Thursday, July 12, 2007

No Point To Return

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika serangga-serangga itu terperangkap nasibnya sendiri
Ketika hasrat hanya bisa disalurkan dengan masturbasi

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika tanah Cirebon mulai menghitam
Ketika lawang gada penuh duit recehan

Aku tak kan memilih jalan pulang
Ketika bahkan tuhan menakdirkan demikian

Pahit getir tak mengapa
Susah payah sudah biasa

Jangan paksa aku pulang
hanya untuk menyatakan
sebungkus nasi lebih berharga
dari pada sederet buku di pustaka

Cipt. Ali Mursyid. di ruang rapat Fahmina yang pengap

Tuesday, July 10, 2007

Poligami Lengkapi Derita TKW

Ali Mursyid

“Waktu kita ning Arab, anak-anak karo lakine kita ning umah. Yah adate ga wong lanang laka kitane, yah wajar bae baka sekali-kali luru wadon. Malah srog-srog bae tek kongkon. Asal pas kitane balik, karo kita”, kata Rf, mantan TKW asal Marga Mulya, Bongas, Indramayu. Tentu saja dalam kondisi normal, tidak ada istri yang rela bila suaminya pergi ke tempat ‘jajan’. Karena kondisi ekonomi yang mendesak, Rf rela menahan sakit dan derita meninggalkan anak dan suami, meski dengan kekhawatiran suaminya pergi ke PSK (Pekerja Seks Komersil). Ini semua ia lakukan demi perbaikan ekonomi keluarganya, karena itu ia tetap berharap, bahwa sepulangnya ke tanah air segalanya menjadi lebih baik.

Tetapi siapa dapat memastikan segalanya berjalan baik-baik saja. Siapa dapat memastikan hati yang sepih, kasih yang terbagi, dapat kembali seperti semula. Tidak ada jaminan sama sekali. Mungkin Rf masih beruntung karena suaminya masih kembali ke pangkuan sewaktu ia pulang. Tetapi tidak sedikit TKW yang kecewa berat, ketika pulang ke kampung halaman, suaminya sudah pindah ke pelukan orang. Bagaimana tidak lara ati, kucuran keringatnya, kesepiannya, derita yang ditahannya selama dua tahun demi membantu laki dan anak-anak terkasih, dibalas dengan semena-mena oleh laki pujaane ati.

“Maling-malingane lanang, seenake dewek bae. Kita kirim duit tiap bulan, bli ditabung malah dianggo kawin maning. Kita balik, deweke njaluk maaf terpaksa kudu wayuan. Karena lara ati kita mangkat dadi TKW maning. Rabi kelorone ga mangkat dadi TKW. Eh tetep bae, wong lanang luru rabi anyar maning” Keluh Saeni, bukan nama aslinya, TKW asal Cirebon yang dipoligami suaminya.

Rf dan Sn adalah sekedar contoh perempuan-perempuan pahlawan keluarga dan pahlawan devisa. Yang jasanya dibalas air tuba, karena suaminya selingkuh atau kawin lagi. Kenapa semua ini terjadi? Mengapa ini terus berlangsung? Siapa yang salah? Apakah sudah demikian adanya?

Pemerintah Abai, Perempuan Tergadai

Rakyat, khususnya masyarakat lapisan bawah, sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha-khususnya dalam sekala kecil dan menengah- juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Tentu untuk tidak menyatakannya tidak berdaya sama sekali. Dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Ini disampaikan oleh Menteri Nakertrans Erman Suparno beberapa waktu lalu,” Angka pengangguran 10,9 juta tahun ini tidak dapat diturunkan. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran sebesar 5,1 persen hingga tahun 2009 tak akan terpenuhi, karena lapangan kerjanya terbatas, bahkan tidak ada. Belum lagi tambahan tenaga kerja terdidik hingga 1,5-2 juta.” Angka pengangguran yang tinggi tersebut mencapai 14 % dari angka penggangguran dunia yang mencapai 74 juta jiwa.

Itu semua menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah gagal menjalankan fungsinya dalam menyediakan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Sehingga rakyat negeri ini berbondong-bondong menyerbu sumber-sumber ekonomi di luar negeri. Rakyat tahu betul kondisi perekonomian negeri ini. Mereka terpaksa kerja ke luar negeri agar tidak terlalu membebani negara. Sejatinya, mereka adalah pahlawan negara.

Dengan banyaknya rakyat yang menjadi TKI, pemerintah mendapatkan untung. Tetapi TKI sendiri banyak yang buntung. Menjadi TKI rentan terancam bahaya, mulai rentan ditipu saat perekrutan, diperlakukan tidak manusiawi di penampungan, ketidakjelasan pada saat penempatan di tempat kerja, sampai pun sudah pulang di tanah air. Sepulangnya TKI di tanah air, selain mereka masih rentan menjadi korban pungli, juga terkadang mereka juga rentan jadi korban perilaku tidak manusiawi dari keluarga, kerabat dan bahkan orang-orang tercintanya. Inilah yang dialami Saeni, TKW yang dipoligami suaminya.

Sebagai penerima hasil devisa yang dikirim TKI, pemerintah mestinya membikin sistem save migration (jadi TKI aman), yang bukan hanya melindungi TKI sewaktu di luar negeri tetapi juga mulai memperhatikan nasib TKI dan keluarganya sepulangnya di tanah air.

Islam Tidak Menganjurkan Poligami

Islam, sekilas memberi peluang lebar bagi umatnya yang laki-laki dalam melakukan poligami, bahkan sebagian menyatakan bahwa ‘poligami itu sunnah’, toh itu juga yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Inilah mungkin menjadi salah satu sebab kenapa perempuan, lebih-lebih TKW rentan dipoligami. Tetapi benarkah poligami sunnah?

Dalil bahwa poligami sunnah biasanya bersandar pada QS An-Nisa, 4:2-3. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami ini sejatinya tidak sedang menganjurkan poligami, apalagi menghargainya. Tetapi ayat ini sekedar meletakkan poligami untuk tujuan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Ayat ini juga memberi syarat yang ketat dalam berpoligami, yaitu mesti adil. Berlaku adil ini adalah keharusan, mesti sulit untuk dilakukan (QS, An-Nisa: 129)

Dalam fiqh, sunnah berarti tindakan yang baik dan mendapat pahala bila dilakukan, karena ia mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, poligami yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas cara berfikir yang serampangan. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayat, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, Nabi SAW berkeluarga dengan bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari hitungan ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Bahkan Nabi SAW marah pada praktek poligami. Beliau marah besar ketika mendengar putrinya, Fathimah akan dipoligami Ali bin Abi Thalib. Ketika mendengar rencana itu, Nabi langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sebagaimana Nabi yang tidak rela putrinya dimadu, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunnah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Jadi sangat tidak beralasan bila ada suami, khususnya suami TKW melakukan poligami dengan dalih agama, baik karena alasan sunnah atau pun yang lainnya. Sudahlah, jangan sakiti permpuan, khususnya TKW dengan berpoligami. Wallahu a’lam bi al-shawab

Thursday, July 5, 2007

Al-Qur'an Berpihak Pada Kaum Lemah

D

alam kenyataan hidup sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa ada orang kuat dan ada orang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada yang kuat, besar, kaya karena hasil usahanya sendiri, tetapi juga ada yang kuat disebabkan faktor-faktor lain di luar diri seseorang. Ada yang lemah, miskin, bodoh karena memang malas, tetapi juga banyak yang menjadi lemah, miskin dan bodoh karena situasi dan kondisinya yang menjadikannya demikian. Bahkan ada pula yang meyakini kalau kuat-lemah, kaya-miskin, pintar-bodoh itu takdir alias dari sononya.

Adanya keniscayaan fenomena lemah-kuat, kaya-miskin dan pintar-bodoh saja tidak masalah selagi tidak ada kedzaliman, penganiayaan dan penindasan yang terjadi sebagai akibatnya. Dalam kenyataanya kita sering menyaksikan orang atau pihak lemah dianiaya oleh pihak kuat. Akibatnya yang lemah-lemah makin lemah, yang kuat makin kuat. Sebagai umat Islam tentu kita akan kembalikan semuanya ke ajaran Islam. Lalu bagaimana Al-Qur’an melihat ketertindasan? Adakah ia membela kaum tertindas (mustadh’afin)?

Dalam Al-Qur’an, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan mustadh’afin (kaum lemah dan dilemahkan)? Bagaimana keberpihakan al-Qur’an kepada nasib mereka? Secara tekstual di salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa mustadh’afin dikaitkan dengan mereka yang tidak bisa berperang dikarenakan sakit atau umurnya terlalu tua.

Beberapa kalangan mufassir (para ahli tafsir) telah mencoba menafsirkan kata-kata mustadh’afîn ini. Jika kita menggali dari peristilahan yang digunakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang dikatakan mustadh’afîn atau pihak lemah atau yang dilemahkan, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan, dan juga dalam konteks fisik. Setidak-tidaknya tiga hal itulah yang bisa kita dipahami dari kata mustadh’afin yang ada dalam Al-Qur’an.

Berkenaan dengan mustadh’afin dalam konteks kelemahan ekonomi, Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah berikut: fuqarâ (orang-orang fakir), masâkin (orang-orang miskin), sâilîn, al-mahrûm (orang yang tidak mau meminta-minta walaupun dia papa, karena hendak menjaga kehormatan dan harga dirinya). Untuk yang terkahir ini, ada ayat Al-Qur’an yang berbunyi wa fi amwâlikum haqqun li sâilîn wa al- mahrûm.Artinya: Dan di dalam harta-harta kalian, terdapat hak bagi orang yang memintanya dan juga bagi yang tidak meminta karena menjaga kehormatannya.

Terkait dengan makna tidak memiliki kehormatan, Allah SWT menyebutnya dengan beberapa istilah. Seperti: “Wamâ malakat aymânukum. Dalam ayat yang lain Allah SWT menyebutnya dengan al-râqib. Allah SWT juga menyebutnya dengan raqabah, al-‘abd. Banyak sekali istilah-istilah yang digunakan. Tentu ini akan dipahami lebih baik jika kita mau meneliti lebih jauh. Istilah-istilah tersebut jika kita terjemahkan akan mempunyai makna yang sama namun jika dijabarkan akan memiliki indikasi dan spesifikasi yang berbeda-beda.

Begitu pula ketika kita ingin memahami suatu karya ulama atau kitab tertentu, kita harus tahu persis dengan dzauq al-lughah (perasaan bahasa), menguasai mustalahan (istilah-istilah) yang digunakan dalam kitab bersangkutan. Kendati istilah yang dipakai sama namun jika dipakai dalam ilmu fiqh akan berbeda dengan istilah yang dipakai dalam ilmu tauhid, begitu pula kalau digunakan dalam ilmu filsafat. Jika kita tidak mampu mendalami, hanya mengandalkan dari terjemahan, maka kita akan salah memahami karena kita salah dalam memahami syiâq al-kalâm (konteks pembicaraan) yang ada pada isi suatu kitab.

Oleh karena itu dalam memahami khazanah keislaman yang banyak berbahasa Arab, kita harus betul-betul memahami konteks bahasa Arab-nya. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan bantuan kamus yang sederhana, tetapi perlu dari rujukan kamus memadai dan mendalam. Maka wajar kalau ada ahli tafsir menafsirkan ayat menggunakan syair-syair masa dahulu, karena pada masa pra-Islam sendiri istilah-istilah itu banyak digunakan. Sampai kemudian Al-Qur’an memakainya. Untuk itulah kata-kata yang terkait dengan syair-syair itu mesti juga ditinjau maknannya dari syair-syair Arab.

Timbul pertanyaan apakah makna dan maksud ayat yang kita baca sekarang sama seperti apa yang dimaksud pada saat itu? Para mufassir mencoba memahami dari teks-teksnya dan didukung dengan penguasaan yang begitu luas baik menyangkut fiqh al- lughah, tarikh al-lughah, dzauq al-lughah, maupun semantiknya. Sehingga kata-kata mustadh’afin, dhu’afâ, dan dha’if, serta lain-lainnya dipahami oleh Hamid Al-Qurri yang mengedepankan secara semantik, menegaskan dalam kaitannya dengan keberpihakan al-al-Qur’an bahwa kata-kata tersebut dimaknai sebagai orang yang mengalami salah satu atau keempat kondisi berikut: Lemah Ekonomi, lemah Fisik, lemah ilmu dan lemah karena tidak memiliki otonomi diri, kebebasan dan kemerdekaan.

Beberapa kisah menyebutkan bagaimana Islam membela Abu Bakar, yang secara ekonomi tergolong sebagai orang kaya. Ini karena, meski Abu Bakar mampu secara ekonomi, tetapi belaiu selalu didzalimi oleh mereka yang tidak seiman. Al-Qur’an pun membelanya. Demikian pula orang-orang kaya di zaman Nabi Musa, karena mereka dijajah oleh Fir’aun, Nabi Musa pun membela mereka. Al-Qur’an secara apik menggambarkan bagaimana Allah SWT memerdekakan mereka.

Adapun kepada pihak yang lemah secara biologis, Allah SWT memberikan berbagai dispensasi (rukhshah atau keringanan) kepada mereka. Contohnya ibadah puasa diperkenankan ditinggalkan dan diganti dengan membayar fidyah.

Selain itu semua, yang wajib dibela dan diberdayakan adalah mereka yang lemah dari sisi ilmu pengetahuan. Meski seseorang memiliki harta, kuat secara fisik, tetapi jika ia bodoh. maka ia bisa digolongkan dalam kelompok dhu’afâ dan atau mustadh’afîn. Allah SWT mewajibkan orang-orang ‘âlim (berilmu) untuk memberikan ilmunya kepada kelompok ini.

Yang penting dicatat, adalah bahwa Al-Qur’an kita untuk memihak, membela dan memberdayakan kaum mustadh’afîn. Dalam melakukan pembelaan, pemihakan dan pemberdayaan mestinya tidak membeda-bedakan perbedaan yang ada, baik agama, etnis dan jenis kelamin Wallahu’alam bi al-shawab

Jadi TKI Kiat Rakyat Hadapi Kemiskinan

N

egara ini ada untuk mensejahterakan rakyat. Ini secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, pasal 34 yang menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dan sebagai negara yang telah menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, maka Indonesia berkewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warganya atau hak-hak rakyatnya. Hak-hak rakyat ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sosial dan politik.

Artinya, bukanlah merupakan kebaikan, jika negara berusaha mensejahterakan rakyatnya. Itu sudah menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya. Maka jika rakyat mengalami kemiskinan, kebodohan dan keteringgalan, maka yang paling bertanggungjwab atas ini dan mestinya melakukan usaha penanggulangannya adalah negara.

Selain itu, pada 8 September 2000, 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia menyepakati “Millenium Development Goals” (MGDs), yaitu target-target pembangunan di era milinium. Diantara isi kesepakatan ini adalah bahwa maksimal pada th. 2015, pembangunan negara harus dapat mencapai hal-hal berikut: Mengentaskan kemiskinan dan kelaparan mutlak, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi ketimpangan gender dan pendidikan paling lambat pada tahun 2005 untuk tingkat dasar dan menengah, dan pada tahun 2015 untuk seluruh tingkatan, dan target-target lainnya.

Kenyataannya, rakyat khususnya masyarakat lapisan bawah sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha-khususnya dalam sekala kecil dan menengah- juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan. Tentu untuk tidak menyatakannya tidak berdaya sama sekali. Dalam menghadapi ini negara malah terlihat pesimis. Ini disampaikan oleh Menteri Nakertrans Erman Suparno beberapa waktu lalu,” Angka pengangguran 10,9 juta tahun ini tidak dapat diturunkan. Target pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran sebesar 5,1 persen hingga tahun 2009 tak akan terpenuhi, karena lapangan kerjanya terbatas, bahkan tidak ada. Belum lagi tambahan tenaga kerja terdidik hingga 1,5-2 juta.” Angka pengangguran yang tinggi tersebut mencapai 14 % dari angka penggangguran dunia yang mencapai 74 juta jiwa.

Di tengah tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI, red. ) adalah salah satu alternatif yang dipilih sebagian angkatan kerja kita. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka. Namun nada pesimis itu tidak terjadi di sebagian rakyat kita. Setelah sektor formal terbatas, menjadi TKI adalah satu upaya. Pesimisme pemerintah adalah bukti kegamangan atas ketidakmampuan menata ekonomi negeri ini. Angka penggangguran yang tinggi seperti yang disebutkan adalah konkretnya, betapa terbatasnya lapangan pekerjaan di negeri ini.

Sebagai solusi yang dipilih sebagian rakyat kita, dalam catatan Depnakertrans, buruh migran Indoesia resminya mencapai 400.000 jiwa, dan yang tak resminya bisa mencapai beberapakali lipatnya, tengah berada di luar negeri. Jalan berliku yang dihadapi buruh migran Indonesia mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan. Baik cerita sukses maupun buram.

Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Mereka tahu bahwa itu seperti berjudi. Bertaruh dengan penuh harapan karena di negeri seberang berharap hidup akan berubah, bisa bayar utang, membantu keluarga, bikin rumah atau jika masih lebih untuk modal usaha. Pasrah, karena sebenarnya tak tahu harus kemana. Mengapa mesti keluar negeri? Seolah negeri ini tak ada lagi tempat berpijak, tak tahu apa yang akan mereka kerjakan dan nasib apa yang akan menimpa.

Dengan alasan itulah kemudian Blakasuta memilih untuk menampilkan wajah buruh migran di Marga Mulya Indramayu. Disamping juga di sana berdiri radio Komunitas Serra FM.

Perlindungan Negara Masih Lemah

Ironinya pemerintah atau negara bukan saja tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya, tetapi negara juga lemah dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Kasus Watem misalnya. Baru-baru ini, sejumlah aparat Kab. Indramayu blingsatan. Perempuan asal Bongas Indramayu itu, berangkat ke Arab Saudi untuk mengubah nasib ternyata pergi hanya untuk mengantar nyawa. Tiga hari setelah tiba di Arab Saudi untuk bekerja, setidaknya menurut dokumen kematianya, ia meninggal. Belum jelas karena bunuh diri, dibunuh atau terbunuh. Hingga tulisan ini dicetak belum ada kabarnya.

”Saya diberitahu oleh salah satu temannya Watem. Bahwa dia telah meninggal,” tutur Ralim, sepupu Watem, “Dengan suaminya, kami mengecek kembali. Berita itu ternyata benar. Beberapa hari kemudian, datanglah surat pemberitahuan majikannya.”

Ketika dikonfirmasikan kepada pihak PJTKI, surat itu malah dianggap surat kaleng. Kemudian disusul dengan surat pemberitahuan majikannya. Barulah pihak PJTKI percaya. Namun upaya pemulangannya awalnya agak berbelit. Untunglah dibantu Pak Toni Gunawan dari Deplu, akhirnya Watem bisa dipulangkan. Watem sendiri meninggal lebih dari tiga bulan sebelum keluarganya tahu. Hal itu terjadi karena identitas Watem diubah oleh sponsornya ( sebutan untuk calo perekrut, red.).

Kasus Watem merupakan bukti betapa lemahnya perlindungan negara terhadap warganya yang bekerja di luar negeri. Soal penempatan misalnya, semuanya diserahkan kepada PJTKI, negara tak mengatur apakah calon majikan itu layak atau tidak. Tentang identitas, betapa mudahnya mengubah identitas di negeri ini. Padahal resikonya besar. Lambatnya pemberitahuan meninggalnya Watem karena identitasnya telah berubah menjadi perempuan asal Sukabumi.

“Kami tidak tahu menahu soal keberangkatan Watem,” jelas Pak Kartama, Kuwu Marga Mulya, ”Para sponsor biasanya tak mau berurusan dengan aparat desa karena semua yang berangkat harus sesuai prosedur. Soal umur misalnya.”

Nampaknya dikalangan sponsor nakal mengubah identitas entah dengan alasan apapun sangat mudah dilakukan. Sepertinya sudah ada jaringan tertentu yang menyediakan layanan pemalsuan identitas ini. Makanya jika mereka menemukan hambatan di desa seperti yang dipimpin oleh Pak Kuwu Kartama ini mereka mencari upaya. Negara mesti melakukan sesuatu langkah agar proses pengubahan identitas ini bisa diminimal sedikit mungkin. misalnya dengan menyediakan sistem satu identitas abadi tingkat nasional.

Perlindungan terhadap TKI yang tidak digaji juga masih lemah. Tentu untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali. Seperti yang dialami oleh Sn (27th) yang berangkat ke Arab Saudi, yang sempat berpindah majikan. Di majikan yang kedua, walaupun mendapat perlakuan baik dan kesehatannya diperiksa rutin tiap bulan, namun gajinya selama 2,7 tahun tidak dibayar. Modusnya seolah gaji sudah di bayar, ketika mau pulang ke tanah air, gaji malah ditahan majikan.

Tindakan pemerintah kepada PJTKI yang menelantarkan calon TKI juga tidak tegas. Seperti yang dialami Wst (30), hampir 7 bulan di penampungan bukannya mendapatkan latihan kerja malah seperti di penjara. Ia pun dipungut biaya oleh sponsor Rp 700.000 tanpa penjelasan peruntukannya. Di tempat kerja, meski majikannya baik, kerjanya terus-menerus, kadang tidak ada waktu istirahat.

Perlindungan TKI yang dianiaya juga dinilai masih lemah. Seperti yang dialami Nrs (28 th) , ia sering dianiaya majikan, terutama ketika majikannya ada masalah. Gajinya juga tidak dibayar. Karena tidak tahan, ia mengadu ke kedutaan, kemudian bisa pulang. Tetapi soal penganiayaan dan gajinya yang tidak dibayar, tidak ada yang menyelesaikan .

Negara Tak Mampu, Rakyat Jadi Korban

Padahal baik Wtm, Sn, Wst dan Nrs adalah segelintir dari ribuan TKI kita yang terpaksa bekerja di luar negeri. Ketika negara tak mampu menyediakan penghidupan layak, mereka berkorban menghasilkan devisa. Walaupun dijuluki pahlawan devisa, perjuangan mereka tak diberi penghargaan yang layak, seperti perlindungan hukum dan hak-hak mereka.

Kisah di atas jelas menunjukkan bahwa rakyat jadi korban. Padahal negara yang dibiayai oleh pajak, retribusi dan penghasilan lainya dibentuk untuk melindungi warganya. Belum lagi devisa yang dihasilkan oleh keberangkatan ribuan TKI.

Berangkatnya Wtm, Sn, Wst dan Nrs tidak hanya sekedar memperjuangkan kehidupan pribadi dan keluarga, tetapi juga bagian perjuangan meringankan beban negara. Semanis-manisnya bekerja di luar negeri, tetaplah penuh resiko. Menjadi TKI, bagi yang sudah berkeluarga, berarti meninggalkan suami, anak-anak dan orang-orang tercinta. Tidak sedikit keluarga TKI yang berantakan. Seperti, suami kawin lagi dan anak–anak yang tidak terurus.

Dikatakan oleh Wst, “ Saya tak mau kembali jadi TKI. Biarlah hidup seadanya. Anak-anak sangat membutuhkan saya. Saya gak tega ninggalin mereka.” Wst merasa sangat bersalah ketika jadi TKI. Tiga tahun dia meninggalkan keluarga, walau diurus suami dan orangtuanya, kondisi anak-anaknya menyedihkan dan tidak terurus ketika Wst kembali ke kampungnya.

Mereka Yang Kreatif Sepulang Jadi TKI

Ketika pulang jadi TKI, bagaimana menyiasati kehidupan selanjutnya, ini perlu keseriusan. Kreatif sepulang jadi TKI memang tidak mudah, karena tidak semua orang bisa menggunakan uang yang ada untuk keperluan usaha. Memang paling mudah dengan membeli sawah. Karena alasan utama menjadi TKI adalah ekonomi, membuat hidup lebih baik, untuk bayar utang dan sisanya bisa dijadikan modal. Tapi tidak semua TKI bisa melakukannya. Terlepas dari banyaknya nasib TKI yang kurang beruntung, ada baiknya kita menengok mereka yang kreatif dan berhasil melanjutkan hidup setelah menjadi TKI. Mereka ini pribadi-pribadi tegar, mengingat desa Marga Mulya merupakan daerah pertanian tradisional dan terletak jauh dari jalan utama Kabupaten Indramayu (sekitar 6-7 KM), dimana membuka usaha bukan perkerjaan mudah.

Seperti yang dilakukan oleh Tarkim (39th) mantan TKI Taiwan. Ia bekerja di sebuah pabrik pelek mobil sepanjang tahun 1998-2001, dengan gaji mencapai Rp 4.800.000 per bulan. Meski ketika berangkat dia harus mengeluarkan uang hampir 25 juta rupiah, namun ketika pulang dari Taiwan, dengan tabungannya dia membuka usaha dealer motor, membeli sawah dan rumah. Modal awal usaha dealernya sekitar 75 juta rupiah. Tempatnya strategis, di persimpangan utama desa Marga Mulya, dengan omzet mencapai 3 juta rupiah per bulan.

” Ini kan desa kecil, Mas. Awalnya berat juga memulai usaha ini. Apalagi modalnya cukup besar,” kata Tarkim. ” Segala kerja keras saya selama di Taiwan tak akan saya sia-siakan. Apalagi saya sempat mengalami kecelakaan yang mengenai tangan saya,” lanjutnya, sambil memperlihatkan bekas luka di tangannya, berupa bekas jahitan sepanjang 15 cm.

Rafiah (32 th), ibu dua anak, pernah menjadi TKI di Abu Dhabi selama 2 tahun 4 bulan. Ia bekerja sebagai PRT, dengan gaji sekitar 1,3 juta per bulan. Semua hasil kerjanya ia kirimkan ke kampung dengan jumlah sebesar Rp 36 juta. Sepulangnya ke tanah air, uang kirimannya tersisa di rekening keluarganya sebesar Rp 24 juta. Uang itu ia belanjakan untuk rehab rumah, perabotan, dan investasi dengan membeli sawah, sisanya ditabung. Dari tabungan itu, sebanyak Rp 500 ribu digunakan modal dagang mie ayam untuk membantu pekerjaan suaminya selain bertani. ” Dengan dagang mie ayam saya bisa membantu suami, lumayan ada penghasilan tambahan. Uang tabungan tidak diambil terus. Bisa untuk sekolah anak-anak nanti,” kata Rafiah. Dengan berjualan mie ayam di rumahnya, yang kebetulan di pinggir jalan, dia bisa meraup keuntungan Rp. 40-50 ribu perhari, bahkan kadang lebih.

Ummi Hani (40 th), jadi TKI selama 2 tahun 4 bulan di Arab Saudi. Sepulangnya dari Saudi, dia memiliki tabungan Rp. 37 juta. Uang itu ia gunakan selain untuk bayar hutang ke sponsor sebesar Rp. 2,5 juta, ia gunakan juga untuk memperbaiki rumah sebesar Rp. 16 Juta. Dan untuk usaha produktif ia investasikan Rp. 10 juta untuk mengembangkan warung. ”Dari usaha warungan ini, selain untuk biaya hidup sehari-hari saya juga bisa nabung minimal Rp 300 ribu per bulan, ” ungkap Ummi Hani.

Tarkim, Rafiah dan Ummi Hani adalah contoh pribadi-pribadi kreatif. Sayangnya, jumlah mereka yang kreatif ini tidaklah banyak, apalagi mereka yang mantan TKI. Hasil pengamatan Blakasuta di Marga Mulya, menuunjukkan bahwa kebanyakan mantan TKI masih ingin berkeja di luar negeri kembali. Atau paling tidak mengidolakan kerja di sana. Ini karena dunia usaha di negeri sendiri memang sulit. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hendaknya, tidak hanya memberi tawaran untuk bekerja ke luar negeri, tetapi juga menyiapkan apa yang mereka lakukan setelah pulang. Bukankah pelatihan ketrampilan tertentu, kewirausahaan dan pinjaman modal usaha, sesuatu yang tidak pernah dilakukan pemerintah secara serius? Khususnya setelah mereka tidak lagi menjadi TKI. Lagi-lagi rakyat harus kreatif sendiri ditengah ketidakmampuan negara menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Usaha-Usaha Lainnya

Di tengah kesulitan ekonomi yang ada, menjadi TKI adalah sebuah pilihan hidup. Di luar itu, tentu saja ada usaha-usaha lain yang yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengembangkan perekenomiannya. Di desa Marga Mulya yang perekonomiannya masih berbasis pertanian, dan jauh dari perkotaan, ternyata terdapat benih-benih pengembangan ekonomi dan dunia usaha.

Diantaranya, adalah apa yang dikerjakan Waram (34 tahun), pengusaha Organ Tunggal ”Kawaca Nada”, yang cukup terkenal di Marga Mulya, Bongas. Pada th. 2001, dia mendirikan grup organnya dengan bermodal hobi dan uang sebesar Rp. 25 juta. Dengan ketekeunannya dan ditopang tim yang solid sekarang dia memiliki 10 unit organ. Kini anggota personilnya mencapai 25 orang. Untuk sekali manggung grupnya dibayar 6-7. Dalam hal ini, Waram bukan hanya berhasil untuk dirinya tetapi membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Casban (32th), salah satu diantara anak muda yang kreatif. Di usianya yang relatif muda, ia memiliki empat usaha sekaligus: dealer/showroom motor, warung sembako lengkap, bengkel motor dan rental mobil. Berbagai pekerjaan sebelumnya dia lakoni, dari mulai jualan mainan anak, kuli angkut pasir, sampai tukang ojeg. Dengan prinsip bagaimana memperkuat diri sambil memberdayakan orang lain, pada th 1995 dia mulai membuka warung dengan modal awal Rp 1,8 juta. Dan pada th. 2003 ia membuka showroom motor dengan modal hasil pinjaman sebesar Rp 50 juta. Kini usahanya terus berkembang, omzetnya mencapai Rp. 14 juta dengan penjualan minimal 20 unit sepeda motor perbulan.

Mengenai prinsip usaha, menurutnya: ” Yang penting bagaimana kita memelihara mediator-mediator untuk memasarkan motornya dengan baik, manajemen keuangan yang ketat, dan jeli membaca kemauan pasar. ” Gaya hidup sederhana dan jauh dari konsumerisme adalah salah kunci sukses yang lainnya. Dengan usahanya yang berhasil, dia tak pernah berpikir untuk bekerja ke luar negeri.

Usaha lainnya yang dikembangkan warga Marga Mulya adalah usaha penggilingan padi (hueleran). Sebaaimana yang dilakukan H.Masto (52 tahun). Dengan uang Rp 400 ribu hasil ngenek, pada th 1993 ia membuka toko material. Setelah mulai tokonya berkembang, pada th. 2000 ia membuka pengilingan padi. Sekarang ini omzet bulananya mencapai minimal Rp. 10 juta. Mengenai kunci suksesnya dalam berusaha ia menyatakan bahwa, “Yang penting orang mau bekerja keras, jangan malu, dan jangan andalkan ijazah.” Mengenai bagaimana cara pandangnya terhadap orang lain ia menyatakan bahwa, “Kita harus mau mulai dari bawah. Orang dinilai dari prestasi kerjanya. Soal kedudukan itu mengikuti, kalau prestasi bagus maka akan dingkat sesuai dengan keahlian dan kerja kerasnya,” .

Rental organ, warung sembako, dealer motor dan hueler, adalah usaha-usaha yang dilakukan rakyat untuk keluar dari persoalan ekonominya. Dengan segala kemandirian, rakyat berdiri di atas kaki sendiri. Bebebrapa berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang jatuh bangun. Orang-orang seperti Waram, Casban, dan H.Masto dalam kapasistasnya layak disebut pelopor, membuka penghidupan orang lain, yang jelas tidak membebani negara, bahkan meringankannya. Sebaiknya pemerintah tidak hanya bisa membiarkan rakyat berbondong-bondong keluar negeri dengan tanpa perlindungan, tetapi juga memperkuat perjuangan orang-orang seperti Casban, Waram dan H.Masto untuk berdikiari di atas kemampuan sendiri. Jangan sampai karena pemerintah abai lalu rakyat yang tergadai.

Pemerintah Abai Rakyat Tergadai

D

alam Islam dikenal sebuah kaidah Ushul Fiqh yang menyebutkan “Tasharruf al-Imâm ‘Ala al-Arrâ’iyyah Manûthun bi al-Mashlahah”, yang artinya, kebijakan pemimpin atau pemerintah harus didasarkan atas tujuan atau orientasi untuk mensejahterakan rakyat. Karenanya, pemimpin dalam Islam sejatinya lebih berfungsi sebagai khâdimul ummah (pelayan masyarakat) dari pada sebagai penguasa.

Ini sedikit berbeda dengan realita kepemimpinan negeri ini. Entahlah kenapa pemimpin atau pengelola negeri ini di sebut pemerintah? Apakah sebutan ini dipilih karena memang pengelola negeri ini hanya bisa perintah sana perintah sini. Atau kenapa? Tetapi yang jelas kini semakin jelas bahwa pemerintah tidak berfungsi. Pemerintah gagal menjalankan tugasnya sebagai pengayom, pelayan dan pengelola negeri ini demi kesejahteraan rakyat banyak.

Indikasi kuat dari gagalnya pemerintah dalam menjalankan fungsinya adalah ketidakmampuannya dalam menyediakan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Sehingga rakyat negeri ini berbondong-bondong menyerbu sumber-sumber ekonomi di luar negeri. Rakyat tahu betul kondisi perekonomian negeri ini. Mereka terpaksa kerja ke luar negeri agar tidak terlalu membebani negara. Sejatinya, mereka adalah pahlawan negara, yang dengan kucuran keringatnya mengalirkan devisa milyaran rupiah.

Dengan banyaknya rakyat yang menjadi TKI, pemerintah mendapatkan untung. Tetapi TKI sendiri banyak yang buntung. Kita semua sudah tahu, di media banyak diberitakan bahwa mereka yang bekerja untuk mengubah nasib malah pulang mengenaskan bahkan sampai hilang nyawa. Casingkem dan Watem adalah contoh mudah TKI asal Indramayu yang pulang mengenaskan. Masih banyak lagi nama-nama malang lainnya yang menjadi korban manipulasi, eksploitasi, penipuan, perkosaan, pelecehan seksual, tidak digaji, korban perdagangan orang dan kejahatan lainnya. Belakangan diberitakan bahwa Ceriyati, TKW asal Tegal di negeri Jiran, menjadi korban kekerasan majikannya.

Bagaimana tidak, Ceriyati yang miskin tidak datang dari Ethiopia yang tandus, tetapi dari Indonesia yang subur. Kemalangan nasibnya bukan karena kegagalan alam, tetapi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola negara.

Pun demikian, rakyat tetap tegar dan bertahan dengan berbagai cara. Diantaranya jika terpaksa harus jadi TKI. Mereka bukannya tidak tahu resiko dan bahaya apa saja yang mengancam buruh migran, tetapi karena tidak ada yang bisa diharapkan di tanah air. Resiko yang mereka hadapi sesungguhnya bukan resiko kerja biasa, tetapi karena tidak adanya perlindungan hukum dari pemerintah.

Dalam hal ini kentara sekali bahwa pemerintah memang abai. Padahal saat ini, pemerintah menargetkan pengiriman 5 juta buruh migran hingga 2009, tahun ini ditargetkan sebanyak 1 juta orang, dengan perhitungan satu orang buruh migran akan menghasilkan USD 100 per bulan. Jumlah resmi buruh migran Indonesia saat ini ada 400.000 orang. Akan tetapi, jumlah dalam kenyataan bisa mencapai 4-5 kali lipat angka resmi. Pemerintah mendapatkan keuntungan dengan mengirimkan buruh migran, akan tetapi pemerintah tidak serius dalam memberikan perlindungan keamanan dan hak-hak mereka.