah di desanya yang kembang kempis.
Islam menggariskan tujuan diselenggarakannya pencarian ilmu atau dunia pendidikan. Dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang jadi pepujian mushola dikatakan bahwa: “Nuntut ilmu sira kabeh kewajiban, yen tinggal sira kabeh oli siksaan. Sijiniyat negakna agama Islam. Loro niyat ngurip-ngurip agama Pengeran. Telu niat ngilangna kebodoan badan. Papat ngulati keridoan Pengeran. Kelimane Nyukuri warase badan. Nenem nyukuri akal kelawan pikiran. (Belajar itu wajib hukumnya, berdosa kalau tidak dilaksanakan. Ini bertujuan untuk; a. Menegakkan agama; b. Mengharumkan syiar agama; c.Mencerdaskan masyarakat dan generasi penerus; d. Mencari ridha Tuhan dengan memanfaatkan ilmu bagi sebaik-baik kehidupan manusia; e. Mengoptimalkan anugrah kesehatan dan segala potensi fisik manusia yang ada; f. Mengoptimalkan potensi rasional dan intelektual untuk berbagai kemajuan). Jika demikian mulia tujuan mencari ilmu yang diajarkan Islam, maka penyelenggaraan pendidikan, seperti madrasah mesti diselenggrakan secara serius dengan perhatian dan dukungan pemerintah serta masyarakat yang memadai.

(Tulisan ini dimuat di Buletin Jum’at Al-Basyar pada tahun 2005)

No comments: