Monday, May 14, 2007

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BERBASIS MASYARAKAT

Ali Mursyid

PRAWACANA

Pada akhir dasawarsa 1990-an, salah satu jurnal terkemuka di Amerika, Foreign Affairs, mengatakan bahwa korupsi telah menjadi way of life di Indonesia. Korupsi sudah menjadi cara atau jalan hidup bagi sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. International Transparency, pada tahun 1997, dalam laporannya menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia setelah Rusia dan Kolombia. Audit yang lumayan baru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan bahwa prevalensi kebocoran dari semakin tinggi, meningkat dua belas kali lipat. Pada tahun 1998/1999, tingkat kebocoran hanya 4 persen, akan tetapi pada tahun anggaran 1999/2000 angka itu melonjak menjadi 46 persen. Dari nilai anggaran yang diperiksa BPK sebesar 455,6 trilyun rupiah, tingkat kebocoran mencapai 209 trilyun rupiah.
Selain itu audit BPK juga membuktikan bahwa negara dirugikan senilai 138,44 trilyun rupiah atau sekitar 96 persen dari nilai kredit likuiditas Bank Indonesia (BI) senilai 144,53 trilyun rupiah. Padahal kredit likuiditas ini semula dirancang untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas 48 bank komersial.
Mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo juga pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 1991/1992 jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak senilai 27,7 trilyun rupiah. Pada tahun fiskal 1999/2000 angka itu menjadi 170 trilyun rupiah. Selama dekade 90-an, dari seluruh jumlah pendapatan kena pajak yang tidak dilaporkan senilai 714,5 trilyun, artinya negara dirugikan 130, 86 trilyun rupiah.
Tidak hanya itu, akhir-akhir ini diberitakan di berbagai media bahwa, para angota DPRD di banyak kota kabupaten di Indonesia, banyak yang dimeja hijaukan, karena terlibat penyalahgunaan dana APBD (APBD gate).
Dari berbagai pernyataan, laporan, berita dan fakta di atas, semuanya mengindikasikan adanya persoalan yang amat serius di tingkat nasional dan daerah dalam menghadapi bahaya laten korupsi. Sayangnya, meski dari berbagai temuan dan studi terbukti bahwa prevalensi di Indonesia tergolong paling tinggi, akan tetapi langkah-langkah yang mengarah pada upaya investigasi, advokasi dan pemberdayaan serta pendidikan masyarakat dalam memberantas wabah korupsi masih jarang dilakukan.
Sejumlah studi, laporan, ataupun tulisan mengenai tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai perspektif dan sudut pandang. Namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama, studi-studi yang selama ini dilakukan oleh kalangan akademis ke arah deskripsi dan analisis semata, bukan pada kritik dan keberpihakan terhadap masyarakat yang dirugikan oleh prilaku korupsi. Kedua, data yang diperlukan sering tidak tersedia, karena pihak yang diduga terlibat korupsi selalu berdalih dengan berbagai cara untuk menyembunyikan dan memanipulasi data. Sementara pemerintah cenderung enggan memberi izin penelitian dan advokasi untuk isu-isu korupsi. Ketiga, sebagai konsekwensinya, upaya-upaya investigasi, advokasi dan pendidikan serta pemberdayaan lebih banyak menggunakan pendekatan normatif, jauh dari pemihakan terhadap rakyat dengan berbagai langkah-langkah strategisnya. Keempat, lebih-lebih pada masa Orde Baru, para peneliti dan aktifis beresiko tinggi kehilangan hak sipil, atau bahkan ancaman kekerasan fisik ketika melakukan studi dan advokasi tentang korupsi. Karena dianggap ancaman bagi pihak-pihak tertentu.
Saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi menuju masyarakat demokratis dan beradab, yang membuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi membangun iklim kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih baik dan terbebas dari korupsi. Inilah momen yang tepat untuk mengembangkan kajian, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan budaya KKN. Tulisan ini adalah yang bisa dilakukan penulis dalam upaya pendidikan pemberantasan korupsi di tengah masyarakat. Ini adalah langkah yang mungkin tidak akan berarti dalam pemberantasan korupsi, tetapi paling tidak sebagai wacana yang semoga saja bermanfaat di kemudian hari.

