Thursday, July 5, 2007

Jadi TKI Kiat Rakyat Hadapi Kemiskinan

N

egara ini ada untuk mensejahterakan rakyat. Ini secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, pasal 34 yang menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dan sebagai negara yang telah menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, maka Indonesia berkewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warganya atau hak-hak rakyatnya. Hak-hak rakyat ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sosial dan politik.

Artinya, bukanlah merupakan kebaikan, jika negara berusaha mensejahterakan rakyatnya. Itu sudah menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya. Maka jika rakyat mengalami kemiskinan, kebodohan dan keteringgalan, maka yang paling bertanggungjwab atas ini dan mestinya melakukan usaha penanggulangannya adalah negara.

Selain itu, pada 8 September 2000, 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia menyepakati “Millenium Development Goals” (MGDs), yaitu target-target pembangunan di era milinium. Diantara isi kesepakatan ini adalah bahwa maksimal pada th. 2015, pembangunan negara harus dapat mencapai hal-hal berikut: Mengentaskan kemiskinan dan kelaparan mutlak, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi ketimpangan gender dan pendidikan paling lambat pada tahun 2005 untuk tingkat dasar dan menengah, dan pada tahun 2015 untuk seluruh tingkatan, dan target-target lainnya.

Kenyataannya, rakyat khususnya masyarakat lapisan bawah sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha-khususnya dalam sekala kecil dan menengah- juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Tentu untuk tidak menyatakannya tidak berdaya sama sekali. Dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Ini disampaikan oleh Menteri Nakertrans Erman Suparno beberapa waktu lalu,” Angka pengangguran 10,9 juta tahun ini tidak dapat diturunkan. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran sebesar 5,1 persen hingga tahun 2009 tak akan terpenuhi, karena lapangan kerjanya terbatas, bahkan tidak ada. Belum lagi tambahan tenaga kerja terdidik hingga 1,5-2 juta.” Angka pengangguran yang tinggi tersebut mencapai 14 % dari angka penggangguran dunia yang mencapai 74 juta jiwa.

Di tengah tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI, red. ) adalah salah satu alternatif yang dipilih sebagian angkatan kerja kita. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka. Namun nada pesimis itu tidak terjadi di sebagian rakyat kita. Setelah sektor formal terbatas, menjadi TKI adalah satu upaya. Pesimisme pemerintah adalah bukti kegamangan atas ketidakmampuan menata ekonomi negeri ini. Angka penggangguran yang tinggi seperti yang disebutkan adalah konkretnya, betapa terbatasnya lapangan pekerjaan di negeri ini.

Sebagai solusi yang dipilih sebagian rakyat kita, dalam catatan Depnakertrans, buruh migran Indoesia resminya mencapai 400.000 jiwa, dan yang tak resminya bisa mencapai beberapakali lipatnya, tengah berada di luar negeri. Jalan berliku yang dihadapi buruh migran Indonesia mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan. Baik cerita sukses maupun buram.

Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Mereka tahu bahwa itu seperti berjudi. Bertaruh dengan penuh harapan karena di negeri seberang berharap hidup akan berubah, bisa bayar utang, membantu keluarga, bikin rumah atau jika masih lebih untuk modal usaha. Pasrah, karena sebenarnya tak tahu harus kemana. Mengapa mesti keluar negeri? Seolah negeri ini tak ada lagi tempat berpijak, tak tahu apa yang akan mereka kerjakan dan nasib apa yang akan menimpa.

Dengan alasan itulah kemudian Blakasuta memilih untuk menampilkan wajah buruh migran di Marga Mulya Indramayu. Disamping juga di sana berdiri radio Komunitas Serra FM.

Perlindungan Negara Masih Lemah

Ironinya pemerintah atau negara bukan saja tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya, tetapi negara juga lemah dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Kasus Watem misalnya. Baru-baru ini, sejumlah aparat Kab. Indramayu blingsatan. Perempuan asal Bongas Indramayu itu, berangkat ke Arab Saudi untuk mengubah nasib ternyata pergi hanya untuk mengantar nyawa. Tiga hari setelah tiba di Arab Saudi untuk bekerja, setidaknya menurut dokumen kematianya, ia meninggal. Belum jelas karena bunuh diri, dibunuh atau terbunuh. Hingga tulisan ini dicetak belum ada kabarnya.

”Saya diberitahu oleh salah satu temannya Watem. Bahwa dia telah meninggal,” tutur Ralim, sepupu Watem, “Dengan suaminya, kami mengecek kembali. Berita itu ternyata benar. Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemberitahuan majikannya.”

Ketika dikonfirmasikan kepada pihak PJTKI, surat itu malah dianggap surat kaleng. Kemudian disusul dengan surat pemberitahuan majikannya. Barulah pihak PJTKI percaya. Namun upaya pemulangannya awalnya agak berbelit. Untunglah dibantu Pak Toni Gunawan dari Deplu, akhirnya Watem bisa dipulangkan. Watem sendiri meninggal lebih dari tiga bulan sebelum keluarganya tahu. Hal itu terjadi karena identitas Watem diubah oleh sponsornya ( sebutan untuk calo perekrut, red.).

Kasus Watem merupakan bukti betapa lemahnya perlindungan negara terhadap warganya yang bekerja di luar negeri. Soal penempatan misalnya, semuanya diserahkan kepada PJTKI, negara tak mengatur apakah calon majikan itu layak atau tidak. Tentang identitas, betapa mudahnya mengubah identitas di negeri ini. Padahal resikonya besar. Lambatnya pemberitahuan meninggalnya Watem karena identitasnya telah berubah menjadi perempuan asal Sukabumi.

“Kami tidak tahu menahu soal keberangkatan Watem,” jelas Pak Kartama, Kuwu Marga Mulya, ”Para sponsor biasanya tak mau berurusan dengan aparat desa karena semua yang berangkat harus sesuai prosedur. Soal umur misalnya.”

Nampaknya dikalangan sponsor nakal mengubah identitas entah dengan alasan apapun sangat mudah dilakukan. Sepertinya sudah ada jaringan tertentu yang menyediakan layanan pemalsuan identitas ini. Makanya jika mereka menemukan hambatan di desa seperti yang dipimpin oleh Pak Kuwu Kartama ini mereka mencari upaya. Negara mesti melakukan sesuatu langkah agar proses pengubahan identitas ini bisa diminimal sedikit mungkin. misalnya dengan menyediakan sistem satu identitas abadi tingkat nasional.

Perlindungan terhadap TKI yang tidak digaji juga masih lemah. Tentu untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Seperti yang dialami oleh Sn (27th) yang berangkat ke Arab Saudi, yang sempat berpindah majikan. Di majikan yang kedua, walaupun mendapat perlakuan baik dan kesehatannya diperiksa rutin tiap bulan, namun gajinya selama 2,7 tahun tidak dibayar. Modusnya seolah gaji sudah di bayar, ketika mau pulang ke tanah air, gaji malah ditahan majikan.

Tindakan pemerintah kepada PJTKI yang menelantarkan calon TKI juga tidak tegas. Seperti yang dialami Wst (30), hampir 7 bulan di penampungan bukannya mendapatkan latihan kerja malah seperti di penjara. Ia pun dipungut biaya oleh sponsor Rp 700.000 tanpa penjelasan peruntukannya. Di tempat kerja, meski majikannya baik, kerjanya terus-menerus, kadang tidak ada waktu istirahat.

Perlindungan TKI yang dianiaya juga dinilai masih lemah. Seperti yang dialami Nrs (28 th) , ia sering dianiaya majikan, terutama ketika majikannya ada masalah. Gajinya juga tidak dibayar. Karena tidak tahan, ia mengadu ke kedutaan, kemudian bisa pulang. Tetapi soal penganiayaan dan gajinya yang tidak dibayar, tidak ada yang menyelesaikan .

Negara Tak Mampu, Rakyat Jadi Korban

Padahal baik Wtm, Sn, Wst dan Nrs adalah segelintir dari ribuan TKI kita yang terpaksa bekerja di luar negeri. Ketika negara tak mampu menyediakan penghidupan layak, mereka berkorban menghasilkan devisa. Walaupun dijuluki pahlawan devisa, perjuangan mereka tak diberi penghargaan yang layak, seperti perlindungan hukum dan hak-hak mereka.

Kisah di atas jelas menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI.

Berangkatnya Wtm, Sn, Wst dan Nrs tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.

Dikatakan oleh Wst, “ Saya tak mau kembali jadi TKI. Biarlah hidup seadanya. Anak-anak sangat membutuhkan saya. Saya gak tega ninggalin mereka.” Wst merasa sangat bersalah ketika jadi TKI. Tiga tahun dia meninggalkan keluarga, walau diurus suami dan orangtuanya, kondisi anak-anaknya menyedihkan dan tidak terurus ketika Wst kembali ke kampungnya.

Mereka Yang Kreatif Sepulang Jadi TKI

Ketika pulang jadi TKI, bagaimana menyiasati kehidupan selanjutnya, ini perlu keseriusan. Kreatif sepulang jadi TKI memang tidak mudah, karena tidak semua orang bisa menggunakan uang yang ada untuk keperluan usaha. Memang paling mudah dengan membeli sawah. Karena alasan utama menjadi TKI adalah ekonomi, membuat hidup lebih baik, untuk bayar utang dan sisanya bisa dijadikan modal. Tapi tidak semua TKI bisa melakukannya. Terlepas dari banyaknya nasib TKI yang kurang beruntung, ada baiknya kita menengok mereka yang kreatif dan berhasil melanjutkan hidup setelah menjadi TKI. Mereka ini pribadi-pribadi tegar, mengingat desa Marga Mulya merupakan daerah pertanian tradisional dan terletak jauh dari jalan utama Kabupaten Indramayu (sekitar 6-7 KM), dimana membuka usaha bukan perkerjaan mudah.

Seperti yang dilakukan oleh Tarkim (39th) mantan TKI Taiwan. Ia bekerja di sebuah pabrik pelek mobil sepanjang tahun 1998-2001, dengan gaji mencapai Rp 4.800.000 per bulan. Meski ketika berangkat dia harus mengeluarkan uang hampir 25 juta rupiah, namun ketika pulang dari Taiwan, dengan tabungannya dia membuka usaha dealer motor, membeli sawah dan rumah. Modal awal usaha dealernya sekitar 75 juta rupiah. Tempatnya strategis, di persimpangan utama desa Marga Mulya, dengan omzet mencapai 3 juta rupiah per bulan.

” Ini kan desa kecil, Mas. Awalnya berat juga memulai usaha ini. Apalagi modalnya cukup besar,” kata Tarkim. ” Segala kerja keras saya selama di Taiwan tak akan saya sia-siakan. Apalagi saya sempat mengalami kecelakaan yang mengenai tangan saya,” lanjutnya, sambil memperlihatkan bekas luka di tangannya, berupa bekas jahitan sepanjang 15 cm.

Rafiah (32 th), ibu dua anak, pernah menjadi TKI di Abu Dhabi selama 2 tahun 4 bulan. Ia bekerja sebagai PRT, dengan gaji sekitar 1,3 juta per bulan. Semua hasil kerjanya ia kirimkan ke kampung dengan jumlah sebesar Rp 36 juta. Sepulangnya ke tanah air, uang kirimannya tersisa di rekening keluarganya sebesar Rp 24 juta. Uang itu ia belanjakan untuk rehab rumah, perabotan, dan investasi dengan membeli sawah, sisanya ditabung. Dari tabungan itu, sebanyak Rp 500 ribu digunakan modal dagang mie ayam untuk membantu pekerjaan suaminya selain bertani. ” Dengan dagang mie ayam saya bisa membantu suami, lumayan ada penghasilan tambahan. Uang tabungan tidak diambil terus. Bisa untuk sekolah anak-anak nanti,” kata Rafiah. Dengan berjualan mie ayam di rumahnya, yang kebetulan di pinggir jalan, dia bisa meraup keuntungan Rp. 40-50 ribu perhari, bahkan kadang lebih.

Ummi Hani (40 th), jadi TKI selama 2 tahun 4 bulan di Arab Saudi. Sepulangnya dari Saudi, dia memiliki tabungan Rp. 37 juta. Uang itu ia gunakan selain untuk bayar hutang ke sponsor sebesar Rp. 2,5 juta, ia gunakan juga untuk memperbaiki rumah sebesar Rp. 16 Juta. Dan untuk usaha produktif ia investasikan Rp. 10 juta untuk mengembangkan warung. ”Dari usaha warungan ini, selain untuk biaya hidup sehari-hari saya juga bisa nabung minimal Rp 300 ribu per bulan, ” ungkap Ummi Hani.

Tarkim, Rafiah dan Ummi Hani adalah contoh pribadi-pribadi kreatif. Sayangnya, jumlah mereka yang kreatif ini tidaklah banyak, apalagi mereka yang mantan TKI. Hasil pengamatan Blakasuta di Marga Mulya, menuunjukkan bahwa kebanyakan mantan TKI masih ingin berkeja di luar negeri kembali. Atau paling tidak mengidolakan kerja di sana. Ini karena dunia usaha di negeri sendiri memang sulit. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hendaknya, tidak hanya memberi tawaran untuk bekerja ke luar negeri, tetapi juga menyiapkan apa yang mereka lakukan setelah pulang. Bukankah pelatihan ketrampilan tertentu, kewirausahaan dan pinjaman modal usaha, sesuatu yang tidak pernah dilakukan pemerintah secara serius? Khususnya setelah mereka tidak lagi menjadi TKI. Lagi-lagi rakyat harus kreatif sendiri ditengah ketidakmampuan negara menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Usaha-Usaha Lainnya

Di tengah kesulitan ekonomi yang ada, menjadi TKI adalah sebuah pilihan hidup. Di luar itu, tentu saja ada usaha-usaha lain yang yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengembangkan perekenomiannya. Di desa Marga Mulya yang perekonomiannya masih berbasis pertanian, dan jauh dari perkotaan, ternyata terdapat benih-benih pengembangan ekonomi dan dunia usaha.

Diantaranya, adalah apa yang dikerjakan Waram (34 tahun), pengusaha Organ Tunggal ”Kawaca Nada”, yang cukup terkenal di Marga Mulya, Bongas. Pada th. 2001, dia mendirikan grup organnya dengan bermodal hobi dan uang sebesar Rp. 25 juta. Dengan ketekeunannya dan ditopang tim yang solid sekarang dia memiliki 10 unit organ. Kini anggota personilnya mencapai 25 orang. Untuk sekali manggung grupnya dibayar 6-7. Dalam hal ini, Waram bukan hanya berhasil untuk dirinya tetapi membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Casban (32th), salah satu diantara anak muda yang kreatif. Di usianya yang relatif muda, ia memiliki empat usaha sekaligus: dealer/showroom motor, warung sembako lengkap, bengkel motor dan rental mobil. Berbagai pekerjaan sebelumnya dia lakoni, dari mulai jualan mainan anak, kuli angkut pasir, sampai tukang ojeg. Dengan prinsip bagaimana memperkuat diri sambil memberdayakan orang lain, pada th 1995 dia mulai membuka warung dengan modal awal Rp 1,8 juta. Dan pada th. 2003 ia membuka showroom motor dengan modal hasil pinjaman sebesar Rp 50 juta. Kini usahanya terus berkembang, omzetnya mencapai Rp. 14 juta dengan penjualan minimal 20 unit sepeda motor perbulan.

Mengenai prinsip usaha, menurutnya: ” Yang penting bagaimana kita memelihara mediator-mediator untuk memasarkan motornya dengan baik, manajemen keuangan yang ketat, dan jeli membaca kemauan pasar. ” Gaya hidup sederhana dan jauh dari konsumerisme adalah salah kunci sukses yang lainnya. Dengan usahanya yang berhasil, dia tak pernah berpikir untuk bekerja ke luar negeri.

Usaha lainnya yang dikembangkan warga Marga Mulya adalah usaha penggilingan padi (hueleran). Sebaaimana yang dilakukan H.Masto (52 tahun). Dengan uang Rp 400 ribu hasil ngenek, pada th 1993 ia membuka toko material. Setelah mulai tokonya berkembang, pada th. 2000 ia membuka pengilingan padi. Sekarang ini omzet bulananya mencapai minimal Rp. 10 juta. Mengenai kunci suksesnya dalam berusaha ia menyatakan bahwa, “Yang penting orang mau bekerja keras, jangan malu, dan jangan andalkan ijazah.” Mengenai bagaimana cara pandangnya terhadap orang lain ia menyatakan bahwa, “Kita harus mau mulai dari bawah. Orang dinilai dari prestasi kerjanya. Soal kedudukan itu mengikuti, kalau prestasi bagus maka akan dingkat sesuai dengan keahlian dan kerja kerasnya,” .

Rental organ, warung sembako, dealer motor dan hueler, adalah usaha-usaha yang dilakukan rakyat untuk keluar dari persoalan ekonominya. Dengan segala kemandirian, rakyat berdiri di atas kaki sendiri. Bebebrapa berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang jatuh bangun. Orang-orang seperti Waram, Casban, dan H.Masto dalam kapasistasnya layak disebut pelopor, membuka penghidupan orang lain, yang jelas tidak membebani negara, bahkan meringankannya. Sebaiknya pemerintah tidak hanya bisa membiarkan rakyat berbondong-bondong keluar negeri dengan tanpa perlindungan, tetapi juga memperkuat perjuangan orang-orang seperti Casban, Waram dan H.Masto untuk berdikiari di atas kemampuan sendiri. Jangan sampai karena pemerintah abai lalu rakyat yang tergadai.

No comments: