Tulisan di bawah ini adalah rekaman ceramah KH. Said Aqiel Siradj pada acara peringatan 10 Muaharam di keraton kasepuhan Cirebon, 07/01/2009, yang dibayang-bayangi tindak intoleransi dan diskriminasi dari kelompok keagamaan garis keras. Rekaman ini ditranskrip, dituliskan dan diedit oleh Ali Mursyid
ISLAM BUKAN HANYA AQIDAH DAN SYARIAH
TETAPI PERADABAN DAN ILMU PENGETAHUAN*
Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ‘ala maulana wa syafiina wa habibina rasulillah, Muhammad saw. Wa man tabai’a sunnatahu wa jama’ana ila yaumina hadza, ila yaumil ba’tsi wa kafa.
Ashabal Fadhilah Sadatana Ahlal Baitil Mushtafa, Habibabana wa hamzakumullah, Wa ‘ala ru’usihim Assayiid Hasan Alai al-Idrus. Hadratsus Syaikh KH. Mahfudzh, KH. Hassan Kriyani, Rekan-Rekan Pengurus NU, Wawan Arwani, rekan-rekan pengurus PMII, pimpinan Forum Umat Islam se wilayah III, Bapak Syaihu, Sadati wa Sayidati ahlil kubur
Alhamdulillah pada malam hari ini, saya juga merasa berbahagia bisa menghadiri acara yang sangat mulia dzikra syahadati sebeti rasulillah saw, sayidina wa imamina Abi Abdillah al-Hussein as. Mudah-mudahan kita semua medapatkan berkahnya, syafaatnya, sehingga kita menjadi umat yang selamat bahagia dunia akhirat amin ya rabbal amin.
Soal ada halangan, tempatnya pindah, saya harap kepada seluruh panitia, jangan marah. Maafkan mereka yang memindahkan tempat acara ini. Maafkan yah, jangan marah, jangan dendam. Allahummahdihim fainnahum la ya’lamun. Alhamdulillahi al-ladzi ja’ala a’da’na umaqa.
Hadirin yang saya hormati, setelah al-khalifah al-rasyid yang keempat, al-Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibantai, dibunuh pagi Jum’at 17 Ramadhan th. 40 H. oleh seorang yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Pembunuh Sayyidina Ali ini orangnya qiyamul lail wa shiyamun nahar, hafidhul Qur’an. Orangnya tiap malam tahajud, sampai jidatnya hitam, tiap siang puasa, dan hafal al-Qur’an. Mengapa dia membunuh Sayyidina Ali? Karena menurutnya Sayyidina Ali itu kafir? Apa Kafir? Keluar dari Islam. Kenapa Ali kafir? Karena menurutnya, Ali menerima hasil rapat manusia. Hukum atau keputusan rapat manusia. Padahal, la hukma ilallah (tidak ada hukum selain hukum Allah), wa man lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun (maka barang siapa menggunakan selain hukum Allah, maka kafir). Ali tidak menggunakan hukum Allah, tetapi menggunakan hukum hasil kesepakatan rapat di Dummatul Jandal. Kalau kafir, maka harus dibunuh. Eh anak kemarin sore, mentang-mentang jidatnya hitam dan jenggotnya panjang, mengkafirkan man aslama min al-shibyan, shihru rasulillah, fatihu khaibar, min al-sabiqin al-mubasyirun bi al-jannah, bab al-ilm.
Anak kemarin sore berani mengkafirkan remaja yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali shalat jamaah di masjidil haram. Waktu itu ditertawakan oleh Abu Jahal dan teman-temannya. Waktu itu yang pertama kali shalat jama’ah di masjidil haram tiga orang. Saat itu imamnya Rasulillah, makmumnya sayyidah khadijah al-kubra dan Sayyidina Ali. Tiga orang itulah yang pertama kali shalat terang-terangan di dunia ini. Dikafirkan oleh anak kemarin sore, maklum pernah ikut pesantren kilat dua minggu.
Ali adalah shihru rasulillah, menantu rasul. Ia juga dijuluki bab al-ilmu, sahabat yang intelek dan cerdas. Ali juga adalah min al-sabiqin al-awwalin al-mubasyirun bi al-jannah, salah satu orang yang sudah dikasih tahu pasti masuk surga. Di samping sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Thaha, Zubair, Abdullah bin Auf, Abu Ubaidah, Amr bin Jarrah, sampai orang sepuluh yang dikasih tahu pasti masuk surga.
Sayyidina Ali juga dipercaya sebagai Fatihu Khaibar, yang memimpin perang mengalahkan benteng terakhirnya Yahudi di Khaibar. Dan Imam Ali juga selalu hadir dan ikut bersama rasul dalam peperangan perjuangan jihad fi sabililillah. Yang begini dikafirkan oleh anak kemarin sore, bernama Abdurrahman ibn Muljam.
Ini, penyakit seperti ini sudah mulai masuk ke Cirebon. ”Alah baca al-Qur’an juga plentang-plentong. Ngerti nggak itu asbab al-nuzul? Ngerti nggak itu tafsir? Negerti nggak itu mushtalah hadits? Shahih, hasan dan dha’if? Ngerti nggak itu qira’ah sab’ah? Apalagi qira’ah sab’ah, qira’ah yang biasa aja nggak bener kok! Ngerti nggak ushul fiqh? Ngerti nggak itu ilmu kalam? Tarikhu Tamaddun? Tarikhu Hadharah wa Tsaqafah? Ngerti nggak itu? Tahu-tahu mudah sekali mengkafirkan dan menyalah-nyalahkan orang. Alah, Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun, Alhamdulillah al-ladzi ja’ala a’da’na umaqa, juhala. Alah. ”
Setelah Sayyidina Ali terbunuh di Kuffah, maka gubernur Syam, Muawiyah ibn Abi Sufyan ibn Harb ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Hasyim merasa plong, tidak ada saingan. Tidak ada yang diperhitungkan lagi. Maka ia mendeklarasikan diri sebagai penguasa tunggal. Lalu setelah itu buru-buru ia mengangkat anaknya yang bernama Yazid, diangkat menjadi putra mahkota, yang akan mewariskan tahta, artinya kalau ia mati, langsung digantikan anaknya, yang bernama Yazid. Yazid sendiri adalah anak seorang ibu yang bernama Maesun, orang Badui pedalaman, yang tidak suka tinggal di istana, dan suka hidup di padang pasir dan suka tidur di kemah. Yazid sendiri tidak pernah belajar ngaji dan belajar agama, ia hanya belajar berburu, naik kuda, memanah dan memainkan senjata.
