“Agar tidak menjadi radikal, pendidikan Islam di Indonesia harus belajar dari pesantren”. Ini secara implisit dinyatakan oleh DR. H. Affandi Mochtar, MA, dalam acara penutupan workshop perpustakaan yang diselengarakan Dikti Depag RI, Minggu 16/05/2010 di Hotel Syahid Yogyakarta.
Selain Affandi Mochtar, pejabat Depag RI yang juga sekjen tanfidzh PBNU, narasumber lain yang hadir pada acara ini adalah Prof. DR. KH. Machasin, MA, pejabat Depag RI yang juga rais am PBNU. Hadir dalam acara ini, utusan dari berbagai perpustakaan PTAI dari seluruh pelosok negeri, baik negeri maupun swasta.
Pada kesempatan ini Affandi Mochtar menjelaskan panjang lembar mengenai peta pendidikan Islam Indonesia di era kontemporer. Mula-mula, Affandi menuturkan bahwa, pendidikan Islam di Indonesia sekarang ini, memang tidak seperti masa lalu. Jika pada masa lalu pendidikan Islam masih out of the ring, di luar sistem, maka sekarang pendidikan Islam sudah masuk dalam sistem, sudah termasuk dalam program pembangunan negeri ini. Dalam hal ini, pendidikan Islam bisa dipetakan menjadi Tiga Ranah besar.”
Pertama, pendidikan Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum. Ini sesungguhnya bukan wilayah pendidikan agama yang berada di bawah naungan atau kementrian agama. Pada ranah ini ada beberapa persoalan. Di antaranya ada yang menengarai bahwa pendidikan agama yang diselenggarakan oleh sekolah umum dan perguruan tinggi umum memiliki sumbangan bagi munculnya radikalisme agama dan kekerasan atas nama agama. Saya tidak tahu bagaimana tingkat kebenaran anggapan tersebut. Tetapi memang anggapan itu ada. Karena soal itu dan soal-soal lainnya maka pendidikan Islam di umum juga menjadi wilayah tanggungjawab kementrian agama. Dan melalui perpustakaannya, kita bisa membenahinya lewat pintu strategis ini.
Kedua, pendidikan Islam di madrasah. Ketiga, pendidikan Islam melalui Sekolah Diniyah dan Pesantren. Dari ketiga ranah tadi, nampaknya ada kontestasi antara perguruan tinggi agama Islam dengan pendidikan pesantren. Misalnya saja, pada kasus bahtsul masail, masyarakat masih percaya dalam hal ini, pada lulusan pesantren-pesantren tradisional, dari pada lulusan perguruan tinggi Islam, apalagi umum. Dalam hal ini lulusan perguruan tinggi Islam masih dipertanyakan kapasitasnya.
Lebih jauh Affandi menyatakan bahwa, karena keadaan di ataslah, kemudian kementrian agama RI menyelenggarakan Religius Studies dalam program pasca dan doctor di beberapa PTAIN (UIN) yang ada. Program ini kini mulai terlihat kemajuannya. Indikasinya adalah mulai banyaknya lulusan PTAI jadi ulama, jadi pengurus di PBNU. Misalnya, Prof. Dr. Machasin, jadi rais am di PBNU, dan DR. Malik Madani jadi ulama juga, jadi katib am di PBNU.
Selain itu juga, karena itulah juga Kementrian Agama menyelenggarakan pembenahan perpsutakaan di PTAI-PTAI, baik negeri maupun swasta. Pembenahan perpsutakaan yang dimaksud adalah bukan hanya berarti memajukan perpustakaan tetapi juga berarti membangun sesuatu yang lebih besar dari pada itu.
Pembenahan perpustakaan yang dilakukan melingkupi beberapa hal penting: (1) Penguatan Kelembagaan dan Kapasitas Perpustakaan. (2) Pembenahan konsep perpustakaan yang ada di madrasah-madrasah. (3) Pengembangan di perpustakaan di perguruan-perguruan tinggi. Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah regulasi, legalisasi dan SDM serta kapasitas perpustakaan itu sendiri. Di samping perpustakaan ini harus merawat manuskrip, ia juga lain harus melakukan digitalisasi perpustakaan. Ini memerlukan keseriusan dan enegri yang luar biasa.
Di luar itu semua, tingkat excelency perpustakaan bukan hanya soal saranannya yang lengkap tetapi juga tingkat kunjungan penggunanya yang lebih penting. “Untuk apa perpustakaannya bagus dan lengkap tetapi sepi pengunjung. Ke depan, nampaknya kita harus memiliki desain sendiri yang unik mengenai perpustakaan perguruan tinggi Islam, sisi uniknya di mana, ini harus jelas ke depanya”, kata Affandi dengan tegas.
Sementara itu Machasin banyak melontarkan berbagai tantangan dan kendala yang menghadang perpustakaan untuk bisa maju. Dari sisi internal, menurutnya kendaanya terutama kareana rendahnya budaya baca dan budaya berkunjung ke perpustakaan. Dari rendahnya budaya baca ini menyebabkan rendahnya perhatian ke perpustakaan, kata Machasin. Sedangkan masalah di luar perpustakaan, biasanya adalah soal gedung, SDM, dana dan manajemennya. “Nah ini semua insya Allah akan kita benahi tahap demi tahap, tuturnya. (Ali Mursyid)
Tuesday, May 18, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)