Oleh Ali Mursyid
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internaional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.
Para ulama ini menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang hingga sekarang masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi internasional, utamanya di Timur Tengah. Karya para ulama Indonesia atau Nusantara, baik yang telah berupa cetakan atau masih dalam bentuk manuskrip atau tulisan tangan (makhthûthâth), jumlahnya sangat besar. Salah satu sumber dari Aceh menyebutkan, khusus karya ulama di Aceh sebelum terjadinya tsunami saja diperkirakan mencapai 10.000 naskah.
Karya-karya ulama-ulama lainnya tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Gowa, Bone, Lampung, dan seterusnya. Tokoh-tokoh ulama besar Nusantara yang memiliki karya-karya fenomenal yang menyebar di berbagai wilayah nusantara tersebut dapat disebutkan beberapanya, seperti: Syeikh Abdurrauf al-Sinkili, Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Palimbani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Yasin Al-Padangi, Kyai Ihsan Jampes, Syeikh Mahfudh Termas, Kyai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kyai Mutamakkin.
Besarnya jumlah karya ulama Nusantara ini di satu sisi merupakan kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan kepada kita, generasi penerus. Di Sisi lain, turâts yang sangat kaya ini mengharuskan kita untuk tidak sekedar memelihara, tetapi akan lebih baik jika dipelajari, dikaji, dan ditelaah secara ilmiah serta dijadikan discource intelektual Islam Indonesia.
Gerakan penyelamatan dan pengumpulan naskah-naskah karya ulama Indonesia lalu menjadi penting dilakukan. Ini mengingat banyaknya manuskrip karya ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang tercecer dan berserakan di mana-mana. Padahal, tidak sedikit naskah yang ditulis para ulama dan intelektual Nusantara menjadi referensi akademik secara internasional.
Karena itulah kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indonesia atau Nusantara menjadi penting untuk diselnggarakan. Kegiatan Tahqîq ini sendiri diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Tahqîq Naskah, yaitu kajian atau pembetulan karya tulis ulama yang umumnya masih berupa makhthûthâth atau manuskrip serta ditulis lebih dari satu orang, dan antara satu dengan lainnya tidak selalu sama hasilnya. Kedua, Tahqîq Al-Manhâj, yakni pembetulan metodologis dalam pembelajaran bidang studi atau suatu kitab yang dinilai kurang efektif. Untuk melaksanakan tahqîq ini harus didasarkan pada manuskrip atau makhtûthâth asli yang berupa tulisan tangan, dan bisa beberapa manuskrip atau makhtûthâth.
Beberapa tahun lalu, tepatnya 2007 kegiatan Tahqîq ini telah dimulai di Indonesia, dengan dipelopori oleh Departemen AgamaRI. Sejak itu beberapa naskah karya ulama Indonesia telah coba ditahqîq. Di antara kitab-kitab yang telah ditahqîq tersebut adalah: (1) Karya Nawawi al-Bantani dalam bidang Tafsir, Marah Labid. (2) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Tasawuf, Sirâj At-Thâlibîn. (3) Karya Kyai Soleh Darat Semarang dalam bidang Tasawuf, Minhâj Al-Atqiya. (4) Karya Kyai Mahfudz Termas dalam bidang Hadits,; Al-Khil’ah Al-Fikriyah dan Manhâj Dzawin Nadhar. (5) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Fiqh; Manâhij Al-Imdâd dan Fiqh Siyasah/ (6) Karya Sayyid Utsman Betawi dalam bidang Fiqh, Al-Qawânîn Asy-Syar’iyyah. Sumber lain menyebutkan bahwa hingga kini, kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indoensia telah berhasil mengumpulkan ribuan halaman dari beberapa kitab karya ulama. Pada tahun 2007 sebanyak 4.000 lembar yang terangkum dalam 11 judul kitab. Sementara di tahun 2008, sebanyak 3.500 lembar yang terangkum dalam 10 judul kitab. Antara lain karya Syekh Yasin Al-Padangi, Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz At Tirmasi. Masih banyak lagi karya, naskah atau manuskrip yang belum ditahqiq. Siapa berikutnya yang mau ambil bagian?