KONSTRUK WACANA KORUPSI

Pada Dataran Budaya
Dalam praktek pelayanan publik sehari-hari, batas antara hadiah atau pemberian yang ikhlas dan suap sangatlah tipis. Ini bisa dilihat manakala warga masyarakat ingin menyelesaikan satu urusan birokrasi dengan instansi pemerintah yang bertugas melayani publik, seakan-akan sudah lumrah bila rasa terimakasih perlu dan celakanya harus disampaikan dalam bentuk uang. Suap atau bentuk terimakasihkah kebesiaan seperti ini? Bukan tidak mungkin, warga masyarakat sengaja memberi uang dengan maksud kelak dikemudian hari bila berurusan dengan birokrasi tidak lagi mengalami kesulitan. Artinya, ia harus ikhlas dan terbiasa melakukan praktek suap. Tetapi celakanya, Sang Birokrat memandangnya sebagai pembrian ikhlas dan tidak tidak terkait dengan jabatannya. Bukankah di sini ada perbedaan presepsi atas pemberian uang itu.
Praktek-praktek seperti ini berlangsung terus dalam hidup keseharian kita dan diterima begitu saja sebagai seseuatu yang tak terbantahkan. Mulai dari praktek percaloan di terminal, pelabuhan atau setasiun kereta api hingga urusan izin usaha, perpanjangan SIM, KTP, atau meluluskan anak masuk sebuah sekolah yang dianggap pavorit, dan lain-lain. Praktek yang bernuansa suap-menyuap tampaknya sudah dianggap wajar dan bahkan ada yang menganggap sebagai keharusan.
Memang, dalam budaya yang memberi peluang bagi tumbuhnya praktek korupsi, wacana korupsi pun dikonstruksi menjadi bukan korupsi, melainkan dianggap sebagai kebaikan hati. Itulah sebabnya ada yang menyebut korupsi sudah “memasyarakat”, bahkan sejad dahulu Bung Hatta telah menyebutnya “membudaya”. Kalau sudah memasyarakat dan membudaya, maka bisa berarti sudah menjadi bagian dari denyut kehidupan. Tiada hari tanpa praktek korupsi dalam segala bentuk dan tingkatannya. Kalau kemudian Indonesia menjadi negara papan atas dalam korupsi--seperti peringkat yang dilaporkan oleh Transparency International--tidaklah terlalu mengherankan. Tetapi bangsa ini tentu saja tidak akan terima bila negerinya dicap berpemerintahan para maling (kleptokrasi).
Bukan hanya itu, perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia juga banyak mengoleksi ungkapan dan kata untuk menyebut nama lain dari praktek korupsi. Mulai dari uang semir, penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan uang negara, komersialisasi jabatan, poltik uang, suap, uang pelicin, uang administrasi, komisi proyek, dana taktis, TST (tahu sama tahu), manipulasi, pungli, dana bina lingkungan, mark up anggaran, amplop dan uang rokok. Belum lagi idiom-idiom yang menunjukkan terjadinya korupsi, misalnya tarif jalan tol, untuk mereka yang ingin mendapatkan layanan cepat dari birokrasi. Uang lelah, untuk pemberian kepada birokrat tingkat bawah yang membantu mengurus adminitrasi pelayanan publik. Hadiah ala kadarnya dan ucapan terima kasih, untuk pejabat publik yang dipandang berjasa membantu suatu urusan yang sebenarnya memang menjadi tanggungjawabnya. Masih banyak lagi perbendaharaan dan idiom dalam bahasa Indonesia--juga sebenarnya bahasa daerah--yang menunjukkan kuat berakarnya korupsi dalam budaya kita.
Kalau kita mencermati tulisan para ahli, maka korupsi bukan hanya beragam dalam jenis dan sebutan sinonimnya, tetapi juga beragam dalam defenisi asalnya. Secara umum, korupsi sering dipandang sebagai segala macam tindakan yang menyalahgunakan wewenang atau sumber poltik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ada pula di antara penulis yang memperluas cakupan pengertian tersebut, mengingat tindakan dan praktek korupsi, berlangsung juga diberbagai sektor kehidupan. Karena itu, korupsi disebutnya sebagai “tidak hanya meliputi transaksi antara sekyor badan publik (pejabat) dan swasta (perusahan atau anggota masyarakat) tetapi juga antara sektor swasta dan sektor pemerintah.” Definisi ini menunjukan betapa korupsi sudah “memasyarakat”. Seperti wabah yang terus menjalar pada semua sektor kehidupan.
Lebih jauh Gunnar Mydral dengan tegas menyatakan bahwa, mereka yang memungkinkan terjadinya korupsi disebut juga koruptor. Dengan begitu korupsi bukan cuma dilakukan pejabat publik atau petinggi swasta, tetapi rakyat kebanyakan juga memungkinkan terjadinya korupsi. Islam, dalam kitab sucinya, mengatakan dengan tegas bahwa, baik yang menyuap (al-râsyi) dan yang disuap (al-murtâsyi), keduanya bersalah, dan karenanya masuk neraka.

