Monday, June 11, 2007

Jeritan Hati Ayah TKW

Saya ini orang kampung. Saya tidak mengerti agama. Dari Pak Kyai di kampung, saya belajar ngaji, sholat, puasa dan wirid. Saya sekeluarga berusaha beribadah pada Gusti Allah dengan cara orang bodoh, tetapi inginnya sih ibadah kita diterima Gusti Allah. Saya juga cinta Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya tidak tahu banyak tentang beliau, tapi saya ingin beliau memberikan syafaatnya kelak di akhirat. Untuk itu saya rajin bershalawat dan mengajarkan anak-anak saya untuk juga rajin baca shalawat.

Kalau nyebut Kanjeng Nabi, saya ingat Makkah dan Madinah. Saya ingin naik haji dan ziarah ke makam beliau. Saya dengar tanah Arab penuh berkah.. Kalau ingat Ka’bah, saya mbrebes milih. Saya ingin nyucup Hadjar Aswad, tapi saya wong bli due. Jika pun semua harta yang saya miliki saya jual, tetep saja tak cukup untuk naik haji.

Saya juga pingin ke Arab, untuk melihat negara Islam. Kata Pak Kyai, hukum yang berlaku di sana hukum Islam, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Saya senang sekali waktu ada orang dari Jakarta janji untuk ngirim anak saya, kerja di Arab, mungkin di Makkah, Madinah atau kota lainnya. Saya jual apa saja untuk biayai dia. Orang Jakarta itu baik bener, ia menutup sisa biaya anak saya sebagai pinjaman. Saya janji padanya akan mengembalikan pinjaman itu kalau dapat kiriman dari Arab

Setelah urusan cukup lama dan melelahkan, setelah Lilis (anakku) ditampung di beberapa bulan, ia jadi berangkat. Kami mengadakan slametan. Pak Kyai baca doa untuk Lilis, semoga ia bisa naik haji dan membawa orang tuanya naik haji juga. Ketika saya antar Lilis di Bandara, saya ngangis bahagiah. Dalam pakaian TKW-nya, saya lihat Lilis sangat cantik.

Saya menengadahkan tangan, “Tuhan, anakku ingin bekerja di Tanah Suci, supaya bisa haji dan menghajikan orang tuamya. Kuatkan tubuh anakku di tanah panas itu, supaya ia bisa mengirim kami uang untuk membayar utang-utang kami”. Saya hanya bisa mengusap kerudungnya, ketika ia didorong petugas untuk segera masuk Bandara.

Setelah tiga bulan, saya terima surat. Lilis mengeluh, majikan perempuannya sangat keras. Ia tidak boleh istirahat, sering dimaki dan disakiti. Saya kirim jawaban, saya beri nasihat. “Apa kata Pak Kyai juga, orang Arab kuh keras-keras. Anggap saja itu ujian”. Tak ada lagi berita sesuadah itu. Tak ada surat apa lagi kiriman uang. Kepada yang berangkat naik haji, saya titip pesan untuk disampaikan padanya, Saya harap Lilis ada diantara Jamaah Haji. Tapi ketika pulang, mereka cerita bahwa tidak ada yang ketemu Lilis.

Saya menghubungi orang Jakarta yang baik itu. Tak seorang pun di kantor yang dapat menjelaskan. Di sana saya menemukan wajah-wajah tidak ramah. Saya dibentak dan dilarang datang ke situ lagi. Setelah lebih dari setahun, saya terkejut dengar kabar bahwa, Lilis bersama kawan-kawannya dipenjara.

Mereka umumnya bernasib sama. Mereka dijebloskan ke penjara karena berusaha mempertahankan kehormatan. Lilis pernah cerita tentang dua orang Madura, suami istri yang dipancung. Keduanya TKI. Lelaki Madura tak tahan dengan perlakuan tuannya pada istrinya. Ia pun membunuh majikannya. Lilis dan kawan-kawannya melawan ketika tubuhnya diraba-raba. Ada yang lari ke dapur dan mengambil pisau; membunuh tuannya dan dirinya. Menurut Lilis, banyak juga temannya yang bunuh diri.

Saya mulanya tidak percaya. Mana mungkin di Tanah Suci ada kejadian seperti itu. Bukankah di Makkah dan Madinah, para haji yang berbuat dosa, sekecil apa pun, dibalas Tuhan waktu itu juga. Sampai bulan yang lalu, dari koran dan TV, dari cerita di kampung, saya dengar ada kawan Lilis yang dipancung. Saya nangis keras, ketika melihat beritanya di TV tetangga. Sejak itu, saya selalu nonton berita di TV.

Saya yakin, Lilis tidak termasuk yang dipancung. Ia tidak membunuh siapa pun. Ia hanya lari untuk mempertahankan kehormatannya. Tapi hati ini tidak pernah tentram. Tengah malam saya sering terbangun. Saya mimpi, lihat leher Lilis ditebas pedang. Saya dengar ia menjerit, “Bapak Tolooong”.

Saya orang kampung, bodoh, tidak ngerti agama. Banyak yang tidak saya ngerti. Hukum Islam itu hukum Tuhan. Tuhan Maha Adil. Tapi, saya rasa hukum yang berlaku di negeri Arab itu tidak adil. Saya takut menyebut Tuhan tidak adil. Gusti, ampuni saya, saya bingung. Saya tidak mendengar berita yang jelas dari mana pun. Saya tidak akan datang ke kantor mana pun di Jakarta. Makin banyak bertanya, saya tambah bingung. Banyak penjelasannya sulit dipahami. “Du Gusti Allah, seandainya Lilis mati, saya ingin melihatnya mati dan dikuburkan di sini. Dulu, saya hanya sempat mengusap kerudungnya saja.

Itulah tulisan Jalaluddin Rahmat dengan judul asli “Bapak, Tolong” dalam buku “Reformasi Sufistik” terbitan Mizan. Saya tulis dan sadur kembali di sini, karena saya nangis waktu membacanya. Ada saudara kandung saya bernasib sama dengan Lilis. Mungkin saja pembaca juga sama dengan saya, atau pembaca adalah Lilis atau Bapaknya Lilis? Banyak diantara kita bernasib demikian malang.

(Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Banati edisi 15 Mei 2006)