Sunday, April 26, 2009
Wednesday, April 22, 2009
Dari Tema Kemiskinan Sampai Tafsir Rasional
JAKARTA – 21 April 2009 Lembaga Pengkajian dan Penelitian Ilmiah (LPPI) menyelenggarakan seminar sehari, dalam rangka acara diskusi dosen IIQ Jakarta. Menurut kordinator LPPI, Dr. Romlah Widayati, diskusi yang diselenggarakan setiap bulan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kegiatan kajian, dan diskusi ilmiah di kalangan dosen.
Diskusi yang dihadiri puluhan dosen IIQ dan beberapa mahasiswa kali ini, menghadirkan dua orang pemakalah, DR. Anshori, MA dan Ali Mursyid, M.Ag. Hadir pula beberapa dosen-dosen senior dan para pejuang IIQ, seperti Dr. Muahaemin dan Ibu Nadjiemah Hosen, putri Ibrahim Hosen. Adapun yang bertindak sebagai moderator Ibu Anis, MA dari LPPI IIQ.
Mula-mula Ali Mursyid mempresentasikan makalah tentang Al-Qur’an dan Kemiskinan Umat. Dalam hal ini, ia menjelaskan terlebih dahulu data-data tentang kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam. ”Makalah saya ini mencoba mencari jawab soal kemiskinan umat dari al-Qur’an itu sendiri”, kata Ali memulai presentasinya.
Lebih jauh Ali menyatakan bahwa meski tidak ada definisi eksplisit tentang apa yang disebut miskin di dalam al-Qur’an, tetapi yang jelas Al-Qur’an sangat mengajurkan adanya pemeberdayaan orang miskin, dan mengutuk sikap acuh tak acuh serta menelantarkan orang-orang miskin dan menederita. Pengentasan kemiskinan adalah mutlak adanya. Ali menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sendiri, menurut al-Qur’an bisa dilaksanakan dengan beberapa lengakah: Pertama meningkatkan etos kerja dan memahami secara benar arti kata zuhud, sabar, tawakal dan syukur. Kedua, meningkatkan kebiasaan saling membantu di dalam masyarakat, bisa dengan menggalakan shadaqah dan memenej zakat denganbaik. Ketiga, mendorong pemerintah untuk menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.
Sementara itu Dr. Anshori, MA, mejenlaskan isi makalahnya yang membahas secara kritis Metode Penafsiran Muhammad Abduh. Dia menjelaskan bahwa pendekatan penafsiran Abduh adalah kecenderungannya pada rasionalitas. Karena itu dalam beberapa tafsirnya terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal, lalu coba dirasionalitas kan. Bagi Abduh, tafsiran burung Ababil adalah kuman adanya. Karena sesuatu yang bisa merusak badan seseorang yang masuk akal adalah kuman, kata Anshori. Karena kecenderungan rasionalitasnya inilah maka kemudian Abduh dikenal sebagai pembaharu pada zamannya.
Setelah presentasi dua pemakalah tersebut. Selanjutnya di buka sessi diskusi. Dalam sessi ini ada pertanyaan, kritik, sanggahan dan usulan dilontarkan oleh para peserta. Ibu Nadjiemah Hosen menanyakan soal posisi penulis makalah ketika menyusun makalahnya. Dia juga mengusulkan sebaiknya hasil-hasil diskusi bukan hanya sebatas untuk diskusi saja, tetapi bisa juga untuk bahan rekomendasi ke pemerintah.