Setelah Muawiyah meninggal, Yazid langsung menjadi penggantinya, penguasa umat Islam. Waktu itu diutus beberapa utusan berangkat dari Damaskus ke seluruh provinsi untuk mengambil sumpah setia dari tokoh-tokoh yang ada kepada Yazid. Utusan-utasan itu berangkat ke Mesir, ke Basrah, ke Kuffah dan juga diantaranya ke Madinah. Sampai di Madinah, para sahabat besar, seperti Abdullah ibn Umar dan lain-lainnya mau berbai’at karena dipaksa dan dibawah intimidasi. Meski yang lain bai’at, Imamuna Sayidina Husein meminta waktu untuk berfikir. ”Nanti saya fikir dulu malam ini”, katanya.
Lalu Sayyidina Husein pulang ke rumah. Di dalam kegelapan malam, beliau beserta seluruh keluarganya meninggalkan Madinah al-Munawarah berjalan kaki menuju Makkah al-Mukarramah. Masuk kota Makkah, ketika orang datang haji, orang-orang datang ke Minna, beliau beserta keluarganya keluar dari Makkah. Beliau saat itu sudah sering haji.
Ketika Sayyidina Husein keluar dari Makkah, di tengah jalan ia dinasihati oleh seorang penasihat, bahwa kalau mau melakukan perjuangan jangan pergi ke Kuffah. Karena orang Irak mudah berhianat. Sebaiknya kamu ke Yaman, karena orang Yaman jujur dan mudah tidak hianat.
Ditengah jalan lagi, Sayyidina Husein berjumpa seorang penyair bernama Farazdaq. Farazdaq bertanya mau kemana wahai yang mulia? Beliau menjawab, saya mau ke Kuffah, saya menerima lebih dari seratus surat, agar saya hijrah dan membangun peradaban di sana. Farazdaq berkata; ”Jangan percaya orang Kuffah, mulutnya bersama kita tetapi hatinya beserta Muawiyah”. Sayyidina Husein menjawab, saya akan tetap menuju Kuffah. Farrazdaq berkata lagi: ”Kalau begitu, perempuan dan anak-anak jangan kamu bawa”. Tetapi mereka tetap diajak bersama. Rupanya Allah sudah menentukan mati syahidnya Husein, sehingga Sayidina Husein tidak menerima masukan orang lain. Akhirnya beliau tetap berjalan bersama keluarga dan pengikutnya. Ada bukunya berjudul Ashabu Husein, sedikit sekali, yang bersenjata hanya berjumlah 54 orang.
Setelah Sayyidina Husein meninggalkan Farrazdaq, lalu ada orang yang bertanya. ”Wahai Farrazdaq, tadi kamu berbicara sama siapa, kok kelihatanya asyik banget”, tanya orang tersebut. Farrazdaqpun menjawab dengan lantunan bait-bait syair, yang artinya:
Tadi yang saya ajak ngomong itu, kamu ndak tahu? Kamu ndak tahu?
Dia sudah dikenal seluruh umat manusia
Baik penduduk tanah halal dan tanah haram
Ka’bah pun sudah kenal dia
Siapa dia itu?
Dia adalah anak orang yang paling mulia (Sayyidina Ali)
Dia adalah orang yang bertakwa, bersih dan suci
Kalau kamu ndak tahu? Dia putra Fatimah
Ketika orang Quraish melihatnya
Orang Quraish akan mengatakan, bahwa orang inilah
ujung orang yang mendapat kemuliaan
Dengan kakeknyalah para Rasul dan Nabi di akhiri
Karena kakeknya Nabi yang terakhir
Sayidina Husein beserta rombongan terus melanjutkan perjalanan. Dan sesampainya di padang Karbala dihadanglah oleh 400 pasukan penunggang kuda yang diperintah oleh Abdullah ibn Ziyad, yang dipimpin Umar ibn Sa’ad ibn Abd al-Waqas.
Terjadi peperangan yang tidak seimbang, termasuk hampir tentara Husein yang hanya berjumlah 54 orang. Semua yang ikut Sayidina Husein mati syahid, kecuali Imam Ali Zainal Abidin, tidak meninggal karena tidak keluar kemah karena sedang sakit demam. Dan juga istri Sayidina Husein, Fatimah, adiknya juga Sayidah Zainab dan kakaknya lagi. Kira-kira ada 4 orang yang selamat.
Sebenarnya mudah sekali untuk membunuh dan membantai Sayidina Husein, gampang. Tetapi tiap orang yang mendekat dan hendak membunuh beliau, maka akan berusaha menjauh, dan mengatakan kalau bisa jangan saya yang membunuh, tetapi yang lain saja. Kalau datang waktu adzan, waktu shalat, semuanya berhenti, lalu tidak ada yang berani menjadi Imam Shalat. Semua sepakat Sayidina Husein yang mengimami shalat. Jadi yang memusuhi juga makmum ke Sayidina Husein. Habis shalat lalu bertempur lagi.
Sampai akhirnya seorang yang menjadi jausyan (tentara, algojo), dengan berani menarik Sayidina Husein dari kudanya. Begitu jatuh, dinaikkin, diinjak, ditebas lehernya, dipisahkan kepala dan badannya. Badanya diinjak-injak oleh kuda sampai rata dan menyatu dengan tanah Karbala. Tinggallah kepalanya. Kepalanya ditancapkan di tombak, dibawa ke Kuffah, diarak keliling kota Kuffah, bersama 4 keluarganya tadi. Dari Kuffah lalu dibawa ke Syiria, Damaskus. Di kereta itu isinya, istrinya, adiknya, anaknya, dan saudaranya. Luar biasa sekali (kejamnya red.).
Sampai di Damaskus, kepala itu dipasang di depan istana Yazid. Dan setiap orang yang lewat diperintahkan oleh tentara untuk memaki-maki dan menjelek-jelekannya. Setelah kepala itu cukup lama terpajang di depan istana Yazid, Sayidah Zaynab memberanikan diri agar dizinkan membawa kepala itu pulang ke Madinah. Yazid mengizinkan. Tetapi di tengah jalan dicegat oleh tentara Yazid agar kepala tersebut tidak sampai ke Madinah. Karena takut dapat membangkitkan dan membakar emosi penduduk Madinah. Makanya kemudian kepala tersebut dibelokkan ke Mesir. Makanya makam Sayidina Husein ada di Kairo di Mesir. Ali Zainal Abidin, putra beliau, dipulangkan ke Madinah.
Saudara-saudara dan para hadirin sekalian, kenapa saya cerita demikian? Ini karena ideologi apa pun, agama apa pun, keyakinan apa pun tidak bisa besar tanpa ada pengorbanan, tanpa ada syahadah (kesyahidan). Ini terlepas dari agama apa saja. Kristen bisa maju karena banyak pengirbanan. Budha dan Hindu masih tetap ada karena banyak pengorbanan. Demikian juga Islam, berkembang sampai sekarang karena pengorbanan syuhada, banyak nyawa yang mengalir, demi mempertahankan agama Islam.
Pertama kali yang syahid dalam agama Islam adalah perempuan, namanya Sumayah. Istrinya Yasir, ibunya Amar bin Yasir, yang dibunuh oleh Abu Jahal. Lalu seminggu kemudian, suaminya dibunuh, Yasir. Seminggu kemudian, Amar akan dibunuh. Tetapi selamat, karena dalam keadaan terpaksa ia pura-pura murtad. Begitu pura-pura murtad, langsung menghadap Rasulullah saw, dan menyatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, diancam dibunuh, ia pura-pura murtad, pura-pura mecaci maki Rasul. Rasul menanyakan, bagaimana isi hati Amar? Amar menjawab, hatinya tetap beriman. Rasul pun memaafkannya, karena memang dalam keadaan terpaksa. Jadi yang pertama syahid dalam Islam itu perempuan. Kalau laki-laki itu biasanya omongnya saja yang besar. Kalau perempuan itu buktinya ada.
Selanjutnya banyak lagi darah pengorbanan para syuhada tercurah demi mempertahankan Islam. Syuhada Badar, syuhada Uhud. Sayidina Hamzah ibn Abbas, Sayidina Hmzah ibn Abdi Muthalib, Mus’ab ibn Umay, Sayidina Khalid ibn Walid, dan yang lainnya. Darah syuhada mengalir demi melanggengkan ajaran Islam.
Syahadah Sayidina Husein tudak akan percuma, tidak sia-sia. Islam bisa sampai di Indonesia itu antara lain, disebabkan oleh syahadah Sayidina Husein. Bagitu Sayidina Husein, sebagai ahlu bait yang dibenci penguasa. Sayidina Husein memiliki putra, Ali Zainal Abidin. Zainal Abidin punya putra Muhammad al-Baqir. Muhammad al-Baqir punya putra Ja’far al-Shadiq. Ja’far al-Shadiq punya putra Musa al-Kadzim, Ismail. Musa al-Kadzim punya putra Ali al-Uraifi, yang kuburannya sekarang kuburannya di Madinah digusur dan dijadikan jalan tol. Imam al-’Uraifi punya putra namanya, ’Isha. ’Isha punya putra Ahmad. Ahmad hijrah dari Madinah ke Yaman. Dari Yamanlah Ahmad al-Muhajir punya keturunan sampai ke Kamboja, sampai ke Cirebon, Gresik. Para wali songo di pulau Jawa ini adalah kuturunan dari al-’Uraifi. Seandainya ahlu bait itu hidupnya enak, tidak dikejar-kejar mungkin Islam akan lambat datang ke Indonesia.
Syahadah Sayidina Husein tidak sia-sia. Dengan syahadah Sayidina Husein mempercepat Islam tersebar ke Timur. Pada malam hari ini kita mengenang kembali, menghormati pengorbanan cucu Rasul saw. Kita ini bukan saudaranya, bukan cucunya, bukan besannya, tetapi menghormati saja kok males banget. Malah ada yang tidak percaya, ”haul itu apa?”, ”kirim doa itu apa?” ”ndak akan nyampe”, katanya. Coba kalau kita balik doanya, doakan bahwa: ”mudah-mudahan Bapak sampean masuk neraka”. Nah kalau didoakan seperti ini maka orang itu marah juga. Berarti percaya bahwa doa itu sampai dong.
Islam yang datang ke Jawa ini adalah Islam ahli sunnah wal jama’ah, Islam yang selalu menjunjung tinggi tawasuth, berfikir moderat. Tidak ekstrem. Islam yang dibawah para habaib, sayyid, dan saddah, yang berdakwah dengan cara-cara damai. Dulu tidak ada para habaib yang galak. Mereka berdakwah dengan cara dan sarana-sarana kebudayaan yang ramah. Para wali dan Sunan itu kan para habaib, tidak ada yang galak. Tidak tahu kalau sekarang, dan akhir-akhir ini, apa ada habib yang galak. Yang jelas dulu tidak ada para habaib kalau berdakwah pakai cara-cara mengobrak-abrik rumah orang. Saya tidak tahu, kalau sekarang, mungkin ada habib yang berdakwah secara keras?
Dakwah para dakwah habib itu dengan cara-cara ramah, dan memasukkan bahasa dan budaya ke sini. Banyak kata dalam bahasa Arab masuk ke bahasa Indonesia. Dulu para ulama memoles sedemikian rupa, melalui cara-cara budaya, bahasa, yang damai. Tidak ada paksaan dalam agama. Dan itu tidak sesuai dengan ajaran Islam
Ada seorang namanya al-Hasyim dari Bani Salim al-Khazraj. Ia musyrik, punya dua anak beragama Kristen. Sewaktu Nabi masuk Madinah, ia masuk Islam. Ia pun memaksa dua anaknya agar masuk Islam. Lalu turunlah ayat al-Qur’an yang berbunyi: ”La ikraha fi al-din” (tidak ada paksaan dalam agama). Jadi asbab al-nuzul turunya ayat La ikraha fi al-din adalah karena kondisi berikut.
Oleh karena itu, mari kita yang ahli sunnah, dan para ahlu bait, dan para pecinta keluarga Nabi, kita tunjukkan bahwa kita berakhlak. Kita jauhi segala tindak kekerasan, kita jauhi cara-cara dakwah syiddah dan ikrah.
Rasulullah ketika Fathu Makkah, begitu masuk Makkah, lalu menyebarkan jargon bahwa hari ini adalah bukan hari pembalasan tetapi hari kembali membangun kasih sayang (yaumul marhamah). Dengan demikian sekonyong-konyong para musuh Quraisy Makkah datang ke Muhammad saw. Maka kemudian turunlah ayat yang menyeru agar Nabi pun memaafkan mereka dan meminta ampun mereka kepada Allah
Islam bukan hanya agama aqidah dan syariah. Tetapi Islam juga adalah agama Tamadun dan Tsaqafah, Islam adalah agama peradaban dan pengetahuan. Globalisasi yang di bawah islam dari timur ke Barat, adalah kemajuan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Bukan globalisasi fitnah dan fawahisy, yang seperti kita laksanakan sekarang ini
Oleh karen aitu, agama tidak akan maju, bila tidak dibarengi dengan peradaban. Agama tidak akan maju bila tidak dibarengi dan diwarnai dengan budaya. Karena agama itu suci dari langit, akan langgeng bila disosialisasikan, bila dibumikan secara manusiawi, dan bukan melulu didoktrinkan. Aqidah, Iman dan Shalat serta Puasa memang dari ajaran langit. Tetapi tidak akan langgeng bila tidak dibarengi dengan budaya. Kita harus mempertahankan nilai ketuhanan dengan aktifitas manusia di bumi. Menjadikan peradaban sebuah doktrin.
Dulu kan ada tradisi sesajen, para ulama dan kyai tidak langsung menyatakannya sebagai syirik. Tetapi menyatakanya bahwa kalau kamu punya uang yah sedekahnya atau sesajennya jangan cuma di empat pojok. Tetapi ayo menyembelih kambing saja. Setelah kambing disembelih, lalu orang deramwan itu tanya mau taruh dipojok mana daging kambing itu? Maka kyai akan menjawab jangan ditaruh tetapi mari undang para tetangga untuk makan-makan dan doa serta tahlil bersama. Nah dakwah semacam ini kan ramah. Tidak langsung mengatakan ini itu syirik dan bid’ah, nanti umat lari.
Jangan sekali-kali menuding ini itu syirik atau bid’ah. Mengerti tidak apa itu bid’ah itu?. Apa yang tidak dilakukan dan diajarkan Nabi itu bid’ah Kalau tidak ngerti, diantara contoh bid’ah adalah tulisan Arab yang ada titiknya itu bid’ah. Nah titik itu ditemukan oleh Abu Aswad al-Dualy pada th. 65 H. Sudah ada titiknya juga masih banyak yang belum bisa baca al-Qur’an, maka, Imam Khalil ibn Ahmad al-Farahidi, gurunya Imam Syibawaih, bikin syakal (harakah), fathah, kasrah dan dhammah.
Sudah ada titik dan syakal, nyatanya masih banyak orang yang tidak bisa baca al-Qur’an, maka Imam Abu Ubay Qasim ibn Salam w. 242 H menyusun ilmu Tajwid, agar benar dalam membaca al-Qur’an. Mau bener baca al-Qur’an pakai ilmu Tajwid. Ilmu Tajwid itu bid’ah, karena memang semua ilmu pengetahuan itu bid’ah. Karena memang Rasul tidak mengajarkannya.
Contoh lagi, ada seorang gubernur dari Asia Tengah, Amir al-Mahdi kirim surat pada Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i (Imam Syafi’i). Surat itu isinya tanya, saya kalau baca al-Qur’an dan Hadits, itu isinya nampak bertentangan? Lalu untuk menjawab ini Imam Syafi’i menyusun kitab Ar-Risalah, yang berisi kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Serta ada Ushul Fiqh baru kemudian ada Ilmu Fiqh. Lalu kemudian ada penjelasan dalam Ilmu Fiqh mengenai rukun shalat. Kalau mau shalatnya benar yah mengikuti Ilmu Fiqh, yang susunannya ulama.Kalau Cuma lihat al-Qur’an dan Hadits tidak akan ketemu
Contoh satu lagi, biar jelas saja. Contohnya ada orang pergi haji, masuk hotel ambil kamar yang bagus. Begitu tanggal 8 mau ke Arafah, ia mau cari tahu berapa jarak hotel ke Arafah, ke mana arahnya, naiknya apa? Dia lalu buka al-Qur’an dan Hadits, yah tidak akan ketemu. Nah sebaiknya bagaimana, yah ikut saja rombongan yang ke Arafah. Nah ikut saja itu kan bahasa Indonesia, bahasa Arabnya yah taqlid saja.
Jadi kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan baik tanpa ilmu Fiqh, yang bukan bikinan Rasul, bukan sahabat Abu Bakar, Utsman dan Ali. Sahabat Husein juga tidak bikin Ilmu Fiqh. Nah bila ada orang shalatnya bagus sekali, lalu kita tanya, Bapak kan shalatnya bagus sekali, dari mana belajarnya Pak? Lalu bila ia jawab, ia belajar dari al-Qur’an dan Hadits, itu bohong. Kalau mau jujur, ia sebenarnya belajar dari ayah atau gurunya, yang mentok-mentoknya merujuk pada kitab Safinah. Atau kalau Safinah terlalu besar, yah mentok merujuk pada Fashalatan, atau minimal buku Petunjuk Shalat Lengkap.
Yang namanya ibadah itu harus dengan ilmu. Sedangkan ilmu itu bukan karangan Rasul dan para sahabatnya. Ilmu Mushtalah Hadits itu disusun oleh Imam Syihabuddin Arrahumuruzi atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz, setelah mengingat banyakanya hadits dha’if dan palsu. Jadi Islam itu agama peradaban, akhlak dan pengetahuan. Bukan hanya doktrin yang sering ditampilkan sangar itu.
Karena itu mari mulai malam hari ini, tingkatkan ahlak kita, tingkatkan ilmu pengetahuan kita. Pahamilah Islan dengan baik dan benar. Kalau mau memahami al-Qur’an tidak bisa langsung, polosan. Harus mengerti asbab al-nuzul, ilmu tafsir, ilmu qira’ah, ilmu bahasa Arab, nahwu sharafnya. Kalau ingin memahami ilmu hadits maka harus memahami ilmu mushtalah al-hadits.
Pada kesempatan ini, mari kita rayakan jasa para habaib dalam menyebarkan agama Islam. Seandainya tidak ada habaib dan ahlu bait, mungkin kita akan jauh bisa meneladani akhlak Rasul saw. Imam Syafii pernah menyatakan, bahwa kalau ada orang yang mencintai Ahlu Bait, lalu dianggap Syiah, maka OK tidak apa-apa, silahkan saya dianggap Syiah.
Sesungguhnya, tragedi pembantaian di Karbala yang demikian bukan hanya tragedinya Syiah, tetapi tragedi kemanusiaan. Seharusnya ini bukan hanya milik Syiah tetapi yang lain juga. Wallahu Muwafiq Ila Aqwam al-Thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb.
Sunday, December 27, 2009
Tuesday, December 15, 2009
Teladan Imam Malik: Toleran Terhadap Perbedaan dan Kritis Pada Perbedaan
Oleh Ali Mursyid
“Manakala kamu menemukan pendapatku keliru, maka tinggalkan ia dan buanglah jauh-jauh. Dan manakala kamu menemukan pendapatku benar maka ikutilah apa yang aku ikuti. Jangan mengikuti aku.” (Imam Malik)
Pernyataan di atas dikemukakan oleh Imam Malik, ulama penggagas salah satu madzhab besar di kalangan Islam Sunni, madzhab Maliki. Beliau adalah guru Imam Syafi’i, yang pandangan dan madzhabnya banyak diikuti umat Islam Indonesia. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa meski beliau dikenal sebagai ulama besar di zamannya dan memiliki otoritas sebagai Imam Madzhab, Imam Malik tidak memaksakan pandangannya, tidak merasa bahwa pandangannya adalah yang paling benar, sementara yang lain pasti salah.
Ketika khalifah Al-Manshur ingin menetapkan kitab Al-Muwatha, karya utama Imam Malik, sebagai pegangan utama dan dasar perundang-undangan di Negara Islam saat itu, Imam Malik melarangnya. Beliau menolak penyatuan pemahaman keagamaan ini dengan mengutip hadits yang menyatakan bahwa perbedaan pandangan di antara umat Islam adalah rahmat. Penolakan Imam Malik atas penyatuan paham keagamaan oleh pemerintah dengan menggunakan karyanya Al-Muwatha, menyiratkan sikap muru’ah dan istiqamahnya. Sebagai ulama dan fuqaha besar pada zamannya, beliau tidak mau memberangus perbedaan-perbedaan pandangan yang ada dan berkembang di masyarakat, meski hal itu dikehendaki penguasa.
Sikap toleran dan menghargai perbedaan yang dimiliki Imam Malik, juga diikuti oleh muridnya, Imam Syafi’i. Sebagai murid, Imam Syafi’i sering berbeda pandangan dengan Imam Malik. Namun demikian, hubungan mereka sebagai guru dan murid, tetap terjaga dengan baik. Membiarkan dan memberi ruang bagi para murid untuk berbeda pandangan dengan guru, adalah salah satu sikap toleran yang dicontohkan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i juga menyatakan bahwa “Ra’yi shawab yahtamil al-khatha’ wa ra’yu ghairi khatha’ yahtamil al-shawab (pendapatku memang benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain memang salah, tetapi mengandung kemungkinan benar).”
Imam Malik: Ulama Besar pada Masanya
Imam Malik sendiri bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M dari keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya Imam Malik menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Ia juga berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Di usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Tegas dan Kritis Terhadap Penguasa
Imam Malik adalah sosok yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al-Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian dengan paksaan. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tetapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.
Khalifah Mansur tidak berkenan dengan tindakan keponakannya itu. Khalifah mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang Imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang Imam. Namun Imam Malik menolak undangan tersebut.
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Menjawab panggilan penguasa, Imam Malik mengatakan dengan tegas, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia”. Mendengar itu, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah dan duduk bersama dengan rakyat kecil.
Bercermin pada Sejarah Islam
Dari sejarah Islam, kita tahu bahwa banyak ulama dan bahkan Nabi Muhammad saw sendiri diceritakan sebagai pribadi yang tegas dalam menyampaikan kebenaran dan kritis pada kedzaliman, meskipun itu datang dari penguasa.
Dalam sejarah Islam juga kita ketahui bahwa sikap toleran dan menghargai perbedaan sesungguhnya bukan hanya dicontohkan Imam Malik dan Imam Syafi’i saja. Para ulama sejak dahulu menghargai perbedaan pandangan yang ada dengan sikap penuh toleransi.
Banyak sekali kitab-kitab fikih perbandingan yang ditulis secara khusus untuk mengulas berbagai perbedaan pandangan yang ada. Sebut saja misalnya, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah karya Abdur rahman al-Jazairi, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan banyak lagi yang lain. Penulisan kitab-kitab itu antara lain diniatkan supaya kita dapat memahami kenyataan adanya perbedaan-perbedaan itu dengan penuh lapang dada. Sebagai umat Islam, sebenarnya kita telah diberi pelajaran berharga, bagaimana menyikapi perbedaan dalam bingkai toleransi dan saling menghormati satu sama lain.
Tetapi kenyataannya, kenapa sikap toleran dan menghargai perbedaan belakangan mendapatkan banyak rintangan dan hambatan. Bahkan ironisnya, terkadang sikap toleran dan menghargai keragaman ini dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar ajaran dan sejarah Islam. Mestinya kita banyak belajar dari ajaran dan sejarah Islam yang otentik yang sangat toleran dan menjunjung perbedaan. Wallahu a’lam bi al-shawab
________________
* Penulis Ali Mursyid, dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Al-Hanif yang duterbitkan MMS
“Manakala kamu menemukan pendapatku keliru, maka tinggalkan ia dan buanglah jauh-jauh. Dan manakala kamu menemukan pendapatku benar maka ikutilah apa yang aku ikuti. Jangan mengikuti aku.” (Imam Malik)
Pernyataan di atas dikemukakan oleh Imam Malik, ulama penggagas salah satu madzhab besar di kalangan Islam Sunni, madzhab Maliki. Beliau adalah guru Imam Syafi’i, yang pandangan dan madzhabnya banyak diikuti umat Islam Indonesia. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa meski beliau dikenal sebagai ulama besar di zamannya dan memiliki otoritas sebagai Imam Madzhab, Imam Malik tidak memaksakan pandangannya, tidak merasa bahwa pandangannya adalah yang paling benar, sementara yang lain pasti salah.
Ketika khalifah Al-Manshur ingin menetapkan kitab Al-Muwatha, karya utama Imam Malik, sebagai pegangan utama dan dasar perundang-undangan di Negara Islam saat itu, Imam Malik melarangnya. Beliau menolak penyatuan pemahaman keagamaan ini dengan mengutip hadits yang menyatakan bahwa perbedaan pandangan di antara umat Islam adalah rahmat. Penolakan Imam Malik atas penyatuan paham keagamaan oleh pemerintah dengan menggunakan karyanya Al-Muwatha, menyiratkan sikap muru’ah dan istiqamahnya. Sebagai ulama dan fuqaha besar pada zamannya, beliau tidak mau memberangus perbedaan-perbedaan pandangan yang ada dan berkembang di masyarakat, meski hal itu dikehendaki penguasa.
Sikap toleran dan menghargai perbedaan yang dimiliki Imam Malik, juga diikuti oleh muridnya, Imam Syafi’i. Sebagai murid, Imam Syafi’i sering berbeda pandangan dengan Imam Malik. Namun demikian, hubungan mereka sebagai guru dan murid, tetap terjaga dengan baik. Membiarkan dan memberi ruang bagi para murid untuk berbeda pandangan dengan guru, adalah salah satu sikap toleran yang dicontohkan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i juga menyatakan bahwa “Ra’yi shawab yahtamil al-khatha’ wa ra’yu ghairi khatha’ yahtamil al-shawab (pendapatku memang benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain memang salah, tetapi mengandung kemungkinan benar).”
Imam Malik: Ulama Besar pada Masanya
Imam Malik sendiri bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M dari keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya Imam Malik menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Ia juga berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Di usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Tegas dan Kritis Terhadap Penguasa
Imam Malik adalah sosok yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al-Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian dengan paksaan. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tetapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.
Khalifah Mansur tidak berkenan dengan tindakan keponakannya itu. Khalifah mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang Imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang Imam. Namun Imam Malik menolak undangan tersebut.
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Menjawab panggilan penguasa, Imam Malik mengatakan dengan tegas, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia”. Mendengar itu, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah dan duduk bersama dengan rakyat kecil.
Bercermin pada Sejarah Islam
Dari sejarah Islam, kita tahu bahwa banyak ulama dan bahkan Nabi Muhammad saw sendiri diceritakan sebagai pribadi yang tegas dalam menyampaikan kebenaran dan kritis pada kedzaliman, meskipun itu datang dari penguasa.
Dalam sejarah Islam juga kita ketahui bahwa sikap toleran dan menghargai perbedaan sesungguhnya bukan hanya dicontohkan Imam Malik dan Imam Syafi’i saja. Para ulama sejak dahulu menghargai perbedaan pandangan yang ada dengan sikap penuh toleransi.
Banyak sekali kitab-kitab fikih perbandingan yang ditulis secara khusus untuk mengulas berbagai perbedaan pandangan yang ada. Sebut saja misalnya, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah karya Abdur rahman al-Jazairi, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan banyak lagi yang lain. Penulisan kitab-kitab itu antara lain diniatkan supaya kita dapat memahami kenyataan adanya perbedaan-perbedaan itu dengan penuh lapang dada. Sebagai umat Islam, sebenarnya kita telah diberi pelajaran berharga, bagaimana menyikapi perbedaan dalam bingkai toleransi dan saling menghormati satu sama lain.
Tetapi kenyataannya, kenapa sikap toleran dan menghargai perbedaan belakangan mendapatkan banyak rintangan dan hambatan. Bahkan ironisnya, terkadang sikap toleran dan menghargai keragaman ini dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar ajaran dan sejarah Islam. Mestinya kita banyak belajar dari ajaran dan sejarah Islam yang otentik yang sangat toleran dan menjunjung perbedaan. Wallahu a’lam bi al-shawab
________________
* Penulis Ali Mursyid, dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Al-Hanif yang duterbitkan MMS
Tuesday, December 8, 2009
Makna Sosial Ibadah Kurban
Oleh Ali Mursyid
Dosen IIQ Jakarta
Seorang yang kaya raya dan hidup serba ada di sebuah desa di tegur oleh kiai setempat. “Hartamu melimpah, kenapa sampai saat ini engkau belum melaksanakan ibadah kurban?” tegur seorang kiai kepadanya. Ia menjawab: “Bukankah kiai pernah mengajarkan bahwa kambing atau sapi yang disembelih untuk ibadah kurban itu akan menjadi kendaraan kita di akhirat. Kalau itu betul, maka saya tidak akan melaksanakan ibadah kurban. Di dunia saja saya hanya terbiasa mengendarai sedan, masa nanti di akhirat harus mengendarai kambing atau sapi.”
Demikianlah, meski dialog kiai dengan orang kaya di atas hanyalah dialog imajiner, tetapi bisa saja dalam satu tempat atau kesempatan, hal tersebut merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terutama bila ibadah kurban hanya dimaknai secara formal dan simbolik, hanya dimaknai sebagai prosesi penyembelihan dan pembagian daging hewan kurban, yang di akhirat nanti hewan yang disembelih ini akan menjadi kendaraan penyelamat dari api neraka.
Tulisan ini bukan hendak menyalahkan pemaknaan ibadah kurban secara formal tersebut, karena pemaknaan itu juga merupakan pemahaman ulama-ulama terdahulu yang tentu sesuai dengan konteks zaman saat itu, juga merupakan cara praktis agar agama dapat dipahami dan dilaksanakan dengan mudah oleh masyarakat banyak. Tetapi kalau hanya sisi-sisi formal peribadatan yang dikenal kebanyakan masyarakat, maka kemudian agama (Islam) sebagai nilai-nilai keadilan, kebenaran universal, dan pembelaan terhadap mereka yang tertindas bergeser menjadi sekedar ketrampilan beribadah, ketrampilan mengerjakan shalat, puasa, haji, dan termasuk ibadah kurban. Orang lalu sibuk dengan sah atau tidaksnya suatu ibadah dilaksanakan. Energi mereka banyak dihabiskan untuk sekedar mempelajari syarat wajib, syarat sah dan rukun serta hal-hal yang membatalkan sebuah peribadatan. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakannya tidak ada-- yang mencoba menangkap esensinya, apalagi mewujudkannya dalam kehidupan sosial dengan segala bentuk dan setumpuk permasalahannya.
Padahal sesungguhnya dalam Islam, tidak ada peribadatan yang dilaksanakan yang tidak diharapkan dampaknya pada kehidupan sosial. Adalah sangat tidak mungkin agama dengan segala bentuk peribadatannya, diturunkan Allah swt kepada masyarakat manusia tanpa maksud. Bukankah agama (Islam) diturunkan kepada Muhammad saw untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat? Bukankah Al-Qur’an turun Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun dengan cara bertahap; berusaha mengontrol setiap perubahan yang terjadi di masyarakat saat itu. “Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan) maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tangan (kekuasannya), lisan (perkataannya) atau paling tidak dengan hatinya,” demikian sabda Nabi Muhammad swa. Secara tersirat beliau berpesan bahwa paling tidak seorang muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya, bukan bersikap tidap peduli. Puluhan ayat dan ratusan hadits menekankan keterkaitan keimanan dengan kepekaan sosial, rasa senasib dan sepenanggungan dengan anggota masyarakat yang lain.
Begitu juga ibadah kurban, meski nampak dalam prakteknya menyerupai persembahan para suku pedalaman kepada dewa-dewa mereka namun sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Walau ayang diajarkan adalah; siapa yang berkurban akan mendapat pahala besar dari Allah swt, tetapi dalam prakteknya, daging kurban tersbut dibagikan kepada fakir miskin, dan bukan menjadi daging sesajen. Kurban sesungguhnya lebih bermakna dan sarat dengan pesan kemanusiaan daripada ibadah yang berharap pahala.
Ibadah kurban dilaksanakan tidak untuk menunjukkan kelebihan seseorang atas yang lainnya, sebab hakikat kurban adalah memberikan, menyerahkan sesuatu dengan sukarela, tanpa mengingat kepentingan diri sendiri. Karena itu harus dikerjakan dengan ikhlas dalam rangka iman dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj, 22: 37)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa hakikat ibadah kurban bukan pada penyembelihan hewan, melainkan pada sikap taat dan patuh kepada Allah swt. Hakikat ibadah kurban adalah mendidik seorang muslim agar memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi terhadap kehidupan di sekitarnya. Dengan ibadah kurban ini, Islam menghendaki agar hubungan antara si kaya dan si miskin, antara yang kuat dan yang lemah terjalin sebaik-baiknya melalui silaturahim, saling peduli dan saling menyantuni.
Ibadah kurban juga mengingatkan kita kepada Nabi Ibrahim as yang bersedia mengorbankan Islmail, putra semata wayang yang sangat disayanginya. Bagaimana tidak, setelah Ibrahim menunggu sekian lama akan kehadiran seorang anak dalam keluarganya, tiba-tiba Allah mewahyukan kepada beliau untuk mengorbankan anaknya, justru ketika sang anak baru tumbuh dan sedang lucu-lucunya. Pada awalnya, Ibrahin bingung dan guncang jiwanya, namun akhirnya kecintaan beliau pada Allah menunutunnya untuk menglahkan ego kebapakannya demi menjalankan perintah Allah swt.
Kalau Ibrahim berani mengorbankan Ismail, maka sekarang apa yang akan kita korbankan. Apa ‘Ismail’ kita? Kedudukan? Harga diri? Profesi? Uang? Rumah? Sawah dan kebun? Mobil? Keluarga? Citra diri? Masa muda? Keelokan para rupa? Mungkin sampai saat ini, kebanyakan kita belum tahu pasti, apa ‘Ismail’ kita yang patut kita korbankan demi kecintaan kita kepada Allah swt?
Ada beberapa petunjuk untuk mengetahuinya. ‘Ismail’ kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, setiap sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar perintah Allah, dan setiap sesuatu yang membutakan mata kita dan telinga kita untuk melihat dan mendengar kebenaran. Kalau kita ini Ibrahim, maka korbankalah ‘Ismail-Ismail’ kita itu?
Selain itu, digantinya Ismail dengan hewan sembelihan (domba besar dan gemuk) mengisyaratkan bahwa yang harus dihilangkan dari diri kita sebagai muslim adalah segala sifat buruk kebinatangan. Sikap mateialistis (hubud dunya), gila jabatan (hubbul jah), serakah, sombong, ingin menang sendiri, tidak mengenal belas kasihan serta tidak saling menghargai dan menghormati sesama manusia, KKN, menumpuk kekayaan, sedangkan orang lain menderita, semua itu harus segera ditinggalkan. Wallahu a’lam bi al-sahawab
________________________
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Al-Basyar yang tebit di Cirebon
Dosen IIQ Jakarta
Seorang yang kaya raya dan hidup serba ada di sebuah desa di tegur oleh kiai setempat. “Hartamu melimpah, kenapa sampai saat ini engkau belum melaksanakan ibadah kurban?” tegur seorang kiai kepadanya. Ia menjawab: “Bukankah kiai pernah mengajarkan bahwa kambing atau sapi yang disembelih untuk ibadah kurban itu akan menjadi kendaraan kita di akhirat. Kalau itu betul, maka saya tidak akan melaksanakan ibadah kurban. Di dunia saja saya hanya terbiasa mengendarai sedan, masa nanti di akhirat harus mengendarai kambing atau sapi.”
Demikianlah, meski dialog kiai dengan orang kaya di atas hanyalah dialog imajiner, tetapi bisa saja dalam satu tempat atau kesempatan, hal tersebut merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Terutama bila ibadah kurban hanya dimaknai secara formal dan simbolik, hanya dimaknai sebagai prosesi penyembelihan dan pembagian daging hewan kurban, yang di akhirat nanti hewan yang disembelih ini akan menjadi kendaraan penyelamat dari api neraka.
Tulisan ini bukan hendak menyalahkan pemaknaan ibadah kurban secara formal tersebut, karena pemaknaan itu juga merupakan pemahaman ulama-ulama terdahulu yang tentu sesuai dengan konteks zaman saat itu, juga merupakan cara praktis agar agama dapat dipahami dan dilaksanakan dengan mudah oleh masyarakat banyak. Tetapi kalau hanya sisi-sisi formal peribadatan yang dikenal kebanyakan masyarakat, maka kemudian agama (Islam) sebagai nilai-nilai keadilan, kebenaran universal, dan pembelaan terhadap mereka yang tertindas bergeser menjadi sekedar ketrampilan beribadah, ketrampilan mengerjakan shalat, puasa, haji, dan termasuk ibadah kurban. Orang lalu sibuk dengan sah atau tidaksnya suatu ibadah dilaksanakan. Energi mereka banyak dihabiskan untuk sekedar mempelajari syarat wajib, syarat sah dan rukun serta hal-hal yang membatalkan sebuah peribadatan. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakannya tidak ada-- yang mencoba menangkap esensinya, apalagi mewujudkannya dalam kehidupan sosial dengan segala bentuk dan setumpuk permasalahannya.
Padahal sesungguhnya dalam Islam, tidak ada peribadatan yang dilaksanakan yang tidak diharapkan dampaknya pada kehidupan sosial. Adalah sangat tidak mungkin agama dengan segala bentuk peribadatannya, diturunkan Allah swt kepada masyarakat manusia tanpa maksud. Bukankah agama (Islam) diturunkan kepada Muhammad saw untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat? Bukankah Al-Qur’an turun Muhammad saw selama kurang lebih 23 tahun dengan cara bertahap; berusaha mengontrol setiap perubahan yang terjadi di masyarakat saat itu. “Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan) maka ia berkewajiban meluruskannya dengan tangan (kekuasannya), lisan (perkataannya) atau paling tidak dengan hatinya,” demikian sabda Nabi Muhammad swa. Secara tersirat beliau berpesan bahwa paling tidak seorang muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya, bukan bersikap tidap peduli. Puluhan ayat dan ratusan hadits menekankan keterkaitan keimanan dengan kepekaan sosial, rasa senasib dan sepenanggungan dengan anggota masyarakat yang lain.
Begitu juga ibadah kurban, meski nampak dalam prakteknya menyerupai persembahan para suku pedalaman kepada dewa-dewa mereka namun sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Walau ayang diajarkan adalah; siapa yang berkurban akan mendapat pahala besar dari Allah swt, tetapi dalam prakteknya, daging kurban tersbut dibagikan kepada fakir miskin, dan bukan menjadi daging sesajen. Kurban sesungguhnya lebih bermakna dan sarat dengan pesan kemanusiaan daripada ibadah yang berharap pahala.
Ibadah kurban dilaksanakan tidak untuk menunjukkan kelebihan seseorang atas yang lainnya, sebab hakikat kurban adalah memberikan, menyerahkan sesuatu dengan sukarela, tanpa mengingat kepentingan diri sendiri. Karena itu harus dikerjakan dengan ikhlas dalam rangka iman dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj, 22: 37)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa hakikat ibadah kurban bukan pada penyembelihan hewan, melainkan pada sikap taat dan patuh kepada Allah swt. Hakikat ibadah kurban adalah mendidik seorang muslim agar memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi terhadap kehidupan di sekitarnya. Dengan ibadah kurban ini, Islam menghendaki agar hubungan antara si kaya dan si miskin, antara yang kuat dan yang lemah terjalin sebaik-baiknya melalui silaturahim, saling peduli dan saling menyantuni.
Ibadah kurban juga mengingatkan kita kepada Nabi Ibrahim as yang bersedia mengorbankan Islmail, putra semata wayang yang sangat disayanginya. Bagaimana tidak, setelah Ibrahim menunggu sekian lama akan kehadiran seorang anak dalam keluarganya, tiba-tiba Allah mewahyukan kepada beliau untuk mengorbankan anaknya, justru ketika sang anak baru tumbuh dan sedang lucu-lucunya. Pada awalnya, Ibrahin bingung dan guncang jiwanya, namun akhirnya kecintaan beliau pada Allah menunutunnya untuk menglahkan ego kebapakannya demi menjalankan perintah Allah swt.
Kalau Ibrahim berani mengorbankan Ismail, maka sekarang apa yang akan kita korbankan. Apa ‘Ismail’ kita? Kedudukan? Harga diri? Profesi? Uang? Rumah? Sawah dan kebun? Mobil? Keluarga? Citra diri? Masa muda? Keelokan para rupa? Mungkin sampai saat ini, kebanyakan kita belum tahu pasti, apa ‘Ismail’ kita yang patut kita korbankan demi kecintaan kita kepada Allah swt?
Ada beberapa petunjuk untuk mengetahuinya. ‘Ismail’ kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, setiap sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar perintah Allah, dan setiap sesuatu yang membutakan mata kita dan telinga kita untuk melihat dan mendengar kebenaran. Kalau kita ini Ibrahim, maka korbankalah ‘Ismail-Ismail’ kita itu?
Selain itu, digantinya Ismail dengan hewan sembelihan (domba besar dan gemuk) mengisyaratkan bahwa yang harus dihilangkan dari diri kita sebagai muslim adalah segala sifat buruk kebinatangan. Sikap mateialistis (hubud dunya), gila jabatan (hubbul jah), serakah, sombong, ingin menang sendiri, tidak mengenal belas kasihan serta tidak saling menghargai dan menghormati sesama manusia, KKN, menumpuk kekayaan, sedangkan orang lain menderita, semua itu harus segera ditinggalkan. Wallahu a’lam bi al-sahawab
________________________
*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Al-Basyar yang tebit di Cirebon
Subscribe to:
Posts (Atom)