Pada Dataran Birokrasi
Birokrasi memang tidak terlepas dari prosedur. Namun manakala prosedur tidak jelas dan banyak meja yang harus dilewati demi tegaknya prosedur, maka prosedur itu justru memberi peluang bagi terjadinya praktek korupsi. Prosedur birokrasi yang mestinya merupakan pengetahuan publik sengaja disamarkan. Akibatnya publik seperti masuk belantara, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan agar bisa mengikuti prosedur yang baku.
Bila pun prosedur diketahui publik, maka biasanya tetap tersedia pilihan “jalur biasa” atau “jalur tol”. Jalur tol berarti publik mesti membayar biaya besar. Namun dengan senang hati publik tidak jarang bersedia membayar melebihi tarif itu, dengan dalih “dari pada diperulit”, “dari pada membuang-buang waktu” atau “dari pada tidak diproses”. Publik atau masyarakat mendapatkan kemudahan urusan birokrasi dari jabatan publik. Dan pejabat publik pun diuntungkan karena mendapat sejumlah uang.
Karena saling menguntungkan maka dianggap tidak ada yang dirugikan. Sementara korupsi dikonstruksi sebagai praktek yang merugikan. Kalau tidak ada yang dirugikan mengapa pula disebut korupsi? Ini adalah logika yang menyebabkan kian mewabahnya korupsi. Memang ketika transaksi terjadi antara dua pihak, warga masyarakat dan pejabat publik, tidak ada yang merasa dirugikan. Tetapi jika ditarik lebih jauh pada konteks yang lebih luas, dampaknya sangat menadasar. Sebut saja misalnya, lahirnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy), karena pelaku usaha pasti memperhitungkan dana yang disiapkan untuk dikorup akan dibebankan juga pada konsumen. Akibatnya, nilai jual produk Indonesia menajdi lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa dari negeri lain. Maka terjadilah inefisiensi yang akan menurunkan daya kompetitif produk Indonesia, menurunkan kemampuan perusahaan memberi gaji yang lebih layak bagi karyawannya, dan yang paling membahayakan juga dapat menghancurkan moral bangsa.
Olle Tronquist, profesor masalah politik dan pembangunan pada Univesitas Oslo dalam tulisannya “The Indonesian Lesson” (1999) ia menyebutkan adanya gejala munculnya “hantu” yang disebutnya sebagai “demokrasi kaum penjahat” (budguy democracy). Di mana demokrasi hanya berlangsung secara formal dan bahkan cenderung seremonial. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, yang menjelma menjadi “negara serakah” (grady state), yang menjadi panggung KKN dan mamsung pikiran rakyat.
Reformasi yang bergulir sejak 1998 di antaranya bertujuan mengubah praktek penyelenggaraan pemerintah ke arah yang lebih baik dan berkualitas (good governance). Namun dalam kenyataanya, hingga saat ini reformasi belum banyak membuahkan hasil. Praktek KKN tampak belum lenyap, bahkan makin menjadi-jadi. Otonomi daerah yang idealnya ditujukan untuk memberdayakan pemerintahan daerah dalam memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik, pada prakteknya justru dipakai sebagai alat untuk melanggengkan struktur pemerintahan yang birokratis itu. Selain itu juga, dengan otonomi daerah, KKN dengan segala modus operandinya yang pada masa Orde Baru terpusat di Ibu Kota, kini menyebar ke daerah-daerah. Otonomi daerah yang semangat awalnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rmasyarakat daerah, pada parktenya lebih banyak menguntungkan para penguasa dan wakil rakyat di daerah. Sementara rakyat banyak tetap hidup dalam kesengsaraan.

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI BAGI MASYARAKAT

Pentingnya Kontrol dan Partisipasi Publik
Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan. Uang mereka dikorupsi, sementara mereka tidak mendapat pelayanan yang layak dan memadai dari pemerintah.
Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.
Partisipasi publik sendiri merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif. Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi. Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi? Ini berarti tidak ada keterbukaan. Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.
Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik. Sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral. Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi. Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, karena masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik. Sikap masa bodoh ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi.