Sementara itu Dr. Muhamemin selain melengkapi dan menyempurnakan keterangan pemakalah Ali Mursyid, belaiu juga mengkritik pola penafsiran Muhammad Abduh dengan menyatakan bahwa pola penafsiran Abduh adalah bi al-ra’yi al-madzmumah (pendekatan rasionalitas yang kurang baik). Dr. Romlah juga sejalan dengan Dr. Muahemin, dengan menyatakan Abduh ini menfasirkan ”tubuh pasukan berhala yang hancur karena lemparan burung ababil dengan menyatakan bahwa itu adalah cacar”, ini penafsiran yang aneh, karena tidak ada penafsir lain yang menyatakan begitu. Demikian kritik Ibu Romlah. Beberapa peserta lain juga bersuara, dan diskusi pun terasa gayeng, hangat dan menarik. Selamat berdiskusi dosen IIQ. (AM)
Diskusi yang dihadiri puluhan dosen IIQ dan beberapa mahasiswa kali ini, menghadirkan dua orang pemakalah, DR. Anshori, MA dan Ali Mursyid, M.Ag. Hadir pula beberapa dosen-dosen senior dan para pejuang IIQ, seperti Dr. Muahaemin dan Ibu Nadjiemah Hosen, putri Ibrahim Hosen. Adapun yang bertindak sebagai moderator Ibu Anis, MA dari LPPI IIQ.
Mula-mula Ali Mursyid mempresentasikan makalah tentang Al-Qur’an dan Kemiskinan Umat. Dalam hal ini, ia menjelaskan terlebih dahulu data-data tentang kemiskinan yang melanda sebagian besar umat Islam. ”Makalah saya ini mencoba mencari jawab soal kemiskinan umat dari al-Qur’an itu sendiri”, kata Ali memulai presentasinya.
Lebih jauh Ali menyatakan bahwa meski tidak ada definisi eksplisit tentang apa yang disebut miskin di dalam al-Qur’an, tetapi yang jelas Al-Qur’an sangat mengajurkan adanya pemeberdayaan orang miskin, dan mengutuk sikap acuh tak acuh serta menelantarkan orang-orang miskin dan menederita. Pengentasan kemiskinan adalah mutlak adanya. Ali menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan sendiri, menurut al-Qur’an bisa dilaksanakan dengan beberapa lengakah: Pertama meningkatkan etos kerja dan memahami secara benar arti kata zuhud, sabar, tawakal dan syukur. Kedua, meningkatkan kebiasaan saling membantu di dalam masyarakat, bisa dengan menggalakan shadaqah dan memenej zakat denganbaik. Ketiga, mendorong pemerintah untuk menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat.
Sementara itu Dr. Anshori, MA, mejenlaskan isi makalahnya yang membahas secara kritis Metode Penafsiran Muhammad Abduh. Dia menjelaskan bahwa pendekatan penafsiran Abduh adalah kecenderungannya pada rasionalitas. Karena itu dalam beberapa tafsirnya terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal, lalu coba dirasionalitas kan. Bagi Abduh, tafsiran burung Ababil adalah kuman adanya. Karena sesuatu yang bisa merusak badan seseorang yang masuk akal adalah kuman, kata Anshori. Karena kecenderungan rasionalitasnya inilah maka kemudian Abduh dikenal sebagai pembaharu pada zamannya.
Setelah presentasi dua pemakalah tersebut. Selanjutnya di buka sessi diskusi. Dalam sessi ini ada pertanyaan, kritik, sanggahan dan usulan dilontarkan oleh para peserta. Ibu Nadjiemah Hosen menanyakan soal posisi penulis makalah ketika menyusun makalahnya. Dia juga mengusulkan sebaiknya hasil-hasil diskusi bukan hanya sebatas untuk diskusi saja, tetapi bisa juga untuk bahan rekomendasi ke pemerintah.
Sementara itu Dr. Muhamemin selain melengkapi dan menyempurnakan keterangan pemakalah Ali Mursyid, belaiu juga mengkritik pola penafsiran Muhammad Abduh dengan menyatakan bahwa pola penafsiran Abduh adalah bi al-ra’yi al-madzmumah (pendekatan rasionalitas yang kurang baik). Dr. Romlah juga sejalan dengan Dr. Muahemin, dengan menyatakan Abduh ini menfasirkan ”tubuh pasukan berhala yang hancur karena lemparan burung ababil dengan menyatakan bahwa itu adalah cacar”, ini penafsiran yang aneh, karena tidak ada penafsir lain yang menyatakan begitu. Demikian kritik Ibu Romlah. Beberapa peserta lain juga bersuara, dan diskusi pun terasa gayeng, hangat dan menarik. Selamat berdiskusi dosen IIQ. (AM)
Subscribe to:
Posts (Atom)