D |
alam kenyataan hidup sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang kuat dan ada orang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang kuat, besar, kaya karena hasil usahanya sendiri, tetapi juga ada yang kuat disebabkan faktor-faktor lain di luar diri seseorang. Ada yang lemah, miskin, bodoh karena memang malas, tetapi juga banyak yang menjadi lemah, miskin dan bodoh karena situasi dan kondisinya yang menjadikannya demikian. Bahkan ada pula yang meyakini kalau kuat-lemah, kaya-miskin, pintar-bodoh itu takdir alias dari sononya.
Adanya keniscayaan fenomena lemah-kuat, kaya-miskin dan pintar-bodoh saja tidak masalah selagi tidak ada kedzaliman, penganiayaan dan penindasan yang terjadi sebagai akibatnya. Dalam kenyataanya kita sering menyaksikan orang atau pihak lemah dianiaya oleh pihak kuat. Akibatnya yang lemah-lemah makin lemah, yang kuat makin kuat. Sebagai umat Islam tentu kita akan kembalikan semuanya ke ajaran Islam. Lalu bagaimana Al-Qur’an melihat ketertindasan? Adakah ia membela kaum tertindas (mustadh’afin)?
Dalam Al-Qur’an, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan mustadh’afin (kaum lemah dan dilemahkan)? Bagaimana keberpihakan al-Qur’an kepada nasib mereka? Secara tekstual di salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa mustadh’afin dikaitkan dengan mereka yang tidak bisa berperang dikarenakan sakit atau umurnya terlalu tua.
Beberapa kalangan mufassir (para ahli tafsir) telah mencoba menafsirkan kata-kata mustadh’afîn ini. Jika kita menggali dari peristilahan yang digunakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang dikatakan mustadh’afîn atau pihak lemah atau yang dilemahkan, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan, dan juga dalam konteks fisik. Setidak-tidaknya tiga hal itulah yang bisa kita dipahami dari kata mustadh’afin yang ada dalam Al-Qur’an.
Berkenaan dengan mustadh’afin dalam konteks kelemahan ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqarâ (orang-orang fakir), masâkin (orang-orang miskin), sâilîn, al-mahrûm (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya). Untuk yang terkahir ini, ada ayat Al-Qur’an yang berbunyi wa fi amwâlikum haqqun li sâilîn wa al- mahrûm.Artinya: Dan di dalam harta-harta kalian, terdapat hak bagi orang yang memintanya dan juga bagi yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya.
Terkait dengan makna tidak memiliki kehormatan, Allah SWT menyebutnya dengan beberapa istilah. Seperti: “Wamâ malakat aymânukum. Dalam ayat yang lain Allah SWT menyebutnya dengan al-râqib. Allah SWT juga menyebutnya dengan raqabah, al-‘abd. Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan. Tentu ini akan dipahami lebih baik jika kita mau meneliti lebih jauh. Istilah-istilah tersebut jika kita terjemahkan akan mempunyai makna yang sama namun jika dijabarkan akan memiliki indikasi dan spesifikasi yang berbeda-beda.
Begitu pula ketika kita ingin memahami suatu karya ulama atau kitab tertentu, kita harus tahu persis dengan dzauq al-lughah (perasaan bahasa), menguasai mustalahan (istilah-istilah) yang digunakan dalam kitab bersangkutan. Kendati istilah yang dipakai sama namun jika dipakai dalam ilmu fiqh akan berbeda dengan istilah yang dipakai dalam ilmu tauhid, begitu pula kalau digunakan dalam ilmu filsafat. Jika kita tidak mampu mendalami, hanya mengandalkan dari terjemahan, maka kita akan salah memahami karena kita salah dalam memahami syiâq al-kalâm (konteks pembicaraan) yang ada pada isi suatu kitab.
Oleh karena itu dalam memahami khazanah keislaman yang banyak berbahasa Arab, kita harus betul-betul memahami konteks bahasa Arab-nya. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan bantuan kamus yang sederhana, tetapi perlu dari rujukan kamus memadai dan mendalam. Maka wajar kalau ada ahli tafsir menafsirkan ayat menggunakan syair-syair masa dahulu, karena pada masa pra-Islam sendiri istilah-istilah itu banyak digunakan. Sampai kemudian Al-Qur’an memakainya. Untuk itulah kata-kata yang terkait dengan syair-syair itu mesti juga ditinjau maknannya dari syair-syair Arab.
Timbul pertanyaan apakah makna dan maksud ayat yang kita baca sekarang sama seperti apa yang dimaksud pada saat itu? Para mufassir mencoba memahami dari teks-teksnya dan didukung dengan penguasaan yang begitu luas baik menyangkut fiqh al- lughah, tarikh al-lughah, dzauq al-lughah, maupun semantiknya. Sehingga kata-kata mustadh’afin, dhu’afâ, dan dha’if, serta lain-lainnya dipahami oleh Hamid Al-Qurri yang mengedepankan secara semantik, menegaskan dalam kaitannya dengan keberpihakan al-al-Qur’an bahwa kata-kata tersebut dimaknai sebagai orang yang mengalami salah satu atau keempat kondisi berikut: Lemah Ekonomi, lemah Fisik, lemah ilmu dan lemah karena tidak memiliki otonomi diri, kebebasan dan kemerdekaan.
Beberapa kisah menyebutkan bagaimana Islam membela Abu Bakar, yang secara ekonomi tergolong sebagai orang kaya. Ini karena, meski Abu Bakar mampu secara ekonomi, tetapi belaiu selalu didzalimi oleh mereka yang tidak seiman. Al-Qur’an pun membelanya. Demikian pula orang-orang kaya di zaman Nabi Musa, karena mereka dijajah oleh Fir’aun, Nabi Musa pun membela mereka. Al-Qur’an secara apik menggambarkan bagaimana Allah SWT memerdekakan mereka.
Adapun kepada pihak yang lemah secara biologis, Allah SWT memberikan berbagai dispensasi (rukhshah atau keringanan) kepada mereka. Contohnya ibadah puasa diperkenankan ditinggalkan dan diganti dengan membayar fidyah.
Selain itu semua, yang wajib dibela dan diberdayakan adalah mereka yang lemah dari sisi ilmu pengetahuan. Meski seseorang memiliki harta, kuat secara fisik, tetapi jika ia bodoh. maka ia bisa digolongkan dalam kelompok dhu’afâ dan atau mustadh’afîn. Allah SWT mewajibkan orang-orang ‘âlim (berilmu) untuk memberikan ilmunya kepada kelompok ini.
Yang penting dicatat, adalah bahwa Al-Qur’an kita untuk memihak, membela dan memberdayakan kaum mustadh’afîn. Dalam melakukan pembelaan, pemihakan dan pemberdayaan mestinya tidak membeda-bedakan perbedaan yang ada, baik agama, etnis dan jenis kelamin Wallahu’alam bi al-shawab
No comments:
Post a Comment