Tokoh-tokoh agama (Islam) dan sebagian besar masyarakat Cirebon-Indramayu beranggapan bahwa sebagai istri perempuan diharamkan menjadi TKW. Ini merupakan kesimpulan penelitian yang dilakukan Nurruzaman dan diprakarsai Fahmina Institute pada th. 2005. Kesimpulan ini dibuktikan oleh beberapa komentar tokoh agama dan masyarakat Cirebon-Indramayu yang diwawancarai peneliti, diantaranya berikut ini:
“Kewajiban perempuan sebenarnya adalah di dalam rumah mengurus suami dan anak-anaknya”, tutur KH. Marzuki Ahal pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin. Menurutnya Islam melarang perempuan bekerja di luar rumah apalagi sampai jauh ke luar negeri. Kalaupun ke luar rumah, perempuan harus didampingi muhrimnya. Pandangan serupa juga disampaikan DR. H. Abdullah Ali, Dosen STAIN Cirebon, dia menyebutkan bahwa jika mengacu syariat Islam keberadaan TKW sangat bertentangan. Kedudukan seorang istri adalah ibu rumah tangga yang bila keluar rumah harus seizin suami. Seorang istri yang menjadi TKW, tidak menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Hal itu, menurutnya telah menyalahi aturan syariat Islam, karena telah mengganggu dan merusak keharmonisan hubungan dalam rumah tangga.
Di sisi lain, korban TKW yang ditipu, disiksa, dilecehkan dan diperlakukan tidak adil, maupun perempuan yang diprostitusikan dianggap sebagai ”takdir”dan sebuah resiko pekerjaan yang niscaya adanya. ”Sudah nasib mas, wong kerja, baka beli untung yah apes, kuwun kuh tadir” (sudah nasib mas, orang kerja kalau tidak untung yah apes, dan itulah tadir—red). ”Itu esiko pekerjaan”, ungkap Sunardi (38) warga desa Sukahaji Indramayu
Meski pandangan keagamaan yang dianut tokoh-tokoh agama dan masyarakat kurang berpihak pada nasib malang TKW, hasil penelitian menyebutkan bahwa bagi warga di beberapa wilayah di Cirebon, seperti desa Kroya dan desa Karanganyar kecamatan Panguragan atau desa Gintung kecamatan Ciwaringin, bekerja sebagai TKW adalah hal lumrah. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Indramayu. Di sana, beberapa wilayah ditengarai sebagai lokus trafficking, seperti kecamatan Bongas, Gabus, Cikedung, Sukra, dan Arahan.
Realitas derasnya arus perempuan menjadi TKW itu tidak bisa dihentikan dengan komentar-komentar tokoh agama yang memahami agama secara literal dan tidak member solusi apa-apa, kecuali sikap tidak setujunya itu. Apalagi selama ini peran ketokohan kyai dan ustadz di masyarakat sebatas pada wilayah moril-spirituil. Dan ironinya, meski tokoh-tokoh agama ini secara verbal mengharmkan perempuan menjadi TKW, dalam kenyataannya kerapkali kyai dimintai doa oleh para calon TKW agar mereka berangkat dan berhasil di perantauan.
Hentikan Kekerasan Agama Terhadap Buruh Migran
Sungguh meski bukan salah satu faktor yang utama, wacana keagamaan yang hanya dipahami secara dangkal dan literal, merupakan bentuk diskursus kekerasan terhadap perempuan buruh migran (TKW). Apa namanya kalau bukan kekerasan, perempuan yang mencoba mencari solusi perbaikan ekonomi dengan menjadi buruh migran, TKW yang rentan terjebak kekerasan dan perdagangan manusia, TKW yang tidak jarang dihianati suami-suaminya di tanah air, dengan seenaknya dituding oleh agama sebagai biang segala kerusakan keluarga. Lalu dari mana perempuan memenuhi kebutuhan mereka, jika pemerintah tidak menjamin? Jika suami, kerabat atau teman juga sama sekali tidak mampu? Mengapa perempuan yang harus disalahkan atau dilarang bekerja? Mengapa jika ada kerusakan keluarga, hanya perempuanlah yang disalahkan?
Hentikan Kekerasan Agama Terhadap Buruh Migran
Sungguh meski bukan salah satu faktor yang utama, wacana keagamaan yang hanya dipahami secara dangkal dan literal, merupakan bentuk diskursus kekerasan terhadap perempuan buruh migran (TKW). Apa namanya kalau bukan kekerasan, perempuan yang mencoba mencari solusi perbaikan ekonomi dengan menjadi buruh migran, TKW yang rentan terjebak kekerasan dan perdagangan manusia, TKW yang tidak jarang dihianati suami-suaminya di tanah air, dengan seenaknya dituding oleh agama sebagai biang segala kerusakan keluarga. Lalu dari mana perempuan memenuhi kebutuhan mereka, jika pemerintah tidak menjamin? Jika suami, kerabat atau teman juga sama sekali tidak mampu? Mengapa perempuan yang harus disalahkan atau dilarang bekerja? Mengapa jika ada kerusakan keluarga, hanya perempuanlah yang disalahkan?
Sejatinya, agama, terutama Islam, tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja. Anjuran berusaha dan bekerja terdapat di banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bukankah di dalam Al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal saleh, yang berarti kerja-kerja positif, baik yang terkait dengan ibadah ilahiyah, maupun kerja-kerja kemanusiaan (ekonomi, politik dan lain sebagainya).
Khususnya bagi perempuan, jika ditelusuri lebih lanjut, fakta menunjukan bahwa tidak satu ayat atau hadits pun yang melarang perempuan bekerja atau berusaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan kerja-kerja yang dilakukan perempuan. Dua putri Nabi Syuaeb as yang menggembala kambing (Q.S., Al-Qashash, 23-28), Ratu Saba yang bekerja di bidang politik dan pemerintahan (Q.S., An-Naml: 20-24), dan juga perempuan yang bekerja di bidang pemintalan (Q.S., Alth-Thalaq: 6) dan jasa penysusan bayi (Q.S., An-Naml: 233). Dalam satu hadits, Nabi SAW menyarankan semua orang, laki-laki atau perempuan untuk bekerja dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup, dan agar tidak tergantung pada orang lain. Sabda Nabi menyatakan: ”Demi dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutras tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya dari pada harus meminta-minta kepada orang lain..” (Bukhari, no hadits 1470).
Adapun anjuran agar perempuan didampingi mahram (kerabatnya), sebenarnya tidak bermaksud mengekang perempuan. Anjuran ini sebenarnya muncul dari sebuah teks hadits untuk melindungi perempuan dari berbagi tindak kejahatan yang mengancam. Bukan untuk menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Ketika Nabi SAW mengetahui ada seorang perempuan berjalan untuk haji sendirian dari Madinah ke Makkah, yang muncul byukanlah perintah larangan terhadap perempuan, tetapi perintah terhadap kerabatnya (suaminya) untuk menemani sampai selesai haji (Jami’ al-Ushûl, VI/18, hadits no. 3014)
Jadi, bila bicara jujur, maka sungguh agama tidak melarang atau mengharamkan perempuan menjadi TKW. Pelarangan, pengharaman perempuan menjadi TKW atau berbagai model pemojokannya, lebih merupakan kekerasan agama terhadap perempuan, yang harus segera dihentikan.
(Tulisan ini dimuat di Buletin Banati milik LSM Bannati Cirebon, th. 2005)
No comments:
Post a Comment