Pendidikan Anti-Korupsi
Upaya mendidik, memberdayakan dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena Warga masyarakay yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi. Karena itu, kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat.
Bagaimanakah pendidikan-antikorupsi bagi masyarakat luas itu bisa dilakukan? Dengan langkah-langkah apa saja dan dengan menggunakan sarana apa saja?

a. Kampanye Publik
Salah satu cara untuk melakukan pendidikan anti-korupsi kepada masyarakat adalah kampanye publik secara terencana dan sistematik. Kegiatan kampanye [ubl;ik yang terprogram baik dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesdaran mengenai kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap masyarakat dan mengenai perlunya setiap warga melakukan tindakan yang tepat bila mereka dihadapkan pada praktek korupsi.
Defenisi kampanye sendiri bermacam-macam, tergantung pada tujuan umum atau spesifik yang diharapkan, durasi yang dibutuhkan, efek yang diharapkan, unit analisis dan lokus manfaat dari suatu kampanye, serta media komunikasi yang digunakan. Paisley (1981) mencatat bahwa definisi kampanye menekankan baik pada (1) tujuan, maupun (2) proses kampanye.
Menurut Atkin (1981), kampanye informatif biasanya melibatkan seperangkat pesan bersifat promosi yang menarik minat publik dan disebarkan melalui media-media massa. Karenanya kampanye publik mesti menggunakan pesan-pesan yang dirancang sedemikian rupa melalui berbagai saluran komunikasi yang mudah diakses dan cocok dengan target audiens. Pesan kampanye juga harus mengkomunikasikan informasi spesifik, pemahaman, dan perilaku yang bisa diakses dan diterma secara budaya.
Karena itu sebelum menggelar kampanye anti-korupsi, penting juga memantau isu dan debat kebijakan sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Memahami lingkungan politik dan budaya yang memberikan setting dalam agenda publik juga penting untuk memberikan penekanan pada isu yang ditonjolkan dalam agenda kampanye. Para perancang kampanye harus menyadari bahwa kegiatan kampanye yang dilakukan bukan semata-mata untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang korupsi dan bahayanya, melainkan juga mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Bahkan kampanye juga harus diarahkan untuk tujuan-tujuan yang lebih dari sekedar perubahan kognitif, tetapi juga perubahan sikap dan perilaku terhadap korupsi.
Jika kampanye publik anti-korupsi dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka akan diperoleh beberapa manfaat, antara lain:
1. Tergalangnya opini publik mengenai perlunya pemberantasan korupsi secara sistematik dan integratif.
2. Tergalang pula tuntunan dan tekanan dari masyarakat mengenai perlunya upaya pemberantasankorupsi dalam birokrasi.
3. Menguatnya partisipasi masyarakat pengguna layanan publik dalam memberantas korupsi.
Dan karena kegiatan kampanye publik anti-korupsi ini bersifat informatif, persuasif dan juga edukatif, tentu saja pertimbangan-pertimbangan dalam menetukan media kampanye dan khalayak sasaran yang dituju merupakan sesuatu sangat penting. Karena itulah kegiatan kampanye anti-korupsi sebisa mungkin memanfaatkan segala bentuk media komunikasi yang bisa dengan mudah diakses warga masyarakat. Tidak hanya media massa dalam pengertian konvensiona, seperti koran, majalah, radio atau televisi. Tetapi juga media yang lain, seperti sepanduk, stiker, selebaran atau brosur dan leaflet juga bisa efektif dalam kegiatan kampanye publik.

b. Survei Opini Publik
Untuk mendukung kampanye publik dalam rangka pendidikan publik anti-korupsi juga sebaiknya dilakukan survei opini publik. Survei opini publik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui opini warga masyarakat tentang sikap, pandangan atau pemahaman mereka terkait isu-isu yang sedang berkembang. Survei opini publik juga menjadi wahana yang memberi peluang bagi warga masyarakat untuk menumbuhkan bahwa pendapat mereka dihargai dan dipertambangkan dengan serius oleh orang lain.
Polling atau jejak pendapat adalah salah satu metode untuk mengetahui pendapat umum. Polling sering didefinisikan sebagai suatu penelitian atau survei dengan cara menanyakan langsung (wawancara), atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung (melalui angket) kepada warga masyarakat mengenai pendapat mereka tentang suatu masalah atau isu yang sedang berkembang.
Penyebaran angket (kuesioner) kepada warga masyarakat yang dijadikan sasaran kampanye adalah cara yang lebih untuk mengetahui opini publi, yang merupakan ekspresi sikap dan pandangan masyarakat terhadap isu yang diperbincangkan. Poin-poin pertanyaan dalam angket hendaklah dirancang sedemikian rupa dengan tetap berpedoman pada tujuan kampanye. Tetapi harus dicatat bahwa poin-poin pertanyaan dalam angket sebaiknya dirancang secara lebih spesifik untuk tujuan-tujuan khusus, disesuaikan dengan tema kampanye. Misalnya, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas kampanye mempengaruhi pendengar radio, bagaimana pandangan pembaca surat kabar lokal tertentu terhadap kampanye anti-korupsi melalui media massa, dan lain-lain.

c. Pengorganisasian Massa
Peter L. Berger (1982) mengatakan bahwa, warga masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan publik, harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Bukan saja dalam hal mengambil keputusan khusus, melainkan juga dalam hal merumuskan definisi-definisi situai yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Untuk itu setelah merancang kampanye dan melakukan survei opini publik, langkah berikutnya dalam upaya pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat adalah, melakukan pengorganisasian massa. Ini bertujuan untuk menciptakan tekanan publik terhadap tindak korupsi dengan kekuatan yang ada pada publik itu sendiri.
Langkah awal dalam pengorganisasian massa adalah dengan melakukan studi kebutuhan pengorganisasian massa (publik), khususnya mereka yang menjadi pelanggan layanan publik, dan lebih khusus lagi pelanggan layanan publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Adapun langkah-langkah studi tersebut, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi metode (strategi) pengorganisasian layanan publik berbasis komunitas.
2. Merumuskan desain dan model pengorganisasian pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
3. Merumuskan kerangka kerja pengorganisasian, pelanggan layanan publik berbasis komunitas.
Adapun langkah-langkah tekhnis untuk melakukan pengorganisasian pelanggan layanan publik adalah sebagai berikut:
1. Membentuk dan menciptakan kontak dengan dan antara pelanggan layanan publik.
2. Membentuk jaringan kerja sama antara pelanggan layanan publik dengan masyarakat secara lebih luas.
3. Mengembangkan kepemimpinan masyarakat.
4. Bekerja dengan organisasi masyarakat yang ada.


POSTWACANA
Mendidik Masyarakat Melek-Korupsi

Wabah korupsi seperti juga wabah-wabah lainnya yang berbahaya, pada dasarnya bisa dicegah penyebarannya. Perlu semacam suntikan imunisasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap korupsi, sekaligus menurunkan kekebalan koruptor terhadap hukumyang berlaku di negara ini. Bila tidak ada tindakan semacam itu, bisa dipastikan korupsi akan kian menyebar dan mengakar. Pada gilirannya korupsi yang tidak terbendung akan semakin membuat negeri ini terus bertahan di papan atas sebagai negara terkorup di dunia. Karenanya sudah saatnya dibangunkan kesadaran pada seluruh anak bangsa, bahwa sebanyak apa pun yang dimiliki bila terus-menerus digerogoti pada akhirnya akan habis. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami bangsa ini menunjukkan sudah hampir habisnya kekayaan bangsa karena dicuri dengan mengatas namakan berbagai hal.
Untuk menekan lajunya angka korupsi yang terus melonjak diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif. Langkah-langkah itu merupakan bentuk kongkrit pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat. Yang dimaksud pendidikan di sini adalah segala upaya penyadaran dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan di sini lebih bersifat andragogik daripada pedagogik, di mana masyarakat sasaran didik diperlakukan sebagai subyek pendidikan yang dibuka kesadaran keritisnya dalam mengahadai relitas keseharian yang korup. Sementara pendidik adalah sekelompok masyarakat yang telah tersadarkan yangmenjadi fasilitator dalam proses belajar masyarakat itu sendiri. Dengan berbagai langkah strategis dan tekhnis di atas, kiranya pendidikan anti-korupsi dapat mendidik masyarakat untuk “melek-korupsi”.
Selain dengan pendidikan yang bersifat andragogik, upaya pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan pendidikan pedagogik, bahkan formal sekalipun. Ini bisa dilakukan di antaranya dengan cara-cara berikut:
1. Memasukkan diskursus anti-korupsi dalam pendidikan formal maupun informal.
2. Menggagas Fiqh Korupsi (pemahaman keagamaan yang anti dan tidak mentolerir korupsi dalam segala bentuknya)


(Tulisan ini dimuat di Jurnal Pendidikan LEKTUR STAIN Cirebon pada th. 2005

No